Pembajak Aksara, Perusak Generasi Bangsa

Pembajak Aksara, Perusak Generasi Bangsa
The New Face of Perpustakaan Jakarta Cikini / Photograph by Haryo Bimo

Pembajakan hak cipta -- khususnya buku -- di Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia dalam peringkat pembajakan hak cipta. Seiring berkembangnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, pembajakan buku -- baik dalam bentuk fisik maupun digital -- semakin marak terjadi. Bahkan sampai detik ini.

Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melindungi hak cipta atas karya orang lain menjadi penyebab terbesar dalam kasus ini. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa pengetahuan memang milik Bersama. Jadi, mereka mewajarkan tindakan pembajakan buku yang sudah sangat sering dilakukan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Padahal, segala bentuk pembajakan merupakan dosa besar dan perbuatan yang sangat bejat. Sebab, telah merampas hak orang lain, meraup keuntungan dari karya orang lain, serta menggandakan dan memperjualbelikan tulisan orang lain tanpa seizin pemilik tulisan tersebut.

Tetapi, mengapa buku original tidak bisa dijual murah? Karena untuk bisa diterbitkan menjadi sebuah buku yang bagus, butuh proses yang sangat panjang dan tentunya tidak mudah. Banyak biaya yang harus dibayarkan. Biaya editor, cover, pajak PPh, biaya promosi, biaya penerbitan, dan yang lain-lainya. Juga proses pencarian ide-ide kreatif dan menulis yang menguras banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Bukan hanya modal berkhayal saja.

Itulah mengapa buku-buku bajakan itu dijual murah. Sebab, mereka tidak membayar biaya apa pun. Buku-buku bajakan itu dicetak hanya dengan biaya cetak Rp 5000 – Rp 8000 per eksemplar. Kualitasnya tentu saja jelek. Kertasnya jelek. Tintanya bau. Jilid sembarangan. Halamannya buram dan cepat rusak.

Sulit sekali membuat masyarakat bisa mengerti tentang hal ini. Mereka masih saja menganggap kalau pembajakan buku itu adalah hal yang lazim. Masih saja membeli buku-buku tersebut padahal tahu kualitasnya sangat buruk. Asalkan murah, bagi mereka tak masalah. Sungguh miris memang.

Baca juga: Emomali Rahmon, “Presiden Seumur Hidup Tajikistan” Ahli Waris Sekularisme

Dilindungi HaKI dan UUHC

Semua bentuk karya, baik itu tulisan, musik, lukisan, ataupun karya seni lainnya, sudah pasti dilindungi oleh HaKI (Hak Kekayaan Intelektual), yaitu dalam Pasal 113 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC atau Undang-Undang Hak Cipta). Tetapi mengapa masih banyak saja kasus pembajakan buku di indonesia?

Di dalam kasus pembajakan, Kepolisian tidak dapat turun langsung untuk merazia buku-buku bajakan tanpa adanya laporan dari pihak penerbit. Kepolisian menunggu adanya aduan dari pihak pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta serta penerbit. Hal ini dikarenakan adanya pasal yang mengatur bahwa pembajakan adalah “delik aduan”, sehingga baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan hanya dapat menindak kasus pembajakan ini ketika ada aduan dari pihak terkait.

Tetapi saat sudah ada pihak penerbit, penulis, pemilik hak cipta, bahkan para pembaca setia si penulis yang karya-karyanya banyak dibajak, Kepolisian atau pihak apa pun itu tak pernah ada yang langsung bertindak tegas. Tidak pernah ada sanksi yang jelas. Dan para pembajak itu masih bisa berkeliaran bebas. Memperjualbelikan buku-buku bajakan dengan jumlah tak terbatas. Tak pernah peduli terhadap para penulis yang haknya telah mereka rampaa. Yang penting mereka untung besar dan puas.

Solusi dan Perangi

Berhentilah menjadi masyarakat yang bodoh. Berhentilah egois. Berhentilah mendukung para pembajak biadab itu dengan membeli buku-buku bajakan. Jika sebelumnya Anda pernah membeli buku bajakan dan baru tahu tentang semua fakta ini, maka ke depannya jangan lakukan hal itu lagi. Jika belum, maka jangan pernah melakukannya. Sebab, dengan membeli buku bajakan, itu berarti Anda tak ada bedanya dengan para pembajak tersebut.

Jika Anda tak mampu membeli buku original dengan harga yang pantas, masih banyak solusi lain. Anda bisa membaca buku di platform-platform membaca gratis yang sudah banyak bermunculan, menggunakan aplikasi iPusnas (aplikasi perpustakaan digital berbasis media sosial) di handphone atau laptop, dan membaca ebook-ebook legal. Atau bisa meminjam buku ke teman, keluarga, maupun ke perpustakaan. Itu semuanya gratis. Jika banyak yang gratis, kenapa harus beli yang bajakan? Betul, tidak?

Kita harus bisa memerangi tindakan pembajakan buku. Memang takkan mudah membasmi dan membekukan para pelakunya. Selain karena sudah sangat merajalela dan dianggap biasa, hukum di negara kita juga masih sangat lemah. Menurut Ary Nilandari, seorang penulis novel sekaligus penggagas Komunitas Litara, pembajakan buku ini sudah ada jaringan mafianya tersendiri. Ada banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Ia menduga, pihak-pihak tersebut tak lain adalah oknum pejabat dan penegak hukum. Sehingga, aksi pembajakan buku tersebut sangat sulit diberantas.

Baca juga: Judi Online: Ancaman Tersembunyi di Era Digital

Seharusnya sosialisasi tentang UUHC dilakukan oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, kepada masyarakat sebagai upaya untuk melakukan perubahan dan budaya pelanggaran hak cipta dalam masyarakat yang telah melekat. Sehingga, peraturan yang ada mengenai perlindungan hak cipta atas karya yang dimiliki oleh seorang pencipta, khususnya buku, tak hanya dituliskan dalam sebuah UUHC tanpa adanya tindakan yang tegas dari penegak hukum dan pelaksanaan yang nyata dalam pemasaran buku di masyarakat.

Kesadaran masyarakat juga harus lebih ditingkatkan lagi. Kesadaran untuk menghargai karya orang lain. Kesadaran tentang buruknya aksi pembajakan. Kesadaran untuk meningkatkan minat baca. Dan kesadaran untuk jangan pernah tolelir tindakan pembajakan buku.

Upaya Meningkatkan Minat Baca

Untuk meningkatkan minat baca di indonesia, khususnya di Jakarta, pemerintah setempat telah membuat beberapa inovasi untuk masyarakat. Salah satunya yaitu dengan mengadakan Jakarta Bookhive. Jakarta Bookhive adalah rak buku di ruang publik yang bisa diakses oleh siapa saja. Kita bisa membaca buku yang ada di sana atau membawanya pulang. Kita juga bisa mendonasikan buku kita dengan meletakkannya di sana supaya teman pembaca lain bisa membacanya.

Ada beberapa titik Bookhive di Jakarta. Di antaranya di Situlembang (Jakarta Pusat), Lapangan Banteng (Jakarta Pusat), Kota Tua (Jakarta Barat), Kelapa Gading (Jakarta Utara), Halaman Tujuh (Tangerang Selatan), dan masih ada beberapa titik yang lain lagi. Jakarta Bookhive juga sudah ditiru di beberapa lokasi lainnya, semisal di Surabaya dan Pulau Bali.

Selain itu, ada Perpustakaan Jakarta di dekat Taman Ismail Marzuki. Gedung perpustakaan ini juga digunakan sebagai pusat dokumentasi sastra Hans Bague Jassin. Baru diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan, beberapa waktu lalu. Desain interior perpustakaan yang modern minimalis menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang berkunjung ke sana. Dijamin bikin betah.

Lalu ada juga gerakan Baca di Tebet” yang pertama kali dibuka pada Februari 2022. Perpustakaan yang didirikan oleh pegiat literasi, Kanti W. Janis dan Wien Muldian, itu menawarkan sekitar 20.000 koleksi buku di bangunan lantai dua. Tempat itu juga memiliki cafe, ruang podcast, hingga tempat menginap bagi para pemustaka di lantai pertamanya.

Baca juga: Sejarah Organisasi Kemasjidan (Bagian 1)

Selanjutnya tinggal bagaimana upaya kita untuk memanfaatkan, meramaikan, dan lebih mengembangkan wadah-wadah yang sudah disediakan oleh pemerintah tersebut. Jakarta Bookhive dan “Baca di Tebet” tadi merupakan ide cerdas dan langkah yang kreatif untuk meningkatkan minat baca masyarakat dan mengurangi pembelian buku bajakan.

Sekali lagi, berhentilah menjadi manusia yang egois dan naif, yang rela membayar para pembajak yang tak punya hak, dengan alasan agar lebih hemat 20.000 – 30.000 Rupiah saja. Padahal, ribuan penulis di luar sana setengah mati berjuang menerbitkan karya mereka, mempertahankan hak mereka, dan mengorbankan segalanya demi impian mereka. Maka, jadilah masyarakat yang cerdas.

Tak masalah dan jangan pernah ragu untuk sesekali membeli buku original untuk koleksi pribadi. Kalau untuk membeli makanan, pakaian, dan lain-lainnya saja kita berani membayar dengan harga mahal, lalu mengapa kalau hanya untuk membeli buku saja harus mikir berkali-kali?

Semoga ke depannya penjualan buku-buku bajakan bisa diminimalkan, bahkan dimusnahkan dari peradaban. Jadi, tidak ada lagi penulis-penulis atau pemegang hak cipta lainnya yang dirugikan karena karya-karya mereka disebarluaskan tanpa izin secara besar-besaran.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.