Operasi Badai Al-Aqsa telah memerlihatkan wajah sebenarnya dari Israel sebagai negara penjajah yang brutal. Negara itu terbukti telah melakukan tindakan keji semisal membunuh perempuan, anak-anak, dan jurnalis; menggunakan kelaparan sebagai senjata; serta menargetkan masjid, rumah sakit, dan pusat-pusat pengungsian. Semua itu semakin merusak citra Israel sebagai negara liberal dan demokratis, serta mengubahnya menjadi negara kriminal di mata dunia. Bahkan di mata sebagian besar warganya yang semakin terpecah. Survei menunjukkan, 60% warga Israel percaya bahwa negara mereka semakin kehilangan rasa hormat di dunia.
Meningkatnya Isolasi Global
Ketika Menteri Luar Negeri Israel, Yisrael Katz, menyatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai orang yang dilarang masuk ke Israel pada 2 Oktober 2024, ini merupakan bukti dari sikap permusuhan Israel terhadap PBB. Israel semakin dipermalukan di forum internasional semisal Mahkamah Internasional, Pengadilan Kriminal Internasional, dan Dewan Hak Asasi Manusia.
Baru-baru ini, media memberitakan pesan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menyebut posisi Presiden Prancis, Emmanuel Macron, sebagai “memalukan” setelah Macron menyerukan penghentian pasokan senjata ke Israel pada 5 Oktober 2024. Beberapa hari sebelumnya, delegasi dari berbagai negara meninggalkan sidang Majelis Umum PBB saat Netanyahu tengah berbicara.
Keadaan isolasi itu membuat banyak pihak di Israel bertanya-tanya, apakah ini hanya tren sementara atau akan terus berlanjut dan sulit diatasi. Penelitian yang dilakukan oleh Pnina Sharvet Baruch, seorang kolonel cadangan yang pernah bekerja di Unit Kejaksaan Militer Israel, menunjukkan, semakin meningkatnya isolasi global terhadap Israel dan semakin kecil kemungkinan mereka untuk kembali ke posisi sebelumnya.
Boikot terhadap perusahaan-perusahaan Israel, penarikan investasi, serta penolakan acara budaya, akademik, dan olahraga, menjadi bukti nyata. Bahkan di sektor medis, Israel dipandang sebagai simbol kejahatan global, terutama di kalangan generasi muda.
Meski pun isolasi ini belum diikuti oleh langkah-langkah praktis yang nyata, transformasi Israel menjadi negara yang terisolasi di tingkat global memberikan legitimasi bagi tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk melawannya. Semakin lama Israel melakukan penjajahan, isolasi diperkirakan akan semakin meningkat.
Pandangan Berbeda di Israel
Di Israel sendiri ada dua pandangan mengenai isolasi ini. Pandangan pertama menganggap isolasi ini sebagai ancaman serius yang merusak citra negara bahkan di mata negara-negara Barat, serta menghambat normalisasi dengan negara-negara regional. Sedangkan pandangan kedua cenderung arogan dan menolak kenyataan ini, meski pun mereka yang berpandangan pertama sudah mulai kehilangan harapan untuk perubahan yang lebih baik.
Perpecahan Internal
Perpecahan internal di Israel sudah terjadi sejak sebelum peristiwa 7 Oktober 2023 dan semakin memburuk setelahnya. Meski pun Benjamin Netanyahu berusaha menampilkan Israel sebagai negara yang bersatu, kenyataannya perpecahan ini semakin meluas. Mantan Perdana Menteri, Ehud Olmert, bahkan memeringatkan akan terjadinya perang saudara di Israel, dan setelah 7 Oktober, ia mengatakan bahwa milisi Yahudi mungkin akan menggunakan senjata untuk melawan warga Israel sendiri.
Demonstrasi besar-besaran di Israel, yang dipicu oleh berbagai isu semisal kudeta yudisial dan permintaan untuk pertukaran sandera, telah menjadi pemandangan biasa di Tel Aviv. Puncaknya pada 14 September 2024, jumlah demonstran mencapai 770.000, rekor terbesar dalam sejarah Israel. Protes itu juga diikuti oleh pemogokan massal yang diorganisasikan oleh serikat pekerja terbesar di Israel, menunjukkan bahwa ketidakpuasan internal semakin tinggi.
Penelitian Walid Abdel Hay yang berjudul “The Black Swan in the Israel Future”, diterbitkan oleh Zaytouna Center for Studies pada September 2024, menunjukkan kemungkinan terjadinya perang saudara di Israel sebesar 40,3%. Persentase ini diperkirakan akan meningkat jika dua faktor bersatu: pertama, perlawanan masyarakat di Gaza (Hamas); dan kedua, meningkatnya polarisasi politik di negara tersebut. Saat ini, kedua faktor tersebut sudah terlihat.
Krisis Berkelanjutan
Israel saat ini menghadapi perang baru dengan Lebanon, yang dapat berujung pada penetapan keadaan darurat dan penundaan pemilu tahun 2026. Langkah ini dapat memicu demonstrasi besar, terutama dengan adanya politisasi polisi dan pemberian persenjataan kepada pemukim Israel di Tepi Barat oleh Ben Gvir.
Isolasi global dan perpecahan internal yang semakin meluas sejak 7 Oktober 2023 sangat berkontribusi pada melemahnya stabilitas negara. Hal ini tentu akan mempercepat keruntuhan negara penjajah tersebut.
(Sumber: Al Jazeera)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!