Presiden Prabowo Subianto meluncurkan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) pada 21 Juli 2025. Lembaga Kajian Next Policy menilai peluncuran program tersebut sebagai langkah afirmatif yang positif. Namun, Next Policy menilai program itu rawan mengalami kegagalan seperti yang dialami oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), jika tidak disertai reorientasi strategi secara menyeluruh.
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengatakan, KDMP menghadapi tantangan besar karena belum memiliki fondasi hukum yang kuat. Hal itu dikatakan Yusuf Wibisono di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
“Presiden Prabowo mendorong program KDMP hanya dengan payung hukum berupa Inpres Nomor 9/2025. Tanpa undang-undang koperasi yang baru, dukungan politik dan fiskal terhadap koperasi akan terus minim,” kata Yusuf Wibisono.
Yusuf juga menyoroti penggunaan Dana Desa sebagai jaminan kredit permodalan KDMP melalui bank-bank BUMN. Menurut dia, langkah tersebut tidak sejalan dengan ketentuan UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Sebab, Dana Desa adalah bagian dari pendapatan milik desa, sementara koperasi bukan entitas yang secara hukum dimiliki oleh desa.
“Penggunaan Dana Desa sebagai jaminan kredit koperasi bukan hanya tidak elok, tetapi juga berisiko tinggi secara hukum. Dana Desa seharusnya tidak boleh dijaminkan untuk entitas yang bukan bagian dari struktur keuangan desa,” tegas Yusuf.

Next Policy menilai model peluncuran KDMP secara masif dan serentak (big bang) juga memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Yusuf pun menyebut tantangan utama yang akan dihadapi KDMP adalah ketiadaan diferensiasi model bisnis, keterbatasan pasar, dan kelangkaan SDM pengelola yang mumpuni.
“Potensi tumpang tindih KDMP dengan usaha yang sudah ada di desa seperti Bumdes, toko kelontong, maupun minimarket sangat besar. Di dalam kondisi seperti ini, KDMP akan sulit mencapai skala ekonomi yang efisien,” tuturnya.
Next Policy juga mengingatkan, pengalaman 10 tahun pengembangan Bumdes harus menjadi pelajaran penting. Meski tumbuh pesat dari 1.000 menjadi lebih dari 66.000 unit pada 2024, sebagian besar Bumdes gagal memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi desa.
“Pada 2024, sebanyak 93 persen desa belum pernah mendapat bagi hasil dari Bumdes. Bahkan, dari 7 persen desa yang mendapat, sebagian besar hanya menerima di bawah 15 juta Rupiah per tahun. Ini bukan capaian yang layak,” kata Yusuf.

Ia lantas menyarankan agar pemerintah mengembangkan KDMP secara bertahap dan berbasis sektor strategis semisal hilirisasi pertanian, peternakan, dan perikanan. Menurut Yusuf, koperasi akan berhasil jika diberikan peran dalam rantai pasok industri, seperti yang terjadi pada era 1950-an melalui keberhasilan GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia).
“Pada dasarnya koperasi tidak membutuhkan dana besar dari APBN. Yang lebih dibutuhkan adalah keberpihakan. Dulu GKBI berhasil menjadi pelaku industri karena diberi lisensi impor kain mori, yang memungkinkan akumulasi modal koperasi,” jelasnya.
Next Policy pun mengajak pemerintah untuk memberi ruang lebih besar kepada koperasi dalam sektor hilirisasi pertanian dan peternakan yang selama ini didominasi korporasi. “Koperasi layak diberi hak eksklusif di sektor-sektor itu, agar kesejahteraan petani dan peternak rakyat benar-benar terwujud,” pungkas Yusuf.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!