Sejak kecil aku tinggal di Jakarta. Ratusan kali barangkali aku melewati ruas jalan di depan gedung Departemen Perdagangan. Saat kutengok nama jalannya, terbacalah Jl. Moch. Ikhwan Ridwan Rais.
Dalam memori otakku yang terbatas ini, mencoba mengingat nama-nama pahlawan yang pernah kubaca dalam buku-buku bersejarah dari sejak SD. Tak berhasil kuingat nama Ridwan Rais terlintas dalam slide otak.
Siapakah dia? Apa dia ayahnya Amien Rais? Ah, bukan juga. Seberapa pentingkah dia sampai namanya digunakan sebagai nama jalan raya di Jakarta Pusat?
Ya! Baru terjawab saat membaca sekelumit informasi yang tertulis di dalam Ensiklopedi Jakarta. Ikhwan Ridwan Rais ternyata merupakan nama seorang pelajar yang wafat karena terjangan peluru nyasar di depan Hotel Indonesia (HI), saat ribuan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) berdemonstrasi memperjuangkan tiga tuntutan rakyat (Tritura).
Peristiwa tersebut juga dikenal dengan sebutan peristiwa Wisma Marta.
Baca Juga : People Power? Mungkinkah?
Ikhwan Ridwan Rais terlahir di Kebonkelapa, Teluk Betung, Lampung, 5 Agustus 1951, anak tunggal dari pasangan Ridwan Rais dan Ny. Agung (Agung adalah nama wanita). Setelah menamatkan pendidikan SD, Ikhwan masuk SMP di JI. Batu Jakarta dan kemudian bergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
Perkembangan politik Indonesia saat itu diwarnai dengan gagalnya peristiwa Pemberontakan G30S/PKI. Akibat gerakan PKI tersebut, maraklah demonstrasi-demonstrasi, mulai berlangsung sejak tanggal 10 Januari 1966 saat dicanangkannya Tritura oleh KAMI.
Para demonstran mulai mengadakan aksi turun ke jalan untuk menentang pemerintah Orde Lama dan menuntut pembubaran PKI serta penurunan harga.
Tanggal 24 Pebruari 1966, Pemerintah mengeluarkan keputusan Komando Ganyang Malaysia (KOGAM), membubarkan KAMI dan menutup kampus VI, setelah gugurnya Arief Rachman Hakim di depan Istana Merdeka.
Dengan dibubarkannya KAMI, tak membuat patah arang para mahasiswa. Muncullah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pimpinan Husni Thamrin, dan semakin meningkatkan aksi-aksinya.
Akibatnya Husni Thamrin dan beberapa tokoh KAPPI lainnya ditangkap pada akhir Maret 1966 dan kemudian menyulut aksi pelajar ibukota menuntut dibebaskannya Husni Thamrin dan menentang pendirian KAPPI tandingan.
Pada saat demonstrasi tersebut, terjadilah aksi membawa korban seorang remaja berusia 15 tahun bernama Ikhwan Ridwan Rais, yang terkena peluru nyasar. Tanggal 30 Maret 1966, ia meninggal dunia dan dikubur di Pemakaman Blok P Jakarta Selatan.
Sehari sebelum kejadian, Nyonya Agung yang saat itu tinggal di daerah Kebonkaret, Jakarta, sebenarnya telah melarang Ikhwan Ridwan Rais, putra satu satunya untuk ke luar rumah. Apa lagi saat itu ayahnya sedang berada di Lampung. Namun anaknya tetap pergi setelah pamitan.
Pada malam harinya beberapa teman anaknya dari KAPPI datang memberi kabar, Ikhwan berada di RSCM. Nyonya Agung mendapati anaknya telah terbujur kaku.
Keesokan hari jenazah Ikhwan Ridwan Rais dikebumikan di TPU Blok P. Arif Rahman Hakim juga dikebumikan di sana. Kini kuburannya telah dipindahkan ke TPU Tanah Kusir.
Bersama sebelas orang mahasiswa dan pelajar yang juga tewas dalam demonstrasi, mereka memperoleh Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 sebagai Pahlawan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kedua belas orang tersebut adalah Arief Rachman Hakim, Zubaedah, Margono, Aris Munandar, Sjarif Alkadrie, Jusuf Hasiru, Dicky Oroh, Ikhwan Ridwan Rais, Julius Usman, Achmad Karim, Hasanuddin Noor, dan Henky Lontoh.
Karena perjuangannya itulah, remaja usia 15 tahun itu namanya diabadikan sebagai nama jalan di terusan antara JI. Medan Merdeka Timur dan JI. Menteng, di Jakarta Pusat.
Demikian sekelumit kisah tentang sosok Ikhwan Ridwan Rais, seorang pelajar pejuang. Apakah masih ada tersisa pejuang usia pelajar seperti Ikhwan saat ini?
Sumber bacaan: Ensiklopedi Jakarta
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!