Pendidikan Karakter di Indonesia: Slogan atau Kebutuhan?

Pendidikan Karakter di Indonesia: Slogan atau Kebutuhan?
Pendidikan Karakter di Indonesia: Slogan atau Kebutuhan? / Photo by Bianca Naira on Unsplash

Sesaat setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto sudah menyatakan bahwa di pemerintahannya, Kemendikbud-Ristek dibagi menjadi tiga kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; serta Kementerian Kebudayaan. Dan pada 20 Oktober 2024 malam, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan para Menteri serta Wakil Menteri yang akan membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan pemerintahan.  Di dalam susunan Dewan Menteri itu, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed yang sebelumnya adalah Sekum PP Muhammadiyah diumumkan menjabat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro menjabat Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Serta Menteri Kebudayaan dijabat oleh Dr. Fadli Zon, MSc.

Pengangkatan Menteri baru di bidang pendidikan selalu mengundang perhatian dan penantian seputar kurikulum pendidikan di Indonesia. Nadiem Makarim sebagai mantan Mendikbud di zaman Presiden Jokowi masih amat berharap Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini akan melanjutkan program Kurikulum Merdeka.

Mengingat kurikulum selalu berganti, lalu seperti apa konsep pendidikan yang benar-benar dibutuhkan? Sedangkan apa yang diinginkan tiap kurikulum pun belum tentu dipahami dan dipraktekkan guru secara menyeluruh. Hal itu mungkin terkait kapasitas guru yang belum secara optimal bisa mengikuti perubahan dan pergantian kurikulum. Lalu bagaimana dengan isu Kurikulum Deep Learning yang digagas menteri baru menggantikan Kurikulum Merdeka? Benarkah deep learning hanya pendekatan pembelajaran saja dan bukan sebuah kurikulum? Lalu apa tujuan sebenarnya penerapan kurikulum di negeri kita tercinta ini?

Seorang guru dari Finlandia bernama Desiree Luhulima mengunjungi sebuah sekolah di Indonesia. Di sana, ia melakukan dialog dengan salah satu siswa. Desiree bertanya tentang sampah. Dibuang ke mana, mengapa harus dibuang ke tempat sampah, dan lain-lain. Siswa tersebut menjawab dengan baik, bahwa sampah harus dibuang ke tempat sampah, dan jika dibuang sembarangan akan mengakibatkan banjir. Di saat akan masuk ke kelas, ternyata siswa tersebut meninggalkan sampah berserakan di mana-mana.

Itulah salah satu contoh output pendidikan di Indonasia yang kita khawatirkan. Kita lebih takut anak-anak tidak berpengetahuan daripada takut anak-anak tidak beradab dan berkarakter. Padahal, pengetahuan itu adalah produk yang bisa dipelajari dan diakselerasi, sementara adab membutuhkan proses.

Mari Kita Jaga Hubungan Kekeluargaan Selama Pilkada
Politik dapat menambah buruk polarisasi di dalam keluarga. Terutama jika ada perbedaan yang sangat mendalam berkenaan dengan value, ideologi politik, dan sebagainya.

Kekhawatiran banyak pihak akan hilangnya pendidikan karakter dalam masyarakat tentu bukan tidak ada alasan. Dekadensi moral sudah sejak lama terjadi dan menimbulkan kerusakan di mana-mana. Tidak hanya di kalangan rakyat biasa, tetapi juga sudah merambah kalangan elit dan pejabat. Kabar baru-baru ini tentang dibebaskannya pembunuh dengan suap satu triliun Rupiah kepada tiga hakim tidak hanya menyedot perhatian publik, tetapi juga membuat masyarakat kecewa dan sedih. Hal serupa, bahkan yang lebih parah, masih banyak terjadi di negeri ini. Artinya, krisis teladan sudah pasti dialami bangsa ini. Banyaknya fakta di lapangan tidak hanya bisa kita lacak lewat 'googling' tetapi memang benar kita rasakan sehari-hari di sekitar kita. Kadang tak tega kita menyebutkannya satu per satu, karena begitu massif dan parahnya kerusakan yang terjadi di negeri ini.

Sejak merdeka di tahun 1945 dengan perjuangan yang tidak mudah dari berbagai lapisan masyarakat, tokoh dan ulama di negeri ini, dengan darah dan air mata, harapan terkuat tentunya adalah sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Seperti kutipan berikut, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Di dalam kutipan di atas, poin mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi poin pertama yang menjabarkan detail tujuan umum kemerdekaan. Sebagaimana negara lain yang faktanya maju pesat dengan menitikberatkan pendidikan, sudah seharusnya Indonesia juga tak ketinggalan. Berbagai teori pendidikan di dunia banyak diungkap oleh ahli lewat research panjang dan hipotesa yang ciamik. Jika kita seorang muslim, kita pasti setuju bahwa research-research itu ternyata menyimpulkan bahwa pendidikan karakter harus menjadi acuan utama pendidikan SDM. Tren pendidikan harus sudah bergeser dari “head start” menuju “heart start”.

Maka, ungkapan para ulama bahwa adab dulu baru ilmu tentu sangat relevan dan menjadi entry point. Mengapa? Tentu saja sudah pasti karena produk pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan SDM yang unggul yang “good and smart”. Kenyataan di lapangan, gonta-ganti kurikulum tetapi kita tidak pernah menyentuh pendidikan karakter secara holistik. Anak-anak didik sering kali hanya menjadi obyek ambisi target pencapaian akademis. Bahkan sekadar menjadi “pasar” untuk bisnis pendidikan yang memang sering dipolitisasi.

Di dalam kurva Bel, Jack Chizmar telah melakukan penelitian untuk menghitung distribusi IQ di setiap populasi. Studi ini dikompilasi oleh University of Maine, USA, dan hasilnya mengejutkan. Di dalam kurva Bel, disimpulkan bahwa sebagian besar manusia (hampir 85%) memiliki kecerdasan IQ di bawah 115. Artinya, treatment pendidikan tidak boleh diseragamkan. Kurikulum di Indonesia memakai asumsi egaliter, yaitu bahwa kemampuan anak adalah seragam yaitu IQ di atas 115. Maka, seharusnya ini diberikan materi ajar untuk anak-anak terpandai 15%. Banyaknya teori yang dijejalkan, membuat anak didik tidak tahu sebenarnya ilmunya ini untuk apa di kehidupan nyata.

Ironi Roger Bacon: Tragedi Plagiarisme di Balik Kebesaran Saintis Modern Eropa
Penghargaan terhadap karya asli adalah esensi dari integritas akademik. Plagiarisme adalah bentuk manipulasi kebenaran yang mencemari reputasi intelektual.

Parahnya, orang tua ikut memaksa anak untuk mencapai nilai tinggi, bahkan dengan ikut les tambahan, kursus, dan lain-lain. Anak-anak jadi sangat malu dan tidak percaya diri saat nilainya buruk. Padahal, kita mengenal multiple intelligence. Seorang praktisi parenting, Ustadz Bendri Jaisurrahman, beliau pernah mengatakan, ada anak yang akhirnya tidak mau bekerja (melakukan apa pun) setelah menyelesaikan gelar PhD-nya di usia 16 tahun, karena menurut dia tugasnya untuk memenuhi keinginan orang tuanya sudah selesai. Ada juga anak yang tega membunuh orang tuanya karena stres dengan tekanan belajar. Lalu, alih-alih mengejar IPTEK, justru sebenarnya kita malah menambah pekerjaan rumah yang baru. Di Jepang, kurva Bel ini disiasati dengan amat cantik. Golongan 85% IQ di bawah 115 akan diarahkan pada kerja-kerja terampil dan lainnya yang tidak terkait dengan berpikir mendalam seperti halnya golongan 15% yang ber-IQ di atas 115. Hasilnya, kita melihat bagaimana teknologi rakitan Jepang begitu rapi dan banyak diminati.

Pada kenyataannya, di Indonesia data Agustus 2023 menunjukkan, hanya 12,76 persen penduduk bekerja yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Angka tersebut terinci menjadi 10,32 persen merupakan tamatan diploma IV, S-1, S-2, S-3, dan 2,44 persen tamatan diploma I/II/III. Jadi, fakta menunjukkan bahwa kurva Bell memang terbukti. Pekerja dengan pendidikan tinggi (15 persen penduduk ber-IQ lebih dari 115) jumlahnya kecil.

Banyak penelitian yang mengatakan bahwa pendidikan karakter dapat membentuk kesehatan emosi anak yang itu dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Pesan yang ditangkap oleh indra manusia pertama kali dicatat atau direkam oleh struktur otak yang paling terlibat dalam memori emosi, yaitu amigdala (sistem limbic) yang merupakan pusat emosi yang selanjutnya diteruskan dalam neokorteks (fungsi kognitif - otak kiri). Apabila aspek emosi dilibatkan dan diberikan prioritas dalam proses belajar mengajar, maka perekaman akan lebih sempurna dan memorinya akan bertahan lama (Tjokronegoro, op.cit).

Juga telah diteliti pada batang otak primitif, bahwa dalam proses evolusi ternyata kemampuan emosi manusia berkembang terlebih dahulu dibandingkan otak neokorteks (fungsi kognitif). Perlu dicatat bahwa emosi positif akan merangsang keluarnya hormon endorfin, yaitu hormon penting yang menunjang bekerjanya zat-zat neurotransmiter antar sel, sehingga otak akan bekerja lebih efisien dan efektif. Oleh karenanya, cara efektif memerkuat kognitif adalah dengan jalan mencerdaskan kemampuan emosinya. Sehingga, menempuh jalan untuk menyehatkan emosi akan menyehatkan kognitif. Ini seperti sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Jadi, menurut penulis, kecerdasan emosi adalah jalur utama yang harus ditempuh terlebih dahulu, sehingga kita akan mendapatkan kecerdasan emosi dan juga kognitif sekaligus. Kecerdasan emosi sangat terkait dengan pendidikan karakter.

Di dalam pendidikan karakter, penulis sepakat dengan Lickona (1992) yang berpendapat bahwa terdapat tiga komponen dalam karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral). Hal ini juga menjadi definisi dari sebuah ungkapan syahadat dalam Islam. Bahwa syahadat itu tidak hanya diketahui artinya dan diucapkan dengan lisan, tetapi ia harus tertanam dalam hati dan direalisasikan lewat amal. Tentunya melalui latihan dan pembiasaan yang panjang.

Swasembada Pangan, Target Ambisius Prabowo yang Terganjal Banjir Impor dan Susutnya Sawah
Kemandirian pangan belum sepenuhnya tercapai. Dan untuk menuju swasembada, pemerintah harus mengatasi berbagai masalah struktural yang selama ini membatasi sektor pertanian nasional.

Benarlah keputusan Allah Swt melalui nabinya yang menitikberatkan untuk menancapkan tauhid terlebih dahulu dalam pengajaran Islam dibandingkan hukum dan syariat. Di Mekkah, Rasulullah menggembleng akidah para sahabat dengan penuh kasih. Memberikan tauladan nyata agar sahabat bisa menerapkan akhlak mulia. Di Madinah, beliau mulai menyiapkan sahabat untuk menegakkan sistem Islam. Membangun negara dan pada akhirnya menaklukkan dunia.

Semua tahapan itu tentu saja atas bimbingan Allah. Di sini terlihat bahwa penajaman karakter, penyucian jiwa, pengokohan iman, menjadi hal yang diprioritaskan. Selanjutnya, baru penerapan aturan-aturan dan hukum yang lebih rinci. Manusia punya fitrah yang suci. Tetapi jika tidak dirawat, maka dia seperti tanaman yang layu dan akan mati. Mengupayakan membimbing dan merawat fitrah anak-anak generasi penerus kita adalah melanjutkan estafet membangun peradaban. Sudahkah pembangunan karakter menjadi kebutuhan dan bukan hanya slogan untuk memenuhi kepantasan ruang publik kita?

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Inilah saatnya kita mengambil tanggung jawab bersama sebagaimana yang dikatakan Aristoteles, “Manusia tidak secara spontan tumbuh menjadi manusia bermoral baik atau menjadi bijaksana. Mereka bisa menjadi demikian hanya merupakan hasil seumur hidup individual dan masyarakat”. Maka, mari menjadi bagian dari proses kembalinya fitrah manusia di segala aspeknya.

Semoga hal ini juga menjadi ruh dari kurikulum pembelajaran di sekolah saat ini. Kurikulum berbasis karakter.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.