Polemik Musik, Hendaknya Tadarruj

Polemik Musik, Hendaknya Tadarruj
Photo by Lee Campbell on Unsplash

Jagat dunia maya, khususnya di kalangan pecinta kajian Islam, kini sedang ramai debat soal hukum musik dalam Islam. Pihak-pihak yang berdebat adalah pihak pembela Ustadz Adi Hidayat dengan kelompok yang menisbatkan diri dengan nama “Salafi”. Kalau biasanya kelompok Salafi ini mengritik kalangan Nahdliyin (NU), maka kali ini mereka mengritik Ustadz Adi Hidayat yang notabene dari kalangan Muhammadiyah. Tentu, masing-masing pihak punya massa netizen yang membela pendapatnya.

Penulis di sini tidak untuk memberi pembelaan kepada salah satu pihak. Penulis hanya ingin menjelaskan tentang bagaimana cara dakwah Nabi dalam menghadapi masyarakat yang beragam situasi dan kondisi, agar menghindari debat-debat yang tidak produktif antar sesama kelompok Islam yang berujung pada perpecahan. Sebab, umat Islam sendiri masih punya banyak PR untuk diselesaikan.

Tadarruj (bertahap)

Tak bisa dibayangkan jika wahyu pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Rasulullah saw bukan “Iqro” (bacalah), tetapi ayat pelarangan Khamr (Miras). Mungkin Rasulullah saw akan kabur ketakutan dan bingung, “Ini siapa? Makhluk apa? Kok datang-datang langsung mengharam-haramkan Khamr?” Jangankan mendapat Wahyu yang seperti itu, dapat perintah yang super lembut saja Rasulullah masih ketakutan, sampai berkata kepada istrinya, “Selimuti aku, selimuti aku”.

Dan saat itu di Mekkah, Khamr bukan hanya minuman untuk mabuk, tetapi juga komoditas industri minuman dan obat-obatan. Miras belum haram saat itu, dan obat-obatan biasa tercampur dengan Khamr. Sehingga, kalau Khamr tiba-tiba diharamkan di fase dakwah Mekkah, mungkin industri pangan dan obat-obatan di Mekkah bisa langsung kolaps.

Baca juga: Hak Perempuan dan Lelaki dalam Islam: Bukan Sama tetapi Adil

Khamr diharamkan ketika umat Islam sudah hijrah ke Madinah, sudah tegak hukum Islam sehingga punya payung hukum, dan masyarakat juga sudah teredukasi dengan ajaran Islam. Maka dalam hadits dikatakan para sahabat Nabi dengan sukarela memusnahkan Khamr dan menumpahkannya di jalan-jalan Madinah.

Kisah pengharaman Khamr yang bertahap tadi bukan alasan kita untuk menghalalkan Khamr, tetapi lebih kepada melihat cara dakwah yang bertahap. Misalnya, preman sedang menenggak miras di warung remang-remang, nggak bisa kita ujug-ujug datang berteriak, “Khamr haram!”. Jika itu yang dilakukan, yang ada bukannya taubat si preman, malah keributan di masyarakat yang terjadi. Kecuali jika anda aparat, bebas saja membubarkan tempat-tempat maksiat.

Cara mendakwahi si preman bisa dengan lebih smooth. Saat ia tidak mabuk. Ketika bertemu di jalan, sambil menyapa bisa sambil ajak shalat, atau bisa dikasih sedekah agar lembut hatinya. Jangankan si preman, seperti yang tadi penulis sebutkan, kalau wahyu pertama yang diturunkan di Goa Hira langsung mengharamkan Khamr, bisa-bisa Nabi bingung dan takut. Dan bisa-bisa ekonomi Mekkah juga kolaps.

Apalagi ini tentang musik. Musik ini sudah menempel di semua tempat dan semua alat kita. Sulit untuk lepas sama sekali dari musik. Apa pun perbedaan pendapat para ustadz zaman ini tentang musik, hendaknya kita kasih kelapangan dan husnuzhan. Dan kalau pun mau pegang pendapat bahwa musik itu haram, tetap harus bijak dalam mendakwahkan. Kalau ujug-ujug kita teriak “musik haram” tanpa lihat situasi dan kondisi, maka yang terjadi adalah debat yang tidak habis-habisnya. Padahal, umat Islam di seluruh dunia saat ini darahnya, kehormatannya, keselamatan dirinya, hak-haknya, sedang terancam. Itu lebih urgent dibandingkan memperdebatkan hukum musik.

Terkhusus teman-teman kita yang baru mengenal Islam, atau istilahnya Hijrah, banyak dari mereka yang masih bertahap dalam menjalankan Islam. Jangankan soal musik, shalat pun masih belum paham betul rukun dan wajib-wajibnya, berhijab saja masih banyak yang belum syar'i, dan lain-lain. Maka, biarkanlah mereka enjoy dulu dengan Islam, belajar dulu ilmu Islam.

Hijrah itu tidak bisa dikebut-kebut. Bertahap dan biarkan mengalir saja. Hijrah itu ibarat pindahan. Orang pindahan itu bertahap, tidak nge-gas. Jika orang pindahan nge-gas, yang ada adalah nabrak.

Baca juga: Menggugat Kapitalisme Pendidikan: Jalan Menuju Indonesia Emas 2045

Kesimpulan

Al Qur'an diturunkan secara manusiawi. Masyarakat Quraisy yang anti Islam diubah menjadi Islami itu butuh waktu 23 tahun. Tidak instan. Waktu 23 tahun, itu adalah waktu yang dibutuhkan para Sahabat Nabi untuk berhijrah plus menghijrahkan peradaban Arab saat itu. Jika mereka saja butuh waktu 23 tahun, apalagi kita! Maka hendaknya kita tadarruj (bertahap) dalam menyampaikan kebenaran.

Wallahu a'lam bishowab

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.