Pengalaman Memperjuangkan Keadilan bagi Masyarakat Marjinal Kota
Saya sudah turut serta mengajar dan membina masyarakat marjinal kota sejak tahun 2017. Bahkan bukan sekadar itu. Sebagai mahasiswa fakultas hukum, ketika itu saya pun ikut berkecimpung dalam pengejawantahan ilmunya sejak dini. Wujudnya dengan belajar memberikan layanan konsultasi hukum – hingga mengadvokasi – masyarakat marjinal.
Kasus-kasus yang biasa timbul di kalangan masyarakat marjinal bervariasi. Macam-macam. Baik perdata (di antaranya kasus perceraian, waris, pernikahan, wanprestasi, hutang-piutang, pertanahan) maupun pidana (di antaranya kasus KDRT, narkoba, pencemaran nama baik, pencurian, dan pemerkosaan). Namun, yang sering terjadi adalah kasus perceraian, narkoba, pencurian, dan pemerkosaan.
Pengalaman penuh hiruk pikuk dalam memperjuangkan keadilan, khususnya di kalangan masyarakat marjinal, tentu penuh suka dan duka. Bahkan banyak pengalaman unik. Uniknya, pengalaman serupa itu cuma bisa ditemukan pada saat mengadvokasi masyarakat marjinal. Sebab, ketika melakukan advokasi untuk masyarakat marjinal, kami kerap kali terlibat dalam suasana “abu-abu”. Kadang kami merasa “tidak bahagia dalam suasana suka” dan “dalam suasana duka terasa bahagia”. Bingung? Nah, jika ingin tahu lebih jelas seperti apa suasana serupa itu, kapan-kapan ikutlah bersama kami turun ke lapangan saat mengadvokasi hak-hak masyarakat marjinal. Sebab, banyak sekali pengalaman yang hanya bisa dirasakan dan cukup sulit untuk dideskripsikan.
Sebenarnya, tantangan dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat marjinal bukan hanya terjadi di tataran realisasi di lapangan saja. Tetapi juga dalam cara pandang masyarakat tentang terminologi keadilan itu sendiri. Kerap kali, istilah “keadilan dalam hukum” di kalangan masyarakat marjinal merupakan sebuah istilah yang hanya ada dalam harapan dan angan-angan.
Bagi mereka kalangan marjinal, pengertian keadilan ialah ketika seseorang menjadi pemenang dalam pertarungan. Sehingga, mendapatkan keadilan bagi kaum marjinal yang terjerat persoalan hukum seakan jauh panggang dari api. Padahal, jika bicara tentang keadilan dalam hukum, itu merupakan hak semua orang sebagai warga negara. Jika terdapat kesalahan yang dilakukan oleh seseorang dan terbukti dirinya memang melakukan kesalahan, maka patut dikenakan sanksi. Siapa pun dia. Sebab, sebagai negara hukum, negara kita mengenal istilah “equality before the law”. Artinya, di mata hukum semua manusia setara. Dan karena semua manusia setara di mata hukum, maka semua orang berhak mendapatkan haknya secara hukum.
Sejumlah Kasus Hukum
Ada sekian banyak kasus hukum yang terjadi di masyarakat marjinal. Saya mendalami sejumlah kasus di antaranya. Banyak di antara kasus-kasus itu yang akan selalu terpatri di dalam sanubari saya. Tentunya itu akan menjadi pembelajaran hidup. Berikut ini beberapa kasus hukum yang terjadi di masyarakat marjinal yang saya advokasi sendiri.
Baca juga: Mana yang Didahulukan, Keadilan atau Kepastian Hukum?
Pertama, Kasus Pencurian Laptop. Kejadiannya tahun 2019. Ketika itu, terjadi kasus pencurian laptop yang dilakukan oleh seorang santriwati di sebuah pesantren. Laptop yang dicuri tersebut merupakan milik ustadzah atau gurunya. TKP adalah di tempat sang santriwati itu belajar.
Di pondok ada CCTV. Aksi si pelaku terekam oleh CCTV. Dengan modal rekaman itulah, sang ustadzah yang menjadi korban pencurian melapor ke polisi. Santriwati itu pun lantas ditahan di kantor polisi. Berhubung santriwati itu adalah binaan saya di jalanan, dia menelepon saya dari kantor polisi, mengabari bahwa dia ditahan di kantor polisi, dan meminta tolong secara hukum. Sehari-hari, dia merupakan pengemis yang saya tahu memiliki tekad untuk bisa mondok belajar di pondok pesantren.
Saya pun berangkat ke kantor polisi. Setiba di sana, saya berupaya melakukan restorative justice. Alhamdulillah, atas izin Allah, kedua belah pihak sepakat agar permasalahan ini diselesaikan dengan kekeluargaan. Santriwati itu pun bisa bebas dari tahanan.
Kedua, Kasus Perceraian. Kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat marjinal umumnya didasari oleh adanya tindakan KDRT atau faktor ekonomi. Di tahun 2021, saya menangani perkara perceraian yang didasari adanya perbuatan KDRT. Sang istri menjadi korban kekerasan di dalam rumah tangganya. Demi kemaslahatan dan kebaikan anak mereka ke depannya, saya bantu melakukan advokasi sang istri sampai di tingkat Pengadilan Agama. Atas izin Allah, perkara tersebut putus dengan cerai. Saat ini istri tersebut sudah bisa hidup mandiri serta sudah memiliki usaha warung kopi keliling.
Ketiga, Perkara Waris. Ada perkara terkait waris yang telah diselesaikan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan saya mendampingi pihak keluarga yang beperkara.
Selain itu, juga ada beberapa perkara lainnya yang turut saya advokasi. Di antaranya adalah perkara pencurian motor di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, perkara hukum ekonomi syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, mengadvokasi hak masyarakat terkait adanya penggusuran lahan di wilayah Rawamangun (Jakarta Timur), menyelesaikan permasalahan hutang-piutang yang sebelumnya sudah hampir 4 tahun tidak ada penyelesaian, dan masih banyak lagi perkara-perkara yang sudah dituntaskan atau sedang ditangani.
Perkara-perkara yang sudah saya tuntaskan tentunya bukan berarti karena kemahiran diri sendiri. Akan tetapi, itu semua tiada lain karena kuasa Allah SWT yang memberikan kemudahan terhadap masalah-masalah tersebut.