Mana yang Didahulukan, Keadilan atau Kepastian Hukum?

Mana yang Didahulukan, Keadilan atau Kepastian Hukum?
Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Ustadz Jeje Zaenudin dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. / Sabili.id

Di era digital ini, kegiatan pagi sebelum beraktifitas adalah membuka Handphone sambil menyeruput secangkir kopi. Jari jemari terampil ketuk sana geser sini demi mencari informasi. Mata pun lantas tertuju pada grup whatsap Dakwah Politik Keumatan yang saya pun ikut di dalamnya. Di grup ini banyak dialog-dialog segar berseliweran. Maklum, anggotanya adalah para pakar politik, hukum, politisi, dosen, dan wartawan pun ada.

Berawal dari copy-paste suatu berita media online beritasatu.com tentang legitimasi Capres-Cawapres dalam Pemilu 2024 mendatang. Di berita itu, Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (beliau juga ada di grup tersebut), yang sering disapa Prof YIM, memastikan pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sudah memiliki legitimasi hukum dan politik yang kukuh untuk bertarung di Pilpres 2024.

Menurut Yusril, legitimasi politik dan hukum penting di Indonesia sebagai negara hukum demokratis. Kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu, pemenang pemilu otomatis akan memperoleh legitimasi politik karena mayoritas rakyat memilihnya. Sementara legitimasi hukum berkaitan dengan persoalan apakah kekuasaan itu sah atau tidak dilihat dari sudut hukum dan konstitusi.

“Dalam pilpres, legitimasi politik dan legitimasi hukum itu penting, dan Prabowo-Gibran dari proses pencalonan hingga tahapan kampanye saat ini sesungguhnya telah memiliki kedua legitimasi tersebut,” ujar Yusril, tentang pengesahan pasangan calon oleh KPU atas dasar putusan MK Nomor 90/2023.

Mas Dwi Budiman sepakat dengan Prof YIM, secara hukum memang sudah legitimate, tetapi dari sisi rasa keadilan masih banyak hal yang mengganjal, antara lain yaitu masalah rasa keadilan. Inilah yang menjadi PR kita. Dulu, Pak Harto dengan Orde Baru-nya juga secara hukum legitimate karena sesuai hukum yang berlaku. Namun masalahnya, hukum yang berlaku itu kurang memiliki rasa keadilan.

Kata Prof YIM, ini problema abadi dalam filsafat hukum, antara keadilan dan kepastian hukum. Sulit mempertemukannya dalam dunia nyata, walau secara filsafat bisa saja dibahas. Imam Asy-Syatibi membahas hal ini dalam kitab Mu’afaqat yang ditulis pada abad 13 Masehi. Tetapi sampai hari ini problem itu tetap ada: Kalau terjadi benturan antara keadilan dan kepastian hukum dalam menjalankan negara, mana yang harus didahulukan?

Baca Juga : Empat Tahap Menuju Demokrasi, Kita Sampai di Mana?

Siapakah yang legitimate menjadi Khalifah? Ali bin Abi Thalib ataukah Muawiyah bin Abi Sufyan? Di sini juga ada persoalan besar antara legitimasi hukum dan politik, antara keadilan dan kepastian hukum. Persoalannya tambah besar pada generasi berikutnya, mana yang legitimate, apakah Yazid bin Mu’awiyah ataukah Hasan bin Ali bin Abi Thalib?

Agaknya pemikiran Prof YIM menggeletik Ketua Umum PERSIS, Prof Jeje Zaenudin. Menurut hemat pemilik gelar Doktor bidang Hukum Islam dan Perundang-undangan ini, dalam tinjauan filsafat hukum Islam, dapat diambil ibrah dari suatu kasus di masa Nabi. Ketika ada dua orang bersengketa, Nabi memutuskan hukum berdasarkan bukti dan saksi yang zhahir.

Lalu beliau menasihati dua orang yang berperkara itu dengan mengatakan (kurang lebih): “Sesungguhnya Aku hanyalah manusia biasa. Sesungguhnya orang-orang yang bertengkar datang kepadaku. Bisa jadi sebagian orang lebih fasih dan lebih pintar menyampaikan pengaduannya kepadaku daripada yang lain sehingga aku memenangkan perkaranya karena aku mengira dialah yang benar. Maka barangsiapa yang aku menangkan perkaranya atas hak seorang muslim yang lain, maka tiada lain yang ia ambil adalah sebongkah api neraka. Silakan ia mengambil atau meninggalkannya.” – Sahih Bukhory:ix: 73

“Saya fahami bahwa seorang pemimpin ketika keadilan itu masih samar, ia mendahulukan kepastian berdasar bukti yang zhahir,” ungkap Prof Jeje.

Sedangkan dalam kasus penunjukan putra mahkota Yazid oleh Muawiyah, saya lebih tertarik pada perbedaan sikap para ulama sahabat masa itu dalam menghadapi kenyataan pelanggaran hukum oleh khalifah Muawiyah. Kelompok pertama, sebagian sahabat ambil posisi menentang keras dan membuat pemerintahan oposisi di Hijaz dengan mengangkat Abdullah bin Zubaer sebagai khalifah. Kelompok kedua, menerima dan memahami keputusan Muawiyah sebagai suatu ijtihad politik demi kemaslahatan bersama dan kelanjutan kepemimpinan Dinasti Umayyah. Kelompok ketiga, kelompok yang mengambil sikap diam. Tidak setuju tetapi tidak mau opisisi. Konsen mereka adalah bagaimana menjaga keselamatan umat dari pertumpahan darah dan dari perpecahan.

“Pertanyaan mendasarnya, apakah layak situasi saat ini dianalogikan kepada situasi masa Umayyah yang mengubah sistem Syura menjadi Dinasty?” tanya Ustadz Jeje.

YIM menimpali bahwa secara filosofis, saya pun ingin mengikuti adagium dalam filsafat hukum Islam bahwa di dalam keadilan itu ada kepastian hukum, dan di dalam kepastian hukum itu ada keadilan. Secara filosofis seperti Imam Asy-Syatibi merumuskannya dengan baik. Namun, dalam dunia nyata benturan antara keadilan dan kepastian hukum sulit dihindarkan.

“Saya pernah dihadapkan pada problema menjalankan eksekusi hukuman mati kepada 14 orang narapidana narkotika. Dari sisi keadilan berbagai pandangan dikemukakan pada apakah hakim sampai kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) telah benar dalam menerapkan hukum atau kemungkinan masih ada kekeliruannya.”

“Saya berpegang pada hadits Nabi yang mengatakan bahwa bagi qadi adalah lebih baik baginya jika dia salah menerapkan hukum dalam membebaskan seseorang, daripada dia salah menerapkannya dalam menjatuhkan hukuman.”

“Tetapi segala upaya hukum sudah final tingkat kasasi dan PK. Sebagai Menteri Kehakiman saya harus mengambil keputusan untuk dilaksanakan oleh jaksa eksekutor. Akhirnya saya mengedepankan kepastian hukum. Upaya hukum sudah final, Presiden juga menolak permohon grasi, maka eksekusi harus dijalankan. Malam harinya, 14 napi narkotika itu menghadapi regu tembak dari Brimob. Semuanya mati seketika. Sampai hari ini, saya merasa semacam ada beban dalam batin saya, benarkah keputusan saya itu?”

Baca Juga : Wabah Al Wahn Merebak di Tahun Politik

Kasus lain adalah kasus Tibo, terpidana kasus kerusuhan dan pembantaian di Poso. Tibo dijatuhi hukuman mati sampai ke Mahkamah Agung. Tibo mengajukan grasi kepada Presiden. Sri Paus dari Roma menulis surat kepada Presiden RI agar Tibo diampuni.

“Sebagai Mensesneg ketika itu, saya harus menulis saran dan pendapat saya kepada Presiden. Saya bicara dengan Ketua Mahkamah Agung sehubungan dengan surat Sri Paus. Saya memutuskan agar grasi ditolak dan eksekusi dijalankan. Presiden sependapat dengan saya. Kalau tidak salah ingat, saya yang menandatangani jawaban surat kepada Paus, mohon maaf tidak dapat memenuhi permohonan beliau, demi keadilan dan kepastian hukum di negeri ini. Dalam kasus Tibo, saya merasa keadilan dan kepastian hukum mencapai titik temunya. Tetapi terhadap 14 napi narkotika itu tetap ada pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab oleh hati dan pikiran saya.”

Dalam sistem hukum kita, bahkan dalam hukum Islam, beban pembuktian ada pada orang yang mendakwa atau menuduh, bukan pada orang yang didakwa atau dituduh. Jadi kalau menuduh ijazah Jokowi palsu, maka anda yang harus membuktikan kepalsuannya, bukan Jokowi yang harus membuktikan bahwa ijazahnya asli dan tidak palsu. Kalau anda gagal membuktikannya, anda bisa dituntut balik sebagai pelaku fitnah dan pencemaran nama baik.

“Saya mau tanya sama Saudara Arga Lukman (ada di grup tersebut), kalau ada orang menuduh anda berzina, maka beban pembuktian ada pada siapa? Apakah orang yang menuduh (dengan menghadirkan 4 saksi, melihat anda berzina itu dari empat sudut yang berbeda, menurut hukum pembuktian jinayat mazhab Syafii), atau anda yang harus membuktikan bahwa anda tidak berzina? Apa konsekuensinya orang yang menuduh seseorang berzina, tetapi tidak bisa membuktikannya? Coba anda pelajari kitab2 fiqih jinayat supaya jelas duduk persoalannya,” jelas Yusril.

Prof Yusril rupanya menyoal Mas Arga Lukman Abubakar yang berkomen soal ijasah palsu Jokowi, bagaimana tinjauan filsafat hukumnya? Kasus sudah masuk pengadilan, Jokowi diminta menunjukkan ijasah aslinya, tetapi tidak dapat membawa ijasah aslinya. “Jokowi mah santai saja, karena sudah banyak kacungnya menangani,” tulis Arga.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.