Banyak kalangan mengenal Muhammad Iqbal sebatas sebagai seorang penyair Urdu terbesar pada zamannya. Anggapan ini tak terlalu salah, karena Iqbal memang piawai menggunakan pisau kepenyairannya sebagai media untuk mengungkapkan berbagai gagasan brilian kepada masyarakat. Tetapi mengategorikan Muhammad Iqbal sebatas sebagai individu penyair semata tentulah tidak adil, memotret kebesaran pemikiran dan kiprah dia yang mendunia itu.
Iqbal adalah sosok bertalenta multi-dimensional. Sebagai pribadi, ia kaya dan agung. Sebagai pemikir, Iqbal adalah filsuf yang sangat kritis dan berani melakukan gebrakan-gebrakan besar di dalam merombak cara berpikir kalangan Muslim Punjab. Pemikiran dia di Punjab ternyata berdampak luas, hingga melampaui India, Asia Selatan, dan menjadi khazanah pemikiran dunia. Masyarakat Islam internasional pun memosisikan Muhammad Iqbal sebagai salah satu pemikir muslim yang sangat penting pada abad ke-20.
Di Indonesia, melalui cendekiawan semacam Muhammad Natsir, Rasjidi, dan Usman Ralibi, pemikiran Iqbal yang sangat kaya itu disebar untuk menumbuhkan benih kritisisme dan anti kejumudan di kalangan umat Islam Indonesia. Sehingga, sejak awal kemerdekaan pemikiran Iqbal sudah mempengaruhi para politikus muslim di Indonesia. Buku-buku legendaris karya Muhammad Iqbal, semisal Asraar I khudi (Rahasia-rahasia Pribadi) dan buku Rekonstruksi Alam Pemikiran Islam versi terjemahannya juga sudah bisa diketemukan pada masa akhir Orde Lama.
Negarawan Islam
Peran kenegarawanan Muhammad Iqbal juga sangat besar. Iqbal pernah populer dengan sebutan ‘Bapak Pakistan’, sebagai penghormatan masyarakat Pakistan atas gagasan dia bagi pembentukan sebuah negara Islam Pakistan. Berdirinya Republik Islam Pakistan yang waktu itu masih merupakan bagian dari India, memang dilontarkan pertama kali oleh Muhammad Iqbal.
Tahun 1930, Muhammad Iqbal menyampaikan gagasan pembentukan Negara Islam Pakistan yang terpisah dari India. Saat itu, Iqbal menjabat Presiden Liga Muslim. Dengan argumen yang kuat dan logis, paparan Iqbal itu banyak memperoleh sambutan positif dari masyarakat Islam. Sehingga, gagasan itu menjadi nyala api perjuangan yang terus membesar di kalangan umat Islam di India. Bahkan kemudian cita-cita Negara Islam Pakistan menjadi semacam visi resmi perjuangan umat Islam di Pakistan yang ketika itu bersama India masih dalam cengkeraman kolonialisme Inggris.
Gagasan Iqbal untuk mendirikan Negara Islam cepat berkembang karena dukungan beberapa pihak yang strategis. Di antaranya dukungan politis dari para negarawan India, yang saat itu juga sedang mengalami masa-masa sulit berhadapan dengan kolonialisme Inggris. Ketika itu, tokoh muslim India yang juga sangat berpengaruh pada perkembangan gagasan Iqbal adalah Muhammad Ali Jinnah. Dua faktor ini diakui berpengaruh terhadap laju gagasan pembentukan Negara Islam Pakistan. Meski kemudian, setelah Republik Islam Pakistan benar-benar bisa diproklamasikan tahun 1947, Sang Penggagas tidak pernah merasakan hidup di era negara yang ia impikan itu. Pada 1938, Muhammad Iqbal wafat di Lahore, sembilan tahun sebelum impiannya terwujud.
Sesungguhnya, kiprah Iqbal sebagai negarawan tidak diawali tahun 1930 ketika ia menjadi Presiden Liga Muslim. Jauh hari, bahkan sebelum aktif di Liga Muslim, Iqbal telah terjun ke dunia politik. Ia pernah menjabat sebagai Perwakilan Dewan Punjab. Dari berbagai pengalaman berpolitik dan latar pendidikan filsafat yang ia geluti, Iqbal menjelma menjadi negarawan besar yang sangat dihormati di dalam maupun di luar negeri. Iqbal bahkan diberi gelar ‘Sir’ oleh Kerajaan Inggris atas berbagai karya intelektual dan pemikiran politiknya yang dianggap sangat monumental.
Islam dan Rasionalisme Barat
Kepribadian Iqbal yang besar ternyata terbentuk dari dua nilai dasar yang menjadi pandangan hidupnya. Pandangan atau nilai dasar pertama yang dianutnya adalah prinsip dan nilai Islam. Sejak masih anak-anak, Iqbal telah mengalami proses internalisasi nilai keislaman.
Lahir pada 9 November 1877 di Sialkot, Punjab, Iqbal tumbuh dalam asuhan keluarga muslim yang taat menjalankan Ibadah. Ayahanda Iqbal yang bernama Nur Muhammad adalah sosok ayah yang shaleh dan ahli ibadah. Orang bahkan menilai Nur Muhammad sebagai pribadi yang cenderung tasawuf. Ia hidup sangat sederhana secara materi dan menghiasi dirinya dengan ibadah-ibadah.
Meski demikian, Nur Muhammad bukanlah orang yang tenggelam di dalam keasyikan ibadah hingga melupakan kewajiban sosialnya. Ia tetap seorang ayah yang amanah terhadap kewajiban-kewajiban, termasuk mendidik anak dengan baik. Iqbal kecil telah ditempanya secara langsung dalam memandang dan memaknai hidup, sehingga di kemudian hari ketika Iqbal bersentuhan dengan paham kebendaan yang dominan di Barat, Iqbal mampu bersikap kritis terhadap sikap dan cara pandang barat.
Selain dari bimbingan Ayah dan keluarganya, keislaman Iqbal semakin mengental saat ia mulai belajar dan bersekolah di Sialkot dan berkenalan dengan Mir Hasan. Mir Hasan adalah sosok guru yang ia akui sangat berpengaruh di dalam hidup dan pemikiran Iqbal. Melalui kealiman Sang Guru inilah, karakter keislaman Iqbal terbentuk dengan sangat kuat.
Nilai kedua yang berpengaruh pada pembentukan pribadi dan intelektual Iqbal adalah rasionalisme barat. Sikap rasional inilah yang memungkinkan Iqbal memiliki cara pandang yang logis dan berbasis pada argumen yang kuat. Rasionalisme Barat ini ia dalami berkat pertemuannya dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis yang sangat obyektif dan berpegang teguh pada kaidah-kaidah ilmiah dan fakta-fakta empiris dan rasional.
Sir Thomas Arnold bukanlah tipikal Oreintalis nyinyir yang sibuk dengan kedengkiannya dengan eksotisme timur. Pada sosok Sir Thomas inilah, Iqbal menemukan sebuah spirit keilmuan yang murni dan berpegang teguh pada rasionalisme. Mereka pun bersahabat dan Iqbal menemukan gerbang intelektualisme Barat melalui sosok sahabatnya itu. Atas dukungan dan rekomendasi dari Sir Thomas Arnold pula, Iqbal memperoleh kesempatan untuk belajar ke Eropa.
Akumulasi dari kemurnian dan keyakinan kepada Islam yang dianutnya di satu sisi dan kecintaan pada kebenaran ilmiah pada sisi yang lain, telah membentuk kepribadian Iqbal yang holistik. Ia menjadi pribadi agung yang terpusakai oleh kemurnian nilai Islam dan rasionalisme Barat. Pada diri Iqbal seakan bertemu antara iman (spiritualitas islam) dan akal (rasionalisme) yang berpadu pada terbentuknya pribadi yang unik dan bervisi universal.
Dua arus itu bertemu pada diri Iqbal dan menjadi sesuatu yang utuh. Itulah yang kemudian mempengaruhi visi politik Iqbal, dimana antara kawasan profan & kawasan sakral tidak terpisahkan. Implementasinya dalam politik juga menyatu, dimana tidak ada pemisahan antara negara dan agama.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!