Perilaku LGBT Muncul Lagi, Ketegasan Pemerintah Kian Perlu

Perilaku LGBT Muncul Lagi, Ketegasan Pemerintah Kian Perlu

Pekan ini ada kabar yang membuat tak nyaman. Empat siswa di salah satu sekolah dasar negeri (SDN) di Pekanbaru, Riau, disuruh melakukan perbuatan cabul. Perbuatan itu divideokan dan hasil rekaman videonya disebar ke group WhatsApp yang diduga komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). Jumat (3/11/2023) kemarin dikabarkan, polisi telah mengamankan dua di antara pelaku, namun hanya menahan seorang saja. Seorang lagi tidak ditahan karena masih di bawah umur dan terindikasi mengalami kelainan jiwa.

Jumat (3/11/2023) kemarin, juga terbetik kabar terkait perilaku LGBT. Kali ini dari Padang, Sumatera Barat. Seorang Anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) Angkatan Laut (AL) dikabarkan dipecat dari dinas militer dan dijatuhi hukuman 18 bulan penjara oleh Pengadilan Militer I-03 Padang karena menjadi homoseksual (LGBT).

Hukuman itu dijatuhkan, karena Anggota TNI tersebut menjadi prajurit sejak tahun 2019. Sehingga, ia dipandang sudah mengetahui peraturan dalam berdinas di lingkungan TNI, dan dapat membedakan mana perintah yang harus dikerjakan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Maka, perbuatan dia sebagai LGBT dipandang telah merusak tata tertib dan disiplin prajurit serta citra dan kewibawaan satuan TNI.

Tentu dua kabar tersebut menggugah keprihatinan terkait maraknya perilaku dan kampanye LGBT di tengah masyarakat. Apalagi, faktanya perilaku LGBT juga berpengaruh terhadap jumlah dan sebaran HIV/AIDS. Dan belakangan juga berpengaruh pada munculnya banyak kasus Mpox atau cacar monyet di Indonesia. Kabarnya, dalam sebulan terakhir pasien cacar monyet atau Mpox di Indonesia meningkat pesat. Saat ini sebanyak 33 kasus cacar monyet telah terkonfirmasi. Kasus Mpox tersebut tersebar di DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, hingga Bandung.

Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, dr Maxi Rein Rondonuwu, seluruh pasien cacar monyet masih terus dipantau dengan proses isolasi ketat di rumah sakit. “Total sampai pagi hari ini (Jumat, red) konfirmasi 33 kasus, sembuh 3 orang, suspek 14 kasus, dan discarded 78 orang,” kata dr Maxi seperti dikutip detik.com (3/11/2023).

Baca Juga : LGBTQ Kian Merebak, Sikapi Segera!

Yang memprihatinkan, kasus-kasus cacar monyet ditemukan berjangkit pada kelompok manusia berusia produktif. Satu kasus terbaru di Kota Bekasi, misalnya, yang berasal dari kelompok usia 25-39 tahun. Memang belum diketahui pasti gejala awal yang dikeluhkan, tetapi pasien itu adalah surveilans dan mengalami kontak erat dengan sumber penularan yang sama, yaitu aktivitas seks.

Sebelumnya, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan, kebanyakan pasien Mpox atau cacar monyet punya riwayat penyerta penyakit infeksi menular seksual, semisal sifilis. Beberapa di antaranya juga merupakan orang dengan HIV. Sedangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyebut, proses tracing atau pelacakan terhadap kasus cacar monyet terkendala karena penyebarannya terjadi di komunitas tertentu saja. Di dunia, dilaporkan lebih dari 90 persen kasus cacar monyet terjadi pada populasi homoseksual. Demikian dikatakan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, dilansir Republika.co.id, Kamis (2/11/2023). Namun, Kemenkes tetap terus melakukan upaya edukasi kepada masyarakat umum dan kelompok berisiko tinggi untuk menekan penyebaran kasus penyakit tersebut.

Berbenturan dengan Peraturan dan Hukum

Berbagai kasus tersebut di atas mengindikasikan kian maraknya perilaku LGBT di Indonesia. Juga mengindikasikan semakin gencarnya promosi kelompok mereka untuk memperbesar jumlah anggota. Isu yang mereka angkat tentu saja adalah pengakuan atas keberadaan mereka. Keinginan mereka, bahwa negara dan masyarakat mengampanyekan penyetaraan dan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, transgender, serta pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sesama jenis (homoseksual). Kelompok LGBT itu berlindung di bawah payung “Hak Asasi Manusia”. Mereka meminta masyarakat dan negara mengakui keberadaan komunitas mereka, dengan mendasarkan pada Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 28 J ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Sedangkan ayat (2) pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Mereka juga mendasarkan keinginan untuk diakui dengan gencar melakukan publikasi itu pada aturan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Aturan tersebut memang mengatur mengenai kebebasan berekspresi. Khususnya dalam Pasal 22 ayat (3) yang menyebutkan, “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Begitu juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 70 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.

Baca Juga : LGBT Membayangi Anak-anak

Jadi, fenomena LGBT ini tentu harus diantisipasi sedini mungkin. Sebab, adalah benar bahwa setiap manusia memiliki kebebasan masing-masing. Tetapi, kebebasan itu juga memiliki batas. Tentang batasan itu disebutkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana disebutkan di atas. Batasan itu harus juga diperhatikan. Tidak boleh dilanggar. Sedangkan jika ditelaah lebih dalam, kebebasan yang mereka tuntut itu melanggar agama, kesusilaan, kepentingan umum, hingga keutuhan bangsa!

Faktanya, banyak masyarakat yang memperbincangkan pro-kontra soal status kaum LGBT. Dan hal itu menunjukkan betapa masyarakat Indonesia merasakan bahwa kenyamanan, keamanan, dan ketertiban mereka terancam. Sedangkan UUD 1945 pada amendemen II secara tegas memasukkan hak atas rasa aman di Pasal 28A – 28I. Hak atas rasa aman juga diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM, bahwa “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM menyatakan, “Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Khusus tentang jalinan hubungan keluarga, sudah jelas pula hal itu tertera di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yaitu, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Perilaku LGBT jelas bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut. Apalagi dengan norma agama dan budaya. Sudah pasti bertentangan. Sebab, salah satu tujuan perkawinan adalah melestarikan umat manusia. Hal itu tentu sangat bertolak-belakang jika dibandingkan dengan perilaku kaum LGBT yang penyuka sesama jenis. Jika dilegalkan, LGBT akan berdampak munculnya berbagai masalah. Antara lain menurunnya angka kelahiran, karena sudah pasti hubungan sesama jenis tidak bisa menghasilkan keturunan.

Kembangkan Kewaspadaan Nasional

Negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif terhadap perilaku LGBT yang akan membahayakan generasi muda masa depan Indonesia. Maka, perlu kontrol masyarakat dan negara. Berbagai tontonan yang tidak layak dan mengarah pada upaya untuk melegitimasi perilaku LGBT harus dieliminasi. Dan ketegasan posisi strategis pemerintah sangat diperlukan untuk menangani LGBT itu.

Baca Juga : Kak Sinyo: “Menyikapi LGBT, Negara Harus Hadir”

Masyarakat pun harus mampu mengembangkan kewaspadaan sosial. Selain itu, negara juga tak dapat lepas tangan. Sebab, LGBT bertentangan dengan ketentuan hukum, perundang-undangan, nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Kultur dan kehidupan masyarakat Indonesia yang religius juga sangat tegas dan keras melarang segala bentuk praktik LGBT. Maka, ketegasan pemerintah kian diperlukan dalam menyikapi LGBT. Sebab, negara berkewajiban untuk menjaga nilai-nilai dan standar moral yang dianut oleh mayoritas publik.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.