Pemerintah penjajah Israel – yang didominasi oleh kelompok ekstremis sayap kanan – dengan dukungan Menteri Keuangan ultra-nasionalis, Bezalel Smotrich, pada Rabu (20/8/2025), mengesahkan proyek pembangunan sekitar 3.400 unit permukiman baru. Proyek itu akan memerluas kawasan permukiman Ma’ale Adumim, menghubungkannya dengan Al-Quds, serta memisahkan Tepi Barat bagian utara dari bagian selatan.
Menurut pengamat, langkah tersebut berpotensi menghancurkan prospek terbentuknya negara Palestina yang berdaulat dan utuh secara geografis.
Pada Kamis (21/8/2025), berbagai negara dan organisasi internasional mengecam keras keputusan pemerintah penjajah terkait proyek yang lebih dikenal dengan nama “E1” itu. Kebijakan penjajah tersebut dinilai telah melanggar hukum internasional dan mengancam prospek berdirinya negara Palestina.
Mengutip laporan Al-Jazeera, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama negara-negara Barat menegaskan, keputusan penjajah Israel tersebut tidak sah menurut hukum internasional dan bertentangan dengan resolusi PBB.
“Proyek ini ilegal dan patut dikecam,” tegas Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stéphane Dujarric.

Gelombang Kecaman Internasional
Sejumlah negara Barat menyampaikan penolakan keras terhadap keputusan penjajah Israel tersebut, di antaranya:
Italia
Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani, menilai proyek itu “tidak dapat diterima” dan bertentangan dengan hukum internasional.
Inggris
Menteri Luar Negeri Ingris, David Lammy, memeringatkan, pelaksanaan proyek E1 akan “membagi Palestina menjadi dua”. Tindakan ini merupakan “pelanggaran serius terhadap hukum internasional”. Ia menyerukan agar penjajah Israel segera membatalkan rencana tersebut.
Jerman
Kementerian Luar Negeri Jerman mengungkapkan penolakan secara tegas. Ia menganggap proyek itu sebagai pelanggaran hukum internasional dan menyerukan penjajah Israel untuk segera menghentikan seluruh ekspansi permukiman.
Belanda
Menteri Luar Negeri Belanda, Kaspar Veldkamp, mengatakan, proyek tersebut akan membelah Tepi Barat dan membuat pendirian negara Palestina di masa depan menjadi “hampir mustahil.”
Selain itu, sejumlah analis menilai keputusan penjajah Israel menghidupkan kembali proyek E1 merupakan reaksi atas rencana beberapa negara — termasuk Inggris, Prancis, dan Australia — yang berkomitmen untuk mengakui negara Palestina dalam sidang Majelis Umum PBB pada September 2025 mendatang.
Keteguhan Rakyat Palestina
Rakyat Palestina tetap berpegang pada posisi bahwa Al Quds Timur adalah ibu kota negara Palestina di masa depan, sesuai dengan resolusi internasional yang menolak klaim Israel atas kota itu sejak 1967 maupun keputusan aneksasi pada 1980.
Adalah fakta, saat ini sekitar 3 juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat bersama lebih dari 500.000 pemukim penjajah Israel. Seluruh permukiman tersebut, baik yang diakui maupun tidak diakui pemerintah Israel, dinyatakan ilegal menurut hukum internasional.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!