Secara teori hukum, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berlaku segera setelah dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Hal yang sama berlaku ketika MK menetapkan keputusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah prasyarat pengusungan Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah di Pilkada dengan menyesuaikan persentase persyaratan seperti pada angka persentase pencalonan perseorangan di Pilkada, pada Selasa (20/8/2024). Putusan tersebut memiliki kekuatan mengikat langsung (final and binding) dan tidak memerlukan pengesahan atau tindakan lebih lanjut dari lembaga lain. Hal ini mengacu pada prinsip supremasi hukum, yang menyatakan bahwa semua pihak – termasuk DPR dan pemerintah – harus tunduk kepada putusan MK.
Namun, DPR bersama pemerintah memang memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang baru yang berstatus setara dengan putusan MK. Bukan menganulir putusan MK.
Di dalam hal ada pertentangan antara undang-undang yang baru dibuat lagi oleh DPR atau Presiden dengan mengeluarkan Perppu, misalnya, yang berhadapan dengan putusan MK, maka prinsip lex posterior derogat legi priori berlaku. Yaitu, undang-undang yang baru akan mengesampingkan yang lama sepanjang berada pada hierarki yang sama.
Ahli hukum tata negara seperti Prof. Dr. Mahfud MD menekankan bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji dan bahkan menganulir undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Sementara itu, undang-undang baru yang dibuat oleh DPR dan pemerintah dapat kembali digugat ke MK jika dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!