People Power? Mungkinkah?
Sepekan terakhir jagad media sosial diramaikan oleh isu bakal digelarnya aksi people power mengepung Istana Negara, Kamis, 10 Agustus 2023. Salah satu elemen yang paling nyaring menggaungkan rencana aksi itu adalah Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) yang dikomandani Jumhur Hidayat. Mantan Kepala BNP2TKI itu bersama sejumlah elemen buruh lain Selasa sore kemarin menggelar konferensi pers. Hari ini, Rabu, 9 Agustus 2023, saat tulisan ini dibuat, sejumlah kelompok massa dari beberapa daerah kabarnya sudah mulai bergerak menuju Jakarta.
Meski dengan ungkapan narasi yang berbeda-beda, hidden target-nya jelas: Menjungkalkan Jokowi dari tampuk kekuasaan. Kelompok-kelompok oposan anti Jokowi nampaknya sudah kehilangan kesabaran terhadap berbagai kebijakan Jokowi yang dinilai semakin jauh dari cita-cita proklamasi. Bahkan, narasi "menjual negara" semakin lantang disuarakan. Yang terakhir ini dikaitkan dengan kunjungan Jokowi ke Cina dan bertemu dengan Presiden Xi Jin Ping.
Apakah aksi memulangkan "Pak Lurah" ke Solo itu jadi atau tidak, kita tunggu saja besok. Katakanlah aksi itu jadi terlaksana, kita belum tahu seberapa banyak massanya. Apakah membludak hingga mencapai puluhan atau ratusan ribu orang seperti harapan para penggeraknya, hingga pantas disebut people power? Ataukah seperti yang sudah-sudah, jumlah massa sekadar ratusan orang saja atau paling banter dua-tiga ribu orang. Nanti kita saksikan bersama.
Terlepas dari itu, People Power sejatinya bukan hal aneh dalam perpolitikan Indonesia. Bahkan di setengah abad lebih paska proklamasi kemerdekaan, dua presiden RI tumbang diterpa people power, yaitu Soekarno dan Soeharto. Kebetulan pula, keduanya memegang rekor sebagai presiden terlama memerintah Indonesia. Soekarno berkuasa selama 21 tahun (1945-1966), sedangkan Soeharto bertahta 32 tahun (1966-1998).
Uniknya lagi, keduanya jatuh justru di saat cengkeraman kekuasaannya sedang pada puncaknya. Soekarno didukung oleh tiga dari empat besar pemenang pemilu 1955. Pada Pemilu pertama yang sampai saat ini menjadi satu-satunya Pemilu yang berlangsung secara Luber (Langsung, Umum, bebas dan Rahasia) serta Jurdil (Jujur dan Adil) itu, PNI di posisi pertama meraih 22,32 % suara, disusul Masyumi sebagai runner up dengan 20,92 %, NU di tempat ketiga meraup 18,41 % dan PKI di empat besar mendulang 16,36 %. Namun dalam perolehan kursi di DPR, PNI dan Masyumi sama-sama mendapat 57 kursi, sementara NU dan PKI masing-masing merebut 45 dan 39 kursi. Keempat partai tersebut menguasai hampir 80 % suara maupun kursi DPR.
Baca juga: Rocky Gerung itu Bahlul?
Hebatnya, Soekarno berhasil menghimpun PNI, NU dan PKI dalam koalisi Nasakom (Nasionalis, agama, komunis) yang ditentang mentah-mentah oleh Masyumi. Akibatnya, sejumlah ulama dan tokoh Masyumi yang menentang Nasakom dikurung dalam hotel prodeo, tanpa pengadilan. Di antara mereka terdapat Buya Hamka, M. Natsir, Sumarso Sumarsono, Ghazali Sahlan, dan lain-lain.
Saat itu Soekarno ditahbiskan sebagai presiden seumur hidup dan dikalungi gelar Bapak Revolusi. Posisi yang membuat Soekarno semakin otoriter dan membungkam habis lawan-lawan politiknya. Atas bisikan para pentolan PKI yang waktu itu menjadi inner circle kekuasaannya, Soekarno kemudian secara berturut-turut memaksa bubar Masyumi (1960) dan membubarkan HMI (1965). Di saat yang sama, PKI dengan organisasi underbow-nya semisal Pemuda Rakyat, Gerwani, BTI, SOBSI, Lekra, dan lain-lain, semakin merajalela. Mereka secara terang-terangan meneror, mengintimidasi dan mempersekusi kalangan Islam, misalnya peristiwa Mental Training PII (Pelajar Islam Indoensia) di Kanigoro, Jawa Timur. Bahkan tak segan membunuh secara sadis para ulama dan tokoh yang dinilai tidak sejalan, seperti terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lain-lain.
Penyair Taufik Ismail pernah bercerita, betapa kontrasnya pamer kekuatan antara kalangan Islam dengan PKI. Aksi pawai PKI dan Ormas underbow-nya kerap diikuti ribuan orang yang diangkut puluhan truk dan angkutan lainnya. Sementara anak-anak PII, HMI, atau kekuatan Islam, paling hanya beberapa mobil jeep terbuka. Begitu juga situasi di Yogya dan kota-kota lainnya. Di sisi lain, sebagian kekuatan organik TNI, semisal AURI dan pasukan pengawal presiden Cakrabirawa juga dalam pengaruh PKI.
Boleh dibilang, secara matematis nyaris mustahil menggusur Soekarno dari tampuk kekuasaan. Namun Allah berkehendak lain. Langkah prematur PKI yag menculik tujuh jenderal AD dan menguburnya di Lubang Buaya, tanggal 30 September 1965, menjadi titik balik yang tidak terduga. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai pemberontakan G30S/PKI itu memicu perlawanan dari umat Islam dan elemen rakyat lainnya. Husnie Thamrin, Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) mengorganisasikan anasir muda pelajar anti PKI dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Sementara HMI menginisiasi berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Di saat yang sama, tokoh muda NU, K.H Subhan Zaenal Ehsan, yang juga Ketua Umum GP Ansor, menggagas terbentuknya Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (KAP Gestapu). Sedangkan para guru mendirikan KAGI, para sarjana membuat KASI, dan lain-lain.
Singkatnya, berbagai komponen umat Islam dan bangsa bangkit melawan PKI bersama dengan TNI AD yang dimotori RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sejak itu, gerakan pembersihan PKI dan antek-anteknya terus dilakukan oleh TNI dan umat Islam di seantero negeri. Ujung cerita, bukan saja PKI hancur lebur, tetapi Soekarno juga tumbang.
Baca juga: Pajak untuk (si)apa?
Orde lama pupus, Orde Baru di bawah Soeharto naik panggung. Seperti halnya Soekarno, Soeharto pun berhasil menggenggam seluruh simpul kekuatan dan memimpin Indonesia selama 32 tahun. Ia menguasai ABG selaku tiga pilar utama kekuasaan, yakni ABRI (sekarang TNI), Golkar (sekarang Partai Golkar), dan Birokrasi. Di kemiliteran, hampir semua jabatan-jabatan utama dipegang oleh orang dekat Soeharto. Pangkostrad Letjen Prabowo (menantu), KSAD Jenderal Wismoyo AM (kerabat), Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dan Wiranto (ajudan). Try bahkan kemudian dipilih menjadi Wapres pada 1993-1998. Di Golkar, siapa pun yang akan menjadi Ketum Beringin harus mendapat persetujuan Ketua Dewan Pembina, yang dipegang Soeharto. Sementara birokrasi dari pusat sampai ke pelosok yang bernaung di bawah Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) menjadi mesin kekuasaan Soeharto.
Seperti halnya Soekarno yang digelari Bapak Revolusi, Soeharto juga diberi gelar Bapak Pembangunan. Selain itu, ia juga mendapat pangkat kehormatan Jenderal bintang lima. Padahal, pangkat tertinggi militer RI adalah jenderal bintang empat. Singkatnya, genggaman Soeharto atas kekuasaan politik nasional nyaris sempurna. Sehingga meski usianya sudah sepuh (77 tahun), SU MPR Maret 1998 kembali mengangkat ia sebagai Presiden RI untuk keenam kali berturut-turut (terhitung 7 kali jika menghitung pengangkatannya sebagai Pejabat Presiden tahun 1967). Padahal sejak setahun sebelumnya, Indonesia diterpa krisis moneter yang membuat rupiah lemah lunglai.
Sampai saat itu tak ada yang menduga Soeharto bakal jatuh. Namun takdir Allah berkehendak lain. Dipicu penembakan sejumlah mahasiswa Unversiras Trisakti Jakarta saat terjadi aksi demo mahasiswa di bulan Mei 1998, gelombang aksi demontrasi makin membesar dan tak kunjung henti. KH Ahmad Badawi, Ketua Dewan Da'wah yang juga Anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) mengingatkan Soeharto yang sedang berkunjung Ke Mesir untuk segera pulang. Namun, Soeharto tak menggubris. Sejarah pun mencatat, Soeharto akhirnya terpaksa lengser keprabon.
Pertanyaannya kini, mungkinkah hal serupa terulang? Entahlah, semuanya ada di Lauhil Mahfudz. Namun jika kita coba mengulik lebih seksama, ada perbedaan mendasar, baik situasi yang terjadi saat Orla, Orba, maupun saat ini. Di Era Soekarno dan Soeharto, betapa pun kuatnya cengkeraman kedua penguasa otoriter itu, pilar-pilar demokrasi dan kekuatan sosial masih ada. Di kedua masa tersebut, Perguruan Tinggi dan media massa sebagai pilar demokrasi yang keempat dan kelima, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif, relatif masih lumayan kuat.
Di zaman Orla, pengaruh Harian Abadi (S. Tasrif/Masyumi), Pedoman (Rosihan Anwar), dan Indonesia Raya (Mochtar Lubis) masih cukup kuat bergaung menyuarakan perlawanan terhadap totaliterisme Soekarno. Belum lagi media lainnya. Begitu pun Perguruan Tinggi seperti UI, ITB, UGM, dan lain-lain yang memegang erat otonomi kampus. Boleh dibilang, kampus adalah markas perlawanan terhadap rezim Soekarno. Di sisi lain, kekuatan sosial di tengah masyarakat, utamanya kaum muda seperti PII, HMI, GP Ansor, dan lain-lain, juga masih relatif solid. Mahasiswa dan ormas kaum muda tersebut benar-benar menjadi motor penggerak perlawanan terhadap rezim Orla.
Baca juga: Kabut Tebal dibalik Vonis Sambo
Hal yang mirip terjadi saat lengsernya Orba. Cengkeraman Soeharto terhadap semua lini kekuatan politik, tak menyurutkan nyali warga. Utamanya kaum muda, para ulama, dan cendekiawan. Meski ada segelintir mereka yang terkooptasi kekuasaan, tetapi mayoritas mereka terus berjuang membela rakyat dan keadilan. Sejumlah tokoh nasional bergabung dalam Petisi 50, mengritisi kepemimpinan Soeharto. Di antara mereka terdapat para founding fathers seperti mantan PM, M. Natsir; mantan KSAB, Jenderal A.H. Nasution; mantan presiden PDRI, Syafrudin Prawiranegara; mantan Menlu Muhammad Roem; mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin; dan lain-lain.
Di dalam kampus, mahasiswa tetap memelihara idealisme sebagai agen perubahan dengan dukungan kuat para dosen, dekan, bahkan rektor. Sementara di luar kampus, aktivis ormas pemuda dan pelajar seperti PII, HMI, PMII, GP Ansor, IMM, PMKRI, dan lain-lain, juga masih kukuh memegang idealisme dan etos kejuangan. Tak terkecuali anak-anak muda yang memakmurkan masjid. Boleh dibilang di masa itu kaum mudalah yang memakmurkan masjid, baik masjid kampus maupun masjid di pemukiman dan perkantoran.
Kelompok lain bergerak dalam bentuk lingkaran studi dan diskusi. Salah satu contohnya adalah sejumlah anak muda yang bergabung dalam grup studi dan diskusi Kelompok Telaah dan Amaliah Islami (KTAI). Dari hasil diskusi dan studi itu, mereka lantas menerbitkan majalah Islam Sabili. Gabungan aktivis pergerakan dan mahasiswa itu menerbitkan Sabili secara underground dan menyebarkannya door to door.
Mereka, dengan cara dan gerak masing-masing, berjuang melawan rezim tiran Soeharto. Hasilnya? Soeharto terhempas digulung badai reformasi.
Akankah aksi massa tanggal 10 Agustus besok mengulang hal yang sama? Jawabnya, mungkin saja jika sejumlah prasyarat di atas seperti era Orla dan Orba tersedia. Mari kita coba telisik.
Daya cengkeram rezim Jokowi sejatinya tidaklah sehebat Soekarno dan Soeharto. Saking kuatnya kedudukan keduanya, orang harus berhimpun dan berkerumun di sekitarnya agar aman. Baru kemudian mencari manfaat. Sedangkan di era Jokowi, orang berhimpun dan berkumpul awalnya lebih untuk mencari manfaat. Posisi Jokowi yang bukan Ketua Partai dan bukan pula berlatar militer, sekilas membuat dia lemah. Karenanya, ia membutuhkan mitra dan teman sebanyak mungkin. Para mitra itu kemudian berkerumun, berebut kue sebesar mungkin.
Baca juga: Siapa yang Radikal dan Intoleran?
Di dalam perjalanan waktu, perebutan kue itu membuat banyak orang terperangkap perilaku korupsi dan kolusi. Perilaku itu seperti sengaja dibiarkan, sehingga mereka lalu masuk dalam daftar "rawat jalan" KPK atau Kejaksaan Agung. Pada gilirannya, status rawat jalan itu bisa berubah jadi “rawat inap", jika mereka macam-macam. Gampangnya, politik sandera membuat rezim Jokowi yang semula agak lemah, dengan cepat berubah menjadi sangat power full.
Di sisi lain, media massa dan kampus secara sistematis dikebiri. Kampus dibuat mandul dengan mengangkat petingginya jadi komisaris BUMN atau menarik mantan petingginya jadi menteri atau petinggi negara. Pada saat yang sama, para aktivis mahasiswanya dijulurkan berbagai fasilitas dan fulus. Jabatan-jabatan penting di organisasi mahasiswa tidak lagi murni urusan idealisme dan kualitas kepemimpinan, tetapi telah terkontaminasi tawar-menawar pragmatisme.
Media massa mainstream (cetak dan elektronik) didinginkan dengan meletakkannya di bawah kepemilikan konglomerat. Oligarki tak lagi sekadar menguasai perekonomian dari hulu ke hilir, tetapi juga merambah media massa dan partai politik. Di dalam situasi seperti itu, media sosal menjadi kanal yang relatif masih leluasa untuk berekspresi dan menyatakan pendapat.
Kondisi setali tiga uang juga melanda kekuatan sosial di luar kampus. Ormas pemuda disibukkan dengan pragmatisme dan praktik transaksional. Kegiatan seperti Munas, Muktamar, dan sejenisnya tak dapat dihindarkan dari tawar-menawar transaksional dimana uang berseliweran. Sulit menggerakkan aksi demonstrasi tanpa ada cuan yang cukup.
Pada saat yang sama, masjid-masjid tak lagi jadi pusat pembekalan dan perlawanan. Penghuni masjid saat ini adalah para camat (calon mati) yang sudah berusia 50 tahun ke atas. Aroma yang menyebar di masjid-masjid bukan wangi bunga mawar atau melati, tetapi bau bunga kamboja. Bertambah parah ketika kajian-kajian Islam yang ramai dan meriah, umumnya sarat dengan persoalan fiqhiyah furu'iyah tanpa ada kaitannya dengan masa depan umat dan bangsa. Nyaris sulit mencari kajian Islam yang membangkitkan rasa tanggung jawab besar terhadap kepemimpinan bangsa.
Tak berlebihan jika kondisi tersebut dikatakan seperti orang yang onani. Enak tetapi tidak produktif karena tak menghasilkan apa-apa. Maka terjadilah situasi dimana kegiatan kajian Islam ramai, haji dan umrah membludak, tetapi urusan kenegaraan dan publik dikuasai oleh mereka yang tak paham Islam. Apalagi punya komitmen menjalankan nilai-nilai Islam.
Kalau sudah begini, silakan menebak-nebak apa yang akan terjadi besok.