Partai-Partai Islam Ditelan Nasionalisme Kekuasaan

Partai-Partai Islam Ditelan Nasionalisme Kekuasaan
Partai-Partai Islam Ditelan Nasionalisme Kekuasaan / Sabili.id

Menyimak perkembangan partai politik Islam di tanah air selama ini, terkesan sekali mereka seperti gagal mempertahankan eksistensi keislamannya, sehingga dengan mudah saja ditarik untuk kemudian membaur dengan pihak nasionalisme kekuasaan yang oleh dominan rakyat disimpulkan sebagai rezim zalim. Realita ini sulit dinafikan manakala sejumlah bukti terbentang luas di depan mata. Ketika semua partai yang berazaskan Islam (apalagi partai mayoritas muslim) dengan yang tidak berazaskan Islam satu persatu larut dalam koalisi nasionalisme kekuasaan.

Kalau kita runut perjalanan partai-partai politik Islam di zaman reformasi yang cenderung kepada ideologi Islam, yang meletakkan Islam sebagai azas partai dalam Anggaran Dasarnya, maka di sana ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (PKMI), Partai Ummat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru (PMB), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Abul Yatama (PAY), Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 (PSII 1905), Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Islam Demokrat (PID), Partai Ummat Muslim Indonesia (PUMI). Selain itu, ada partai-partai yang didirikan dan didominasi umat Islam tetapi tidak berazaskan Islam, semisal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan lainnya.

Di dalam tulisan ini, kita plot dua jenis partai yang berbaur Islam; Partai yang langsung menetapkan Islam sebagai dasarnya dalam Anggaran Dasar dan partai yang didominasi dan berlatar belakang Islam tetapi tidak berazaskan Islam. Karena penduduk Indonesia mayoritas muslim, maka kedua jenis partai tersebut sering dan juga selalu mengedepankan ideologi Islam dalam kampanye untuk memperoleh dukungan dan suara dalam pemilihan anggota legislatif.

Ternyata kedua jenis partai Islam tersebut tidak mampu menjaga dan mempertahankan atribut keislaman dalam gerak langkah mereka. Fenomena merapat kepada rezim yang jelas dalam gerak langkahnya anti Islam menjadi ukuran kalau partai berbasis dan berlatar belakang Islam telah membaur dengan nasionalisme kekuasaan, sehingga tidak ada lagi partai Islam yang menjadi alat perjuangan Islam dan umat Islam sebagaimana ketentuan Hadits dan Al Qur’an.

Doktrin Nasionalisme dan Nasib Partai Islam

Di dalam beberapa sumber, kita peroleh definisi nasionalisme yang sangat beragam. Untuk memudahkan pemahaman kita, baguslah kita simpulkan bahwa nasionalisme itu merupakan suatu doktrin atau ideologi ciptaan manusia yang mengarahkan umat manusia untuk cinta dan tunduk patuh kepada ketentuan-ketentuan sesuatu negara. Sesuatu yang ada dalam negara tersebut tentunya telah ditetapkan dan diarahkan oleh penguasanya sendiri. Makanya, nasionalisme sesuatu bangsa itu bisa saja berubah-ubah sesuai dengan selera kaum yang berkuasa.

Di dalam konteks kepartaian di Indonesia, kita telah mengalami tiga kurun nasionalisme yang berbeda-beda dan sesekali ada yang sama. Ketika Indonesia dipimpin Soekarno yang kemudian terkenal dengan rezim Orde Lama (Orla), arah nasionalisme kebangsaan sangat condong kepada nasionalisme-komunisme. Sehingga, dua partai besar yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin Dipa Nusantara Aidit (D.N.Aidit) bekerja sama dan bekerja keras untuk mengalahkan Partai-partai Islam semisal Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nahdhatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Pergerakan Tarbiyah Islam (PERTI), Angkatan Kemenangan Ummat Islam (AKUI), Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), dan lainnya.

Tun Dr. Mahathir Mohammad Ajak Umat Islam Bersatu Padu
Perpecahaan umat Islam hari ini sebagai hasil kerja keras orang-orang kafir mengadu domba sesama muslim dengan konsep politik belah bambu (devide et impera). Yang satu golongan umat Islam diangkat sementara yang lainnya ditekan dan diinjak.

Gerakan nasionalisme komunisme zaman orla dulu mendapatkan dukungan dan bantuan dari United State of Soviet Rusia (USSR) dan Republik Rakyat Tjina (RRT) yang keduanya berideologi Komunis. Tatkala itulah, Soekarno memimpin Indonesia dengan gaya ideologi Komunis yang dipadu dengan nasionalisme kebangsaan Indonesia dengan mengedepankan demokrasi terpimpin. Wujud demokrasi terpimpin tersebut, Soekarno berkepentingan dengan kolaborasi tiga ideologi besar menjadi satu yang diberi nama Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom). Perpaduan tiga ideologi yang secara doktrin tidak akan mungkin membaur dan bersatu itu dijadikan alat oleh Soekarno untuk mengedepankan konsep demokrasi terpimpin, untuk meyakinkan dunia bahwa dia berjaya mempersatukan tiga ideologi yang sulit dirujuk oleh para penguasa dunia lain ketika itu.

Konsep penggabungan haq dengan bathil dalam Nasakom yang digabungkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Nahdhatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut, diperkuat dengan rancangan konsep MANIPOL USDEK (Manifesto, Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) yang dikumandangkan Soekarno pada pidato kemerdekaan ke-14 RI tanggal 17 Agustus 1959. Ternyata, konsep Nasakom dan Manipol Usdek tersebutlah yang kemudian menelan partai-partai Islam dalam bingkai nasionalisme Indonesia manakala ideologi Islam ditolak oleh Soekarno dengan membubarkan Badan Konstituante yang diamanahkan untuk merancang konsep konstitusi Indonesia yang oleh Masyumi dan partai-partai Islam lainnya mau dijadikan Islam sebagai dasar negara.

Konsekwensi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Badan Konstituante yang terbentuk hasil Pemilu 1955 dan kembali kepada UUD 1945, maka tamatlah kesempatan muslimin Indonesia untuk mengedepankan partai Islam sebagai motornya manakala tahun 1960 Masyumi dipaksa bubar oleh Soekarno. Jadi, partai Islam besar kala itu yang bernama Masyumi dengan mudah saja dibubarkan oleh seorang presiden yang bersikap nasionalisme komunisme dan tidak bisa bangkit sehingga ke hari ini, walaupun beberapa tokoh bangsa telah berupaya berkali-kali untuk menghadirkan kembali partai Masyumi tersebut. Artinya, partai-partai Islam itu dari periode awal Indonesia Merdeka telah ditelan oleh nasionalisme Indonesia.

Di zaman Soeharto sebagai presiden kedua Indonesia yang terkenal dengan rezim Orde Baru (Orba), dari puluhan partai yang wujud di Indonesia diperciutnya menjadi tiga partai saja, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai fusi dari partai-partai Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Parmusi sebagai partai berbasis muslim; Golongan Karya (Golkar) sebagai partai berbasis nasionalisme kekuasaan; dan Partai Demokrasi Indonesia sebagai fusi dari partai-partai non Islam seperti Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Ketika ditelusuri lebih dalam, pelucutan partai-partai politik pada zaman Orba menjadi tiga partai saja sangat mirip dan sinkron dengan upaya Orla mewujudkan Nasakom, di mana inti doktrinnya adalah menasionalismekan tiga ideologi besar yang berkembang di Indonesia sehingga menjadi kekuatan politik tanpa kekuatan Islam secara konkrit. Saat Nasakom wujud dan Masyumi dibubarkan, bermakna partai Islam telah ditelan oleh nasionalisme kekuasaan. Demikian juga zaman Orba ketika dikumpulkan semua partai menjadi tiga, ada yang mewakili Islam (PPP), nasionalisme kekuasan (Golkar), dan non Islam (PDI), lalu dipaksa menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas ketiga partai tersebut, maka hilang pulalah partai Islam yang sebenarnya di Indonesia dalam dua zaman tersebut ditelan oleh nasionalisme kekuasaan.

Setelah di Indonesia terjadi reformasi tahun 1998 yang terkenal dengan Orde Reformasi (Orsi) dan dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie sampai ke Joko Widodo hari ini, nasib malang partai-partai Islam memuncak dalam 10 tahun kepemimpinan Joko Widodo. Yaitu manakala sistem demokrasi dirusak secara bersahaja dan semua pihak diam serta seperti menerimanya dengan Ikhlas. Kondisi semacam itu membuat kemandirian partai-partai Islam sangat terganggu dan malah secara bulat-bulat ditelan oleh nasionalisme kekuasaan.

Indonesia di Bawah Bayangan Tiga Capres
Bangsa besar ini memiliki peluang yang sangat cemerlang jika dipimpin oleh pemimpin yang adil, berkapasitas, berilmu, berani, serta memihak rakyat berdasarkan ideologi dan konstitusi.

Dengan konsep Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang dicadangkan pihak Joko Widodo cs dengan cara menyandera beberapa orang ketua partai yang bermasalah dengan sejumlah kasus, seperti Ketua Partai Golkar, Ketua Partai Amanat Nasional, Ketua Partai Gerindra, Ketua Partai Persatuan Pembangunan, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, PBB, dan terakhir membalut Partai Keadilan Sejahtera, telah membuktikan betapa kejamnya rezim Joko Widodo memasung partai-partai Islam menjadi bahagian dari nasionalisme kekuasaan yang sulit keluar dari cengkaman.

Efek paling berbahaya untuk kestabilan demokrasi adalah hilangnya peluang kepada orang-orang baik untuk menjadi anggota legislatif dan hilang pula kesempatan orang-orang baik untuk menjadi pemimpin di negara Indonesia. Sebagai penggantinya; anggota legislatif didominasi oleh para kaum jahiliyun dan jajaran kepemimpinan diduduki oleh kaum munafiqun. Kalau kita mau simpulkan, dengan tertelannya partai-partai Islam oleh nasionalisme kekuasaan, maka perlahan atau spontan perjuangan ideologi Islam dalam negara yang dilahirkan dan dimerdekakan oleh para ulama muslim ini akan berakhir secara pelan-pelan juga yang tidak disadari atau tidak mau disadari atau tidak dipahami oleh umat Islam di negeri ini. Pertanyaan yang paling urgent adalah: Bagaimana kehidupan anak bangsa generasi pelanjut ke depan dalam negara mayoritas muslim yang dimerdekakan oleh umat Islam tetapi ideologi Islam telah ditelan oleh ideologi nasionalisme kekuasaan?

Partai Islam, Antara Siyasah dan Siasat

Antara siyasah dengan siasat itu berbeda bahasanya. Siyasah adalah Bahasa Arab sedangkan siasat Bahasa Indonesia. Sudah barang tentu makna yang terkandung dalam kedua kata tersebut juga berbeda. Siyasah yang dirakit dari kata sasa-yasusu-siyasatan itu disepakati para ulama politik Islam dengan makna politik. Sedangkan siasat yang disepakati oleh pakar Bahasa Indonesia bermakna kebijakan, kelihaian, ke’arifan, kebijaksanaan, kemumpuan, taktik, dan strategi.

Ketika kita pasang dua kata tersebut terhadap langkah yang telah dilakukan oleh partai-partai politik Islam semenjak zaman Orla, Orba, dan Orsi, semisal pembubaran diri oleh Masyumi di zaman Orla, penerimaan Azas Tunggal Pancasila ciptaan manusia oleh PPP di zaman Orba, dan penggabungan partai-partai Islam ke dalam KIM yang jauh dari ideologi Islam di zaman Orsi, maka di mana letaknya siyasah dan di mana pula letaknya siasat?

Di dalam Islam, perjuangan hidup itu (termasuk perjuangan dalam partai) mesti dilakukan untuk eksistensi Islam, untuk kemajuan Islam, dan untuk kelenggangan hidup umat Islam dalam bingkai siyasah Islamiyah. Ketika semua itu sudah tiada ditelan nasionalisme kekuasaan, maka gerakan partai Islam itu telah menyimpang dari hakikat perjuangan Islam.

Kalau itu disebut sebagai sebuah siasat untuk dapat memperoleh kursi atau jabatan seperti kursi legislatif atau kursi eksekutif dengan mengorbankan ideologi Islam yang syumul dan bersih, maka itu namanya siasat bunuh diri dalam arti penghancuan ideologi Islam secara sadar atau tidak sadar. Mari kita menoleh balik ke belakang. Ketika Rasulullah SAW berjuang mengembangkan Islam di Makkah.

Yahya Sinwar, Pemimpin Baru Hamas yang Mengguncang Israel dengan Ancaman 250 Roket
Kepemimpinan Yahya diharapkan membawa Hamas ke fase baru perlawanan mereka. Strategi militer akan lebih terkoordinasi dengan upaya diplomatik untuk menggalang dukungan internasional.

Ketika kaum kafir Quraisy risau, mereka menawarkan segalanya kepada Nabi, termasuk tahta, harta, dan wanita, agar Nabi menghentikan gerakan dakwahnya, bukan hanya tawaran itu tidak diterima oleh Nabi, melainkan Beliau berucap: “Seandainya matahari turun dan sujud ke dalam ketiak kananku dan bulan ke dalam ketiak kiriku, maka aku tidak akan pernah menerima semua itu dan aku tidak akan pernah berhenti untuk menjalankan gerakan kebenaran  agama tauhid ini.

Kalau Nabi yang pada awalnya berjuang seorang diri itu berani menyatakan kesiapan dan kesigapan perjuangan Islam sedemikian rupa, maka apa alasan para pemimpin partai Islam di negara yang katanya 85% beragama Islam ini tidak berani tampil murni dengan konsep siyasah Islamiyah-nya? Mengapa mereka tidak mengusung tokoh muslim yang baik menjadi pemimpin-pemimpin di negeri ini? Apa dasar pijakannya kalau kita kaitkan dengan siyasah Islamiyah? Sudah barang tentu itu tidak dapat dikatakan sebuah siasat, karena bukan sekadar tidak ada rujukannya melainkan juga bertentangan dengan rujukan Islam.

Lalu muncul pertanyaan: Apa dasar hukumnya partai-partai Islam zaman now dengan mudah saja membaur dan menerima ditelan oleh ideologi nasionalisme kekuasaan yang sudah jelas-jelas dikomandani dan dikuasai oleh para penjahat demokrasi dan para penghancur ideologi Islam? Tentu susah dijawab dan lebih susah lagi untuk dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt di hari kemudian.

Adakah para pemimpin partai Islam yang sudah bergabung dengan nasonalisme kekuasaan hari ini masih sadar dengan konsep perjuangan Rasulullah saw yang menjadi pedoman dan pegangan dalam hidup dan kehidupan mereka, para pemimpin partai Islam, hari ini?

Wallahu a’lam.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.