Menurut Pengamat Gerakan Zakat dari Universitas Indonesia (UI), Yusuf Wibisono, selama ini pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) telah merugikan banyak lembaga amil zakat (LAZ) yang didirikan masyarakat. Sehingga, Yusuf mendukung usul pembenahan tata kelola zakat Indonesia yang disampaikan oleh beberapa LAZ dalam sidang pengujian UU Nomor 23 Tahun 2011 di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Hal itu dikemukakan Yusuf Wibisono dalam keterangan pers tertulis yang disampaikan ke Redaksi Sabili.id, Jumat (8/11/2024).
“Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 selama ini, yang secara resmi berlaku sejak tahun 2016, telah merugikan organisasi pengelola zakat (OPZ) bentukan masyarakat sipil, yaitu LAZ (Lembaga Amil Zakat), setidaknya dalam empat perkara,” tutur Yusuf.
Pertama, kata dia, pemberlakuan UU No 23/2011 telah menyebabkan terjadinya diskriminasi antar sesama operator zakat nasional. Sebab, UU tersebut memberikan keistimewaan yang luar biasa kepada OPZ bentukan pemerintah, yaitu Baznas. Menurut Yusuf, pembentukan Baznas di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, menjadi amanat UU tanpa persyaratan apa pun (Pasal 5 dan 15). Pada saat yang sama, pendirian LAZ mendapat restriksi yang sangat ketat (Pasal 18).
Kedua, berdasarkan Pasal 17 UU Nomor 23/2011, kata dia, keberadaan LAZ hanya sekadar membantu Baznas. Sementara itu, pendirian LAZ mendapat restriksi yang sangat ketat dan bahkan berpotensi mematikan, semisal ketentuan harus mendapat rekomendasi BAZNAS [Pasal 18 ayat (2) huruf c].
“Pelaksanaan UU Nomor 23/2011 juga telah menyebabkan terjadinya sentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu Baznas (Pasal 5), dan mensubordinasikan serta memarginalisasikan LAZ di bawah Baznas yang statusnya sama-sama sebagai operator zakat nasional,” ucap Yusuf.
Menurut dia, penerapan UU Nomor 23/2011 melalui peraturan pelaksanaannya, yaitu PP Nomor 14/2014, juga telah menyebabkan terjadinya marginalisasi dan perlakuan diskriminatif terhadap LAZ yang mengakibatkan adanya hambatan bagi perkembangan LAZ, antara lain membentuk hak UPZ yang hanya diberikan kepada Baznas, ketentuan perjanjian pembukaan LAZ di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta mekanisme pelaporan LAZ yang sangat berlebihan dan memberatkan.
Ketiga, lanjut dia, pelaksanaan UU Nomor 23/2011 telah menyebabkan terjadinya marginalisasi dan penyempitan akses bagi para mustahik dan penerima manfaat dana zakat untuk memeroleh manfaat dari dana zakat, akibat tindakan terhadap LAZ dan amil zakat yang dapat beroperasi. “Pelaksanaan UU Nomor 23/2011 juga telah menyebabkan terjadinya gangguan terhadap preferensi dan pilihan para muzaki dalam menyalurkan dana zakatnya, akibat terbatasnya LAZ dan amil zakat yang dapat beroperasi dengan persyaratan izin operasional yang tidak adil,” jelas Yusuf.
Keempat, menurut dia, pelaksanaan UU Nomor 23/2011 telah menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap LAZ yang tidak berhasil mendapatkan legalitas dan amil zakat tradisional yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Padahal, jelas dia, selama ini para muzaki Indonesia telah percaya terhadap lembaga-lembaga amil tersebut karena telah mengelola dana zakat dengan amanah, profesional, dan akuntabel.
“Mereka selalu terancam dipidana berdasarkan Pasal 38 juncto Pasal 41 UU Nomor 23 tahun 2011,” ujar dia.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!