Penulis: Dr. Hepi Andi Bastoni, MA, MPd.I (Ketua IKADI Kota Bogor)
Para ulama sepakat puasa Ramadhan mulai disyariatkan pada tahun kedua hijriyah di bulan Sya’ban. Sedangkan Perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan di tahun yang sama. Jadi, ketika Perang Badar berlangsung, syariat puasa Ramadhan sudah ada.
Tak hanya itu, peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada tahun 8 H, juga berlangsung di bulan Ramadhan. Perjalanan sangatlah berat dan melelahkan. Kaum Muslimin pun dihadapkan pada kemungkinan menghadapi musuh yang akan sekuat tenaga mempertahankan Makkah.
Nah, apakah Nabi dan kaum Muslimin berpuasa pada dua peristiwa itu?
Pendapat pertama, Nabi tidak berpuasa. Hal ini dijelaskan dalam beberapa riwayat. Di antaranya, riwayat Imam at-Tirmidzi:
“Dari (Said) bin Musayyib, sesungguhnya ia ditanya soal puasa di waktu perjalanan, lalu ia menceritakan (sebuah riwayat) bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan sebanyak dua kali, yakni perang Badar dan pembebasan Makkah, dan kami berbuka (tidak berpuasa) di kedua peperangan tersebut.”
Meski demikian, ada riwayat lain yang isinya sedikit berbeda.
“Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah pada 16 Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa, ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.” – HR. Muslim
Dua riwayat tersebut terkesan seakan bertentangan, padahal tidak. Keduanya memiliki objek pandang berbeda. Yang pertama, menjelaskan apa yang benar-benar diamalkan Rasulullah, bahwa beliau membatalkan puasanya. Yang kedua, menjelaskan realita di kalangan para shahabat. Bahwa, di antara mereka ada yang puasa ada yang tidak.
Yang menarik, kedua pihak tidak saling mengecam. Keduanya saling menghormati. Karena itu, puasa dalam kondisi seperti ini bersifat rukhshah bagi yang ingin membatalkannya, seperti dilakukan Nabi dan sebagian shahabat.
Pada peristiwa Fathu Makkah kisahnya juga menarik. Bersama 10 ribu kaum Muslimin, Nabi meninggalkan Madinah dalam keadaan puasa. Ketika tiba di Kura’ al-Ghamim, antara Makkah dan Madinah, rombongan kelelahan, sehingga Rasulullah meminta satu kantong air dan meminumnya. Salah seorang shahabat berkata, “Sebagian orang masih tetap berpuasa.” Rasulullah menjawab, “ûlaikal ‘ushâh, ûlaikal ‘ushâh—mereka adalah orang yang bermaksiat.”
Di riwayat lain, Rasulullah memerintahkan para shahabat untuk berbuka dalam rangka memperkuat diri saat menghadapi musuh.
“(Abu Sa’id al-Khudri berkata), ‘Kami berpergian bersama Rasulullah menuju Makkah—yakni dalam tujuan pembebasan Makkah—dan kami berpuasa. Kami singgah di sebuah tempat, maka Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh, dan berbuka lebih menguatkan kalian. Ini merupakan keringanan. Karena itu sebagian dari kami tetap berpuasa, dan sebagian lainnya berbuka. Kemudian kami singgah di tempat lainnya, Rasulullah (kembali) bersabda, ‘Sesungguhnya kalian sudah berada di depan musuh, dan berbuka lebih menguatkan kalian, maka berbukalah!’ Ini bukanlah rukhsah, maka kami pun berbuka.” – Imam Ibnu Mulaqqin, al-Badr al-Munîr fî Takhrîj al-Ahâdîts wa al- tsâr al-Wâqi’ah fî al-Syarh al-Kabîr, 2004, juz 5, h. 720-721
Kesimpulan
Saat Perang Badar, Rasulullah ﷺ membatalkan puasanya (sesuai riwayat Umar bin Khaththab), tapi sebagian shahabat tetap puasa (sebagaimana riwayat Abu Said al-Khudri). Pada Fathu Makkah, di tengah perjalanan Rasulullah membatalkan puasanya namun sebagian shahabat ada yang tetap berpuasa. Namun ketika berada di depan musuh, Nabi memerintahkan para shahabat untuk berbuka.
Wallahu a’lam.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!