Perang Sarung: Menanti Respon Strategis Intitusi Dakwah dan Dai

Akhirnya keprihatinan berbagai pihak terkait fenomena perang sarung terjadi juga. Satu orang remaja di Bekasi tewas menjadi korban perang sarung. Kegaduhan yang diakibatkan oleh perang sarung sendiri telah dikeluhkan warga masyarakat setidaknya semenjak setahun lalu.

Memasuki awal Ramadan kemarin, terjadinya perang sarung antar kelompok remaja memang kembali marak. Apa itu perang sarung? Fenomena ini sesungguhnya cukup tua dalam tradisi anak-anak di Jawa dan mungkin di beberapa daerah lain di Indonesia. Para santri bahkan punya istilah slepet sebagaimana dipopulerkan oleh Gus Imin, Cawapres dari pasangan 01 pada Pemilu tempo hari.

Sarung yang dipakai habis mengaji atau tarawih digunakan untuk sarana bermain, dengan memukulkannya kepada teman atau kelompok teman yang menjadi lawan mainnya. Slepet adalah salah satu “jurus” yang paling aman. Sedikit menimbulkan rasa perih di kaki atau wajah yang terkena slepet.

Yang paling berbahaya, jika dalam perang sarung tersebut, salah satu ujungnya diikat menjadi bonggol yang diayunkan dari ujung sarung yang lain. Jika kena dada atau bagian kepala, apalagi mata, ayunan keras bonggol sarung itu bisa berakibat serius.

Dahulu, perang sarung hanya dilakukan saat anak-anak pulang atau berangkat ke masjid. Saling slepet di antara sesama mereka saja. Tidak melibatkan kelompok lain. Dan kerap kali dilakukan tanpa perencanaan atau janjian untuk perang sarung. Suasananya riang, menyerang tetapi tanpa kebencian, apalagi dendam.

Baca juga: MK Melayani Siapa?

Kini, perang sarung menjadi meresahkan. Para pelaku umumnya bukan remaja yang pulang atau pergi ke masjid untuk tarawih. Perang sarung saat ini direncanakan melalui media sosial semisal grup Whatsapp dan twitter. Mereka janjian ketemu untuk melakukan perang sarung yang melibatkan dua kelompok berbeda. Umumnya pada jam-jam yang tidak terkait dengan waktu tarawih ataupun shalat berjamaah di masjid. Misalnya kasus perang sarung di Bekasi yang menawaskan remaja berinisial AA, usia 17 tahun, yang terjadi pada pukul 00.30 di jalan arteri Tol Cibitung.

Parahnya lagi, saat ada perang sarung yang berhasil dibubarkan oleh masyarakat dan polisi lalu ada sejumlah sarung yang tertinggal, masyarakat dan pihak kepolisian justru kerap menemukan benda-benda berbahaya yang terbungkus sarung. Ternyata di dalam sarung yang tercecer itu didapati besi, kunci Inggris, senjata tajam, dan simpul sarung yang diisi dengan batu, menjadi bonggol maut saat terayun ke kepala lawannya.

Jelas, motifnya tak lagi dalam konteks bersenang-senang untuk saling slepet menggunakan sarung. Justru sarung itu dijadikan kedok untuk menyembunyikan motif yang amat berbahaya, yaitu mencelakai lawannya.

Aparat Keamanan Waspada

Pemberitaan dari media nasional mewartakan, kasus perang sarung terjadi hampir di seluruh Indonesia. Tak hanya di Jakarta, Bogor, dan Bekasi. Jika dahulu ramai di kalangan anak muda istilah SOTR (Sahur On The Road) yang juga mengganggu ketertiban, khususnya di jalanan, maka saat ini yang lagi mewabah adalah perang sarung.

Beberapa waktu lalu, 13 remaja diamankan oleh aparat kepolisian di Sukabumi saat hendak perang sarung pada jam sahur (17/3/2024). Di Pontianak, menjelang masuk bulan Ramadan polisi setempat mengamankan 19 remaja yang telah janjian untuk perang sarung di Jalan Tanjung Raya II, Kota Pontianak. Polisi di Tanjung Karang setidaknya mengamankan 3 orang remaja pada ahad (17/3/2024) dinihari di Jalan Mayjen Sutiyoso, Tanjung Karang. Sementara itu, di Cimahi, 26 remaja diamankan polisi karena kedapatan akan melakukan perang sarung sembari membawa senjata tajam dan benda tumpul di jalan Kerkoh, Leuwigajah, Kota Cimahi.

Baca juga: Peran Partai Politik dalam Perubahan Politik Substantif di Indonesia

Masih ada banyak lagi berita dari daerah-daerah di seluruh Indonesia yang mengabarkan hal serupa. Ini menandakan bahwa perang sarung telah menjadi tren nasional. Karena meresahkan dan terbukti mengancam nyawa para pelakunya sendiri, pihak keamanan dan khususnya kepolisian telah mengambil sikap waspada. Beberapa program kesiagaan bahkan telah secara khusus diagendakan untuk penanganan masalah perang sarung ini.

Polres Bangka Selatan bahkan telah melaksanakan program patroli malam dalam rangka cegah tangkal perang sarung di kawasannya. Hal serupa diserukan oleh Kapolres Bojonegoro yang menginstruksikan cegah perang sarung selama Ramadan. Sementara itu, Satpol PP kota Surabaya juga bersiaga untuk mencegah perang sarung yang kerap marak di kawasannya dengan menggencarkan patroli Asuhan Rembulan.

Belum Menjadi Agenda Masjid dan Dakwah

Jika polisi dan aparat keamanan lainnya telah bertindak pro-aktif untuk cegah – tangkal, lalu bagaimana respon komunitas dakwah dan masjid? Perang sarung memang bukan urusan lembaga dakwah dan masjid secara langsung. Terjadinya kasus perang sarung juga tak pernah di area masjid. Namun, masjid sebagai institusi dakwah dan pusat ibadah tampaknya perlu tanggap untuk turut mengurai masalah tersebut.

Belum banyak komentar dari para aktivis dakwah dan ustadz kondang terkait masalah ini. Apakah memang para aktivis dan lembaga dakwah setuju bahwa perang sarung memang harus didekati dengan pendekatan kemanan?

Ada anomali dalam perilaku remaja hari ini. Di satu sisi, mereka mudah berkumpul dan digerakkan secara offline untuk kegiatan yang destruktif semacam tawuran dan perang sarung seperti ini. Melalui komando dari media sosial, menyepakati titik kumpul, para remaja dari berbagai arah yang merasa satu kelompok mudah untuk berkumpul secara langsung.

Pada saat yang sama, para remaja sekarang begitu sulit untuk dikumpulkan secara offline untuk mengikuti Sanlat, kajian, daurah, dan seterusnya (bisa dilakukan oleh sekolah melalui mekanisme “paksaan” alias wajib ikut Sanlat). Selebihnya, mereka lebih suka ikut taklim secara online dan menonton dari Youtube, les privat. Hanya sesekali ikut kajian di masjid secara offline dengan mendengarkan tausiyah dari ustadz idolanya.

Baca juga: Fenomena Baber (Batal Bersama)

Media sosial yang telah diakrabi oleh para remaja memang menghadirkan sejumlah tantangan dakwah yang mestinya direspon oleh institusi dakwah, termasuk masjid dalam hal ini. Lihatlah, anak-anak remaja yang mau aktif di masjid semakin surut jumlahnya. Ini berbeda jauh dengan era akhir ‘80 an hingga awal tahun 2000. Ketika itu, remaja begitu nyaman di masjid, mengisi organisasi sayap masjid dengan nama Remaja Islam Masjid dengan aneka kiprah dan program. Halaqoh-halaqoh menjamur di masjid-masjid.

Kini itu semua tinggal kenangan. Ada masjid yang masih memiliki organisasi Remaja Masjid, tetapi kondisinya “mati segan, hidup tak mau”.

Umumnya ustadz dan aktivis dakwah menyerah: Ini memang era digital, kita harus ikuti arus ini. Jika taklim dan dakwah dilakukan secara offline, maka jamaahnya tidak ada, tetapi jika dilakukan secara online, jamaahnya banyak.

Fenomena perang sarung sesungguhnya membuktikan bahwa remaja masih bisa dikumpulkan secara offline. Situasi inilah yang penting direspon oleh komunitas masjid dan institusi dakwah. Pertama, untuk memikirkan kembali kemasan dakwah offline yang diminati remaja. Kedua, merumuskan konten dakwah offline yang efektif, sesuai dengan isu dan istilah dunia remaja. Ketiga, mempertimbangkan betul durasi yang masih bisa ditoleransi oleh remaja untuk berkumpul secara offline di era gadget ini.

Kiranya, para asatidz, dai kondang, institusi dakwah, dan masjid, menjadi lebih sigap untuk merespon fenomena perang sarung dengan respon yang strategis dengan memikirkan kembali format dakwah bagi kalangan remaja. Misi dakwah Islam tak sekadar mentransmisikan pengetahuan ke-islaman, namun ada tuntutan keras untuk membentuk ummah, berjamaah, dan mempraktikkan nilai keislaman dalam ranah sosial-ekonomi secara nyata. Itu semua tak cukup dengan kajian online.