Muqaddimah
Ada satu sikap pemimpin di kalangan umat Islam yang paling dibenci Allah Swt dan Rasulullah saw serta rakyat muslim sendiri. Yaitu berbohong. Ironisnya, ada satu cara paling sering dilakukan calon pemimpin dan pemimpin di kalangan umat Islam hari ini, yaitu berbohong. Maka, terjadi paradoks yang amat tajam, baik dalam kehidupan di dunia maupun dalam kehidupan di alam baqa nanti. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah para pemimpin pembohong itu tahu kalau pembohongan adalah perbuatan berdosa dan memiliki risiko paling besar dalam kehidupan dunia dan akhirat kelak.
Lalu mengapa banyak calon pemimpin yang suka berbohong ketika musim kampanye, berbohong pula dalam penghitungan suara, tukar menukar jasa untuk memperbanyak suara, malah ada yang suka menipu sesama saudara untuk merekayasa perolehan suara? Bukankah penipuan itu menjadi bom waktu dan bom bunuh diri bagi calon pemimpin itu sendiri?
Jika bohong itu bocor di awal waktu, maka pembohong akan ditinggalkan oleh para pemilih. Jika bohongnya bocor setelah pemilihan dan dia kalah dari calon lain, maka pemilihnya segera minggat tidak mau bersama dia lagi karena dia pembohong. Kalau bohongnya bocor setelah ia terpilih menjadi pemimpin, maka dia akan membuka lahan bohong baru untuk menutupi bohong lamanya, dan cepat atau lambat akan ditinggalkan oleh para pendukungnya, karena dasar pembohong tetap akan berbohong, termasuk ia akan membohongi pendukung dan pemilihnya sendiri.
Oleh karenanya, bohong itu tidak ada untungnya. Baik bagi pembohong maupun bagi yang dibohongi. Semuanya akan merugi akibat bohongnya seorang pembohong. Apalagi kalau bohong itu dilakukan oleh seorang pemimpin. Yang seharusnya ia menjadi panutan dan imam bagi rakyatnya, malah membohongi rakyatnya sendiri. Sikap pemimpin seperti ini sama sekali tidak dapat dianulir, baik dalam kehidupan berbangsa, bernegara, apalagi dalam kehidupan beragama. Allah Swt sebagai Tuhan kita benci pembohong. Rasulullah saw sebagai pembimbing kita benci pembohong. Islam sebagai agama kita juga benci kepada pembohong. Maka, dasar hukum apalagi yang digunakan oleh pembohong untuk melanjutkan kebohongannya?
Model Bohong
Banyak sekali model pemimpin bohong yang membohongi rakyatnya sendiri, baik sebelum ia menjadi pemimpin maupun sesudahnya. Pembohongan itu bertujuan untuk mencapai target dan tujuan yang diingini sang pembohong. Makanya, bohong itu selalu mengikuti perjalanan dan perkembangan masa. Jadi, bohong di tahun tujuh puluhan akan berbeda dengan bohong tahun dua ribuan. Kalau bohong di tahun tujuh puluhan misalnya dengan meminta pinjam uang kepada seseorang dengan alasan mau membawa anak ke dokter karena sakit tetapi uang dipakai untuk beli kode buntut karena anaknya tidak sakit, maka bohong di tahun dua ribuan lain lagi modelnya. Umpamanya, seseorang meminjam atau sewa mobil kepada orang lain selama satu bulan, tetapi ketika sudah sampai sebulan mobil belum juga dikembalikan, dan ketika dihubungi pemilik mobil, telepon si penyewa sudah tidak aktif lagi.
Di dalam konteks kepemimpinan, pemimpin bohong itu juga banyak cara dan modelnya. Umpamanya ada calon pemimpin yang menciptakan pencitraan di depan rakyatnya. Dia berlagak pandai, berlagak rajin, berlagak merakyat, sehingga sering turun ke dalam kerumunan masyarakat untuk minum kopi bersama, gotong royong bersama, lantas memasukkan berita tersebut ke dalam media, sehingga masyarakat terhinopsis olehnya. Akan tetapi, manakala ia sudah terpilih menjadi pemimpin, sama sekali tidak mau lagi berjumpa dengan rakyat, padahal dahulu dia lakukan sebelum terpilih menjadi pemimpin.
Banyak juga pemimpin pembohong yang menebar semilyar janji ketika menjadi calon pemimpin. Dia berjanji kalau terpilih nanti akan membuka jutaan lapangan kerja, kalau dia terpilih maka tenaga kerja tempatan akan diberdayakan, kalau dia terpilih nanti mobil SMA akan dibuat, serta kalau dia terpilih nanti akan menjaga kestabilan harga BBM, harga listrik, dan harga sembako. Namun ketika dia terpilih menjadi pemimpin, tidak ada lapangan kerja yang maksimal dibuka; tidak ada prioritas tenaga kerja kaum tempatan melainkan pendatang yang didatangkan dan digaji tinggi; setelah dia terpilih, jangankan mobil SMA, mobil SMP pun tidak dibuatnya; ketika dia terpilih, harga BBM, harga listrik, harga sembako, setiap tahun dinaikkan. Belum lagi pajak yang dinaikkan setiap waktu, baik pajak kendaraan, pajak bumi dan bangunan, maupun pajak pendapatan dan sebagainya.
Banyak juga calon pemimpin – dan malah sudah menjadi pemimpin sekali pun – yang senang sekali berjanji kepada masyarakatnya. Ketika berjumpa dengan masyarakat, dia berjanji akan memberikan bantuan untuk masjid di kampungnya dan meminta nomor rekening panitia pembangunan masjid. Setelah berpisah, dia kabur dan tak pernah lagi mengangkat telepon masyarakat yang dia janjikan itu.
Ada pemimpin yang berjanji kepada masyarakat pemilihnya untuk membuat jalan, namun sampai habis masa jabatannya tidak pernah jalan itu dibuat. Ada pula model pemimpin yang berjanji akan memberikan bantuan kepada pembangunan pesantren dengan jumlah Rp 200.000.000, tetapi membuat kesepakatan dulu dengan pimpinan pesantren, kalau dana sudah masuk ke rekening pesantren nanti harus dikembalikan separuh kepada pemimpin tersebut.
Jadi, banyak sekali model pemimpin yang berjanji kepada rakyatnya tetapi membohongi rakyatnya sendiri. Akhirnya, muncullah satu bait syair: Janji-janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi.
Risiko Bohong
Hampir tidak ada orang yang tidak tahu kalau risiko dari pembohong itu dahsyat sekali. Tetapi hampir tidak ada pula orang yang tidak berbohong dalam hidupnya, wa bil khusus para pemimpin. Itu semua sangat tergantung kepada didikan keluarga, didikan masyarakat, dan didikan dari pendidikan resminya. Yang lebih utama lagi adalah hal itu sangat tergantung kepada sikap kana’ah dan rendah hati seseorang pemimpin itu yang membuat dia suka atau tidak suka berbohong.
Di dalam beberapa hadits, Rasulullah saw memberikan gambaran efek dan hujung hidup seseorang pemimpin pembohong. Mulai dari hadits yang paling populer dalam kehidupan umat Islam, yaitu “alkizbu la ummatiy (pembohong itu bukan ummatku)”. Adakah kita renungkan kalau kita dapat jatah masuk syurga karena kita umat nabi? Lalu apa jadinya kita ketika nabi menolak kita dan tidak menerima sebagai umat beliau? Masuk syurgakah kita? Atau kita masuk neraka?
Di dalam hadits lain, Riwayat Imam Bukhari, baginda Rasulullah bersabda, “Tidak akan berucap Allah di hari qiyamat dan tidak mengampuninya dan tidak memperhatikannya, melainkan Allah berikan azab yang pedih kepadanya, siapa dia? Almalikun kazzabun (pemimpin pembohong)”.
Jika kita melihat kriteria orang-orang munafik yang digambarkan Rasulullah saw dalam hadits muttafaqun ‘alaih, ada tiga: Apabila berbicara ia berbohong, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberikan amanah kepadanya ia khianati. Ketiga kriteria munafik tersebut sering sekali tersangkut pada diri seseorang pemimpin di zaman kini, sehingga menjadi kesan berbohong itu sebuah kelihaian bagi seorang pemimpin. Padahal, bohong itu sikap paling berbahaya bagi diri pemimpin dan juga bagi rakyat yang dipimpin.
Sebuah hadits Riwayat Imam Muslim berbunyi, “Tidak ada seorang hamba yang diberikan tanggung jawab untuk memelihara rakyat sedangkan dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan baginya syurga”.
Hadits demi hadits yang kita baca membuat kita berkesimpulan bahwa pemimpin pembohong itu dibenci oleh Allah; pemimpin pembohong itu diberi azab yang sangat pedih oleh Allah; pemimpin penipu itu dosanya tidak diampuni oleh Allah; pemimpin penipu itu termasuk dalam golongan orang munafik; pemimpin penipu itu tidak ada tempat di hari akhir nanti melainkan neraka; pemimpin pembohong itu merupakan pengkhianat ummah dan bangsa.
Lingkupan kepemimpinan pembohong tersebut tidak hanya berkutat pada level kepemimpinan negara saja. Ia juga termasuk kepemimpinan di bawah level negara, semisal gubernur, bupati/walikota, camat, imum mukim, dan kepala kampung (geusyhik). Selain itu kepemimpinan itu termasuk juga kepemimpinan organisasi, perhimpunan-perhimpunan, LSM, Yayasan, dan seumpamanya.
Susah bagi sesuatu organisasi untuk maju kalau dipimpin oleh pemimpin pembohong. Susah maju sesuatu kampung kalau geusyhiknya pembohong. Tidak akan berjaya sesuatu wilayah provinsi atau kabupaten/kota kalau dipimpin oleh gubernur atau bupati/walikota pembohong. Dan lebih susah lagi berkembang sesuatu negara kalau dipimpin oleh seorang pemimpin pembohong.
Untuk itu semua, berantaslah para pemimpin pembohong, karena ia menjadi benalu dan penyakit kronis bagi bangsa, negara, dan agama. Kalau sudah terlanjur memiliki pemimpin pembohong, maka hindarilah dari kebohongannya dengan tidak mendukungnya, dengan berupaya memulihkannya dan dengan upaya menghambat dia dari kebohongan tersebut.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!