Polemik di mdia sosial tentang hukum halal-haram musik dan lagu masih belum juga reda. Netizen kini menyoroti sebab yang menjadi pemicu kembali mencuatnya kontroversi masalah tersebut, yaitu pernyataan Ustadz Adi Hidayat (UAH) dalam sebuah kajian, yang mengartikan surat Asy Syuara sebagai surat penyair sama dengan pemusik. Terkait hal tersebut, Senin (13/5/2024), wartawan menemui Ketua MUI Bidang Seni, Budaya, dan Peradaban Islam, KH. Dr. Jeje Zaenudin. Dan KH. Dr. Jeje Zaenudin yang akrab disapa Ustadz Jeje itu pun memberikan tanggapan, menjawab pertanyaan awak media terkait hal tersebut.
“Saya berpendapat, mengartikan ‘penyair’ secara langsung disamakan dengan pemusik itu memang tidak tepat. Tetapi untuk menilai benar-salahnya statement itu, perlu penelaahan bahkan kajian yang lebih cermat dan lebih mendalam,” kata Ustadz Jeje, menjawab pertanyaan awak media yang meminta penilaian atas penerjemahan surat Asy Suara itu.
“Mengapa demikian? Sebab, memang secara kajian semantik, terminologis, historis, dan praktik dari syair itu sangat erat hubungannya dengan musik,” imbuhnya.
Bahkan, lanjut Ustadz Jeje, beberapa literatur umum dan karya klasik di bidang seni, semisal kitab Al Musiqy Al Kabir, karangan Al Farabi yang wafat tahun 339 Hijriyah, dalam pengantar pentahqiqnya menyatakan bahwa syair dan musik merujuk kepada satu jenis seni yang sama. Tetapi tetap ada perbedaan.
“Karena syair itu fokusnya kepada seni keindahan dan keseimbangan susunan kata dan kalimat mengikuti kaidah gramatika. Sedangkan musik berfokus kepada seni keindahan bunyi atau suara, irama, dan melodinya,” ujarnya.
“Karena itu, para ahli musik menyatakan ada musik pakai alat atau musik instrumental, dan ada musik yang mengandalkan kekuatan suara orang atau musik vokal,” sambung Ustadz Jeje.
Baca juga: Ustadz Adi Hidayat: “Gelombang Musik Nggak Sama dengan Gelombang Al Qur’an”
Ketika seorang penyair menyusun syair, puisi, atau sajak, lalu gubahan syairnya itu dibacakan dengan memakai irama, atau dijadikan lirik yang dilagukan sehingga menjadi nyanyian. Nyanyian itu lantas memunculkan seni musik, baik dilengkapi alat-alat maupun tidak memakai alat.
“Itulah relasi syair dengan musik,” katanya.
Ustadz Jeje menjelaskan, atas dasar itu, mengartikan penyair otomatis sebagai penyanyi memang tidak tepat, meskipun bisa dipahami keterkaitan dan korelasinya. Sehingga, bisa saja demi menyingkat penjelasan atau karena tergesa-gesa dalam penyampaian, seorang ustadz mengalami kesilafan lisan dalam ucapan.
“Dan suatu yang wajar juga jika kemudian menimbulkan pihak yang tidak setuju atau keberatan dengan pernyataan itu. Tetapi menjadi tidak wajar (juga) ketika (pernyataan itu) direspon secara berlebihan sehingga jadi menyerang pribadi, menuduh ajaran sesat, apalagi sampai memvonis fasik hingga kufur. Itu sangat keterlaluan,” ucapnya.
Ditanya bagaimana sebaiknya untuk mengakhiri polemik tersebut, Ustadz Jeje mengatakan, apa yang disampaikan Ustadz Adi Hidayat bisa dipahami dan bisa diterima, bahwa yang ia maksud bukan mengganti terjemahan nama surat, dari penyair menjadi pemusik, tetapi dalam konteks menjelaskan hubungan yang erat antara syair dan musik. Sehingga bisa memahami hubungan dengan hukum halal-haramnya musik dan lagu.
“Tetapi jika ada pihak yang merasa belum puas dan belum bisa terima, maka sangat baik jika ditambah klarifikasi yang lebih jelas, tegas, dan spesifik, fokus kepada maksud penerjemahan surat Asy Syuara sebagai para pemusik,” tuturnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!