Peringatan Hari Pengungsi yang Sepi

For a World Where Refugees Are Welcomed. Terjemah bebasnya kurang lebih, “Demi Dunia yang Menerima Pengungsi”. Itulah tema peringatan Hari Pengungsi Sedunia 2024.

Beberapa kalangan yang peduli pengungsi tentu tak lupa dengan tanggal 20 Juni yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ditetapkan sebagai World Refugee Day. Hari Pengungsi Sedunia didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran tentang kondisi dan situasi jutaan pengungsi di seluruh dunia yang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik, penganiayaan, atau bencana alam.

Peringatan Hari Pengungsi Sedunia pertama kali diresmikan oleh Majelis Umum PBB pada 4 Desember 2000, melalui Resolusi 55/76. Tanggal 20 Juni dipilih bertepatan dengan Hari Pengungsi Afrika yang sudah lebih dulu diperingati oleh banyak negara Afrika pada tanggal yang sama. Tujuan utama peringatan Hari Pengungsi Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran global tentang situasi pengungsi serta dalam rangka memobilisasi dukungan bagi upaya membantu pengungsi.

Beberapa tujuan spesifik dari peringatan Hari Pengungsi Sedunia ini antara lain adalah:

Pertama, membangun kesadaran. Hari Pengungsi Sedunia berfungsi sebagai pengingat bagi masyarakat internasional tentang kesulitan dan tantangan yang dihadapi oleh para pengungsi. Ini termasuk pengusiran dari rumah mereka, kehilangan harta benda, keterpisahan dari keluarga, dan kondisi hidup yang tidak menentu.

Kedua, menunjukkan solidaritas. Peringatan ini adalah kesempatan untuk menunjukkan solidaritas global kepada para pengungsi. Dengan menyadari dan memahami penderitaan mereka, masyarakat dunia diharapkan dapat memberikan dukungan moral dan material yang diperlukan.

Baca juga: Kapak untuk Namrud dan Berhala di Hati Kita

Ketiga, mendorong tindakan nyata. Hari Pengungsi Sedunia tidak hanya berfungsi sebagai hari peringatan, tetapi juga sebagai momen untuk memobilisasi tindakan nyata. Ini termasuk kampanye penggalangan dana, upaya advokasi untuk kebijakan yang lebih baik, dan program bantuan langsung untuk pengungsi.

Keempat, menghargai kontribusi pengungsi. Selain memfokuskan pada tantangan, Hari Pengungsi Sedunia juga memberikan kesempatan untuk merayakan ketahanan, keberanian, dan kontribusi positif pengungsi di negara-negara tuan rumah mereka. Pengungsi sering membawa keterampilan, pengetahuan, dan budaya yang memperkaya masyarakat yang menerima mereka.

Kelima, mendorong solusi berkelanjutan. PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan menggunakan Hari Pengungsi Sedunia untuk mendorong solusi jangka panjang bagi pengungsi. Ini termasuk pencarian solusi yang adil dan berkelanjutan seperti pemukiman kembali di negara ketiga, integrasi lokal, atau pemulangan sukarela ke negara asal jika situasi sudah aman.

Tidak Ada Greget

Jumlah pengungsi saban waktu terus mengalami pertambahan. Mengutip data dari UNHCR, pada akhir tahun 2022 jumlah pengungsi di seluruh dunia mencapai 108,4 juta jiwa. Angka ini mengalami kenaikan yang signifikan pada akhir tahun 2023 menjadi 114 juta jiwa.

Angka yang cukup besar. Jauh dari populasi Perancis yang hanya sekitar 65 juta jiwa. Apalagi jika dibandingkan penduduk Belanda yang hanya 17 jutaan jiwa. Jumlah 114 juta itu bisa setara dengan jumlah penduduk tiga negara di Eropa. Artinya apa? Masyarakat dunia belum mampu meminimalkan jumlah pengungsi, meski era ini dianggap semakin beradab, demokratis, dan menjunjung tinggi HAM. Dengan kata lain, kampanye untuk peduli pengungsi melalui peringatan Hari Pengungsi Sedunia belum lagi efektif membangun kesadaran.

Baca juga: Kebijakan Kontroversial dan Kegelisahan di Ujung Jabatan

Fakta yang miris, peringatan Hari Pengungsi Sedunia sepi-sepi saja di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Hanya lembaga-lembaga terkait langsung saja yang memperingatinya. Itu pun sekadar spanduk, twibbon, dan berita ringan terkait peringatan tersebut.

Tak ada kampanye yang serius di tengah masyarakat layaknya kita memperingati Hari AIDS Sedunia atau Hari Lingkungan Hidup. Fakta ini setidaknya mampu menunjukkan betapa persoalan pengungsi belum menjadi isu yang mampu menyentuh kesadaran mayoritas umat manusia.

Di negara-negara Islam mungkin lebih parah lagi. Tak banyak organisasi pemerintah dan LSM yang lantang mengampanyekan pembelaan terhadap hak-hak dasar kaum pengungsi. Bahkan momentum peringatan Hari Pengungsi Sedunia itu lewat begitu saja.

Padahal, banyak kaum muslimin yang menjadi pengungsi. Konflik di Timur Tengah, konflik di Asia Selatan dan Afghanistan, konflik di India, Filipina, Burma dan Myanmar, serta Sudan, menjadi sebab puluhan juta kaum muslimin yang terpaksa menjadi pengungsi.

Menuntut Peran Nyata Dunia Islam

Menurut PBB, pengungsi adalah orang yang terpaksa meninggalkan negara asal mereka karena ketakutan akan penganiayaan terkait ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik. Definisi ini diatur dalam Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol 1967. Pengungsi berbeda dengan migran ekonomi yang pindah untuk mencari kehidupan yang lebih baik; pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri dari ancaman serius terhadap kehidupan atau kebebasan mereka.

Baca juga: Drama Pembunuhan Vina Sukses Tenggelamkan Kisah Korupsi Timah Rp 271 Triliun!

Pengungsi rentan mengalami berbagai krisis kemanusiaan. Di tempat pengungsian, para pengungsi bisa mengalami kelaparan, mal-nutrisi, serta ancaman penyakit dan problem kesehatan. Belum lagi ancaman keamanan, terutama bagi mereka yang terusir karena konflik etnis dan keagamaan.

Di dalam jangka panjang, generasi pengungsi bisa kehilangan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pekerjaan, dan masa depan yang baik. Generasi pengungsi rentan mengalami gangguan mental dan tercerabut dari akar budaya masyarakatnya.

Krisis kemanusiaan yang dihadapi oleh pengungsi sangat kompleks dan memerlukan respons global yang berkelanjutan dan komprehensif. Melalui dukungan internasional, solidaritas, dan tindakan nyata, kita dapat membantu meringankan penderitaan pengungsi dan memberikan mereka kesempatan untuk memulai kembali kehidupan yang aman dan bermartabat.

Sepantasnya, pemimpin muslim di seluruh dunia segera mengambil peran penting dalam penanganan pengungsi. Setidaknya terhadap pengungsi dari kalangan kaum muslimin. Sungguh memilukan, saat jutaan pengungsi muslim Rohingya terapung dalam tidak-pastian, saat pengungsi Palestina lapar, mengalami luka dan tak punya hunian layak,  para pemimpin di negeri-negeri kaum muslimin masih enggan juga membahas nasib mereka secara tuntas.

Jika pun kita tak sependapat dengan cara-cara peringatan sebagaimana kebiasaan orang Eropa, maka munculkan ide dan gagas upaya-upaya lain yang memungkinkan tumbuhnya empati, solidaritas, dan pembelaan serta bantuan kepada kaum pengungsi! Setidaknya untuk pengungsi dari kalangan kaum muslimin sebagai bentuk ukhuwah dan solidaritas.

Baca juga: Wajar Tanpa Pengecualian yang Beraroma Ketidakwajaran

Aneka kerentanan yang potensial menimpa kaum pengungsi, selayaknya mengganggu tidur nyenyak kita. Hancurnya masa depan anak-anak pengungsi semestinya menjadi nestapa kita semua. Bukankah muslim itu bersaudara?

Rasulullah ﷺ‎ bersabda, “Muslim yang satu adalah saudara muslim yang lainnya. Karena itu, ia tidak boleh menganiaya dan mendiamkannya. Barang siapa memperhatikan kepentingan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kepentingannya. Barang siapa membantu kesulitan seorang muslim, maka Allah akan membantu kesulitannya dari beberapa kesulitannya nanti pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” – HR. Bukhari

Kiranya Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Rabithah ‘Alam Islami, atau pemimpin negara-negara Islam, bisa duduk bersama untuk memandang masalah pengungsi dalam konteks ukhuwah Islam yang lebih kuat. Mampu menerjemahkan sabda nabi di atas menjadi basis nilai kebijakan yang semakin pro pada keselamatan dan keamanan para pengungsi. Juga mendidik kaum muslimin untuk semakin peduli dan mendukung para pengungsi, sehingga terbangun gerakan partisipatif untuk menyelamatkan para pengungsi dari berbagai krisis kemanusiaan. Jangan malah kalah agresif dari LSM dan negara-negara sekuler!