Pemberantasan Judi Online

Pemberantasan Judi Online
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P / Foto Istimewa

Judi online saat ini sedang menjadi perhatian publik. Omset judi online ini sangat besar, dan dampak negatifnya juga sangat luas. Beberapa peristiwa tragis terkait ekses judi online menjadi berita viral.

Presiden Joko Widodo pun merespon tegas dengan mengeluarkan Keppres Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring pada 14 Juni lalu. Ada tiga prosedur untuk pemberantasan judi daring atau judi online, dalam kaitannya dengan pembentukan Satgas tersebut, yaitu pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi korban.

Pertama, pencegahan dengan cara menutup dan memblokir situs-situs judi online. Tugas ini menjadi domain Menko Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Polhukam), Menteri Komunikasi dan Informatika (Mekominfo), Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Kedua, penindakan dengan cara memburu, menangkap, dan menindak para pelaku judi online, baik yang berperan sebagai bandar, pemain, maupun backing. Tugas ini menjadi domain Menko Polhukam, TNI, Polri, dan Kejaksaan.

Ketiga, rehabilitasi korban dengan memberi bantuan untuk pemulihan keadaan psiko-sosial korban, antara lain berupa bantuan-bantuan sosial, program pemberdayaan, trauma konseling, konsultasi psikologis, dan lain lain. Tugas ini adalah menjadi domain Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA).

Sebagaimana tindak pidana perjudian pada umumnya, judi online bukan delik aduan. Berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303 dan pasal 303bis, tindak pidana perjudian adalah termasuk kategori delik biasa. Dengan demikian, penegak hukum dalam Satgas Pemberantasan Judi Daring dapat bertindak tanpa memerlukan laporan atau aduan dari korban.

Baca juga: Satgas Pemberantasan Judi Online

Persepsi Masyarakat

Mencermati berbagai reaksi dan komentar mengenai pendapat saya bahwa korban judi online bisa memperoleh Bansos, perlu saya sampaikan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, ada persepsi bahwa korban judi online itu adalah pemain judi, sebagai korban dari bandar judi. Kemungkinan pandangan ini dianalogikan dengan kasus pinjaman online (Pinjol); peminjam dipandang sebagai korban dari pemilik dan operator Pinjol. Pandangan tersebut tidak benar, sebab merujuk KUHP pasal 303 dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE pasal 27, judi online itu adalah tindak pidana. Baik pemain maupun bandar judi online adalah sama-sama sebagai pelaku judi, maka sesungguhnya mereka juga sama-sama melakukan tindak pidana.

Kedua, karena mereka berpandangan bahwa pemain judi online itu adalah korban, maka ketika saya menyampaikan pendapat bahwa korban judi online bisa memperoleh bansos (bantuan sosial), mereka mengira pemain judilah yang dapat memperoleh Bansos. Pandangan tersebut tentu saja tidak benar.

Adapun yang benar, yang saya maksud korban judi online, yang dapat memperoleh Bansos, adalah keluarga atau anggota keluarga yang secara material, finansial, maupun emosional, dirugikan oleh perbuatan pelaku judi. Mereka kehilangan harta benda, sumber penghidupan, bahkan juga mengalami gangguan psikis. Apabila kerugian itu sampai membuat mereka jatuh miskin, maka mereka berhak memperoleh bantuan sosial. Sedangkan pelaku (pemain, bandar, dan backing) judi yang menyebabkan keluarga atau orang lain jatuh miskin, itu harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.

Pelaku Pidana, Bukan Korban

Di dalam hukum pidana, bermain judi adalah termasuk dalam kategori tindak pidana. Hal itu diatur baik dalam KUHP maupun UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 303 KUHP mengatur tentang perjudian dan menetapkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perjudian dapat dikenai pidana. Perjudian di sini mencakup segala bentuk permainan yang menggunakan uang atau barang sebagai taruhan.

Baca juga: Urusan Palestina, Prabowo Lebih Progresif daripada Jokowi

Merujuk Pasal 303 ayat (1) KUHP, pelaku judi bisa diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak Rp 25 juta (dua puluh lima juta rupiah). “Barang siapa tanpa izin:

  • Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau.
  • Dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu, atau.
  • Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu, tidak perduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.”

Sedangkan judi online, secara spesifik termasuk sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU ITE: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.”

Selanjutnya, di Pasal 45 ayat (2), dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (2) tersebut dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dengan dasar hukum di atas, pemain judi online adalah dianggap sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dikenai hukuman sesuai dengan perundang undangan yang berlaku. Jadi, anggapan bahwa  status “pemain judi”  dalam kasus  judi online itu sama dengan status “peminjam uang “ dalam kasus Pinjol, yakni sama-sama sebagai korban adalah tidak tepat. Perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa pemain judi adalah pelaku tindak pidana perjudian dan bukan korban perjudian.

Baca juga: Relasi BSI dengan Muhammadiyah

Siapa Korban Judi Online?

Di dalam konteks perjudian online, yang menjadi korban, yaitu:

Pertama, individu yang mengalami penipuan dalam skema kejahatan yang menggunakan perjudian sebagai kedok.

Kedua, masyarakat dan negara dapat dianggap sebagai korban secara tidak langsung karena perjudian online sering kali terkait dengan aktivitas ilegal lainnya seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kegiatan kriminal lainnya yang dapat merusak tatanan sosial dan ekonomi.

Ketiga, keluarga dan orang dekat pemain judi online yang harus menanggung hutang pemain judi (misalnya orangtuanya yang mengalami kerugian material, finansial dan psikis, sebagai akibat dari perbuatan si anaknya yang pemain judi). Mereka itu lalu bisa kehilangan sumber penghidupan, harta benda, bahkan bisa jatuh miskin.

Bagi korban yang dinyatakan jatuh miskin, berdasar kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh pihak yang berwewenang, dalam hal ini Kemensos, maka keluarga itu berhak menerima bantuan-bantuan. Hal itu sesuai dengan amanat Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945, disebutkan bahwa: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Jadi, keluarga siapa pun yang miskin atau jatuh miskin dan anak siapa saja yang terlantar, tidak terkecuali karena menjadi korban judi online, maka negara wajib “memeliharanya”, dalam arti memberikan pertolongan dan bantuan sesuai perundang-undangan. Sehingga, mereka kemudian dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Atas dasar pemikiran di atas, maka pemberian bantuan sosial dan bantuan lainnya kepada keluarga miskin yang menjadi korban judi online harus juga diberikan, sebagaimana bantuan diberikan kepada keluarga miskin pada umumnya. Mudah-mudahan dengan penjelasan singkat ini, dapat mengklarifikasi perbedaan persepsi dan kesalah pahaman yang telah terjadi.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.