Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA: “Tidak Perlu Memandang Kurang Baik Pengungsi Rohingya”

Perlu digaris bawahi bahwa persoalan menyangkut pengungsi Rohingya bukan baru terjadi kemarin sore. Tetapi sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Dipicu lagi dengan kudeta militer yang terjadi di Myanmar. Situasi di negaranya yang mengkhawatirkan secara politik dan keamanan itu lantas membuat warga muslim Rohingya mengungsi. Hal itu dikatakan Sudarnoto Abdul Hakim ketika ditemui wartawan sabili.id, Hanif Nurrohman, di Jakarta.

“Ada kekhawatiran mereka, setelah kudeta di Myanmar itu otoritarianisme  militer akan diterapkan. Dengan menetapkan situasi darurat, mereka akan mempunyai hak untuk itu. (Masalah) yang kedua ini adalah politik internal. Jadi memang harus ada penyelesaian. Semenjak kudeta itu kan sampai sekarang masih meninggalkan masalah. Sebagai salah satu negara Asia Tenggara, tentunya negara-negara ASEAN yang lain – termasuk Indonesia – berkepentingan untuk menciptakan stabilitas politik di Myanmar,” tuturnya.

Menurut Sudarnoto, sejak awal MUI sudah menyatakan sikap terhadap persoalan yang terjadi di Myanmar. Sudarnoto menyebut, satu hari setelah kudeta militer dilakukan, ia sudah membuat pernyataan yang mengingatkan militer penguasa harus benar-benar memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak azasi manusia, termasuk memperhatikan nasib warga muslim di Rohingya.

“Yang kedua, perlu ada pemantauan internasional. Sebagai efek dari kudeta itu, mengapa pemantauan secara internasional harus dilakukan? Karena potensi genosida tinggi,” katanya.

Ia lalu menjelaskan, bentuk genosida macam-macam. Pertama, mass killing atau pembunuhan massal. Misalnya seperti yang terjadi di Gaza sekarang ini. Yang kedua, pengusiran besar-besaran terhadap penduduk asli. Diusir keluar tetapi tidak dibunuh. Yang ketiga, pembatasan reproduksi. Dibiarkan dan tidak diusir juga tidak dibunuh, tetapi dibatasi agar tidak berreproduksi.

“Di sana, warga dibiarkan dan tidak diusir juga tidak dibunuh, tetapi ibu-ibu perempuan muslim dibatasi untuk punya anak. Sementara penduduk asli lalu dimasukkan di situ. Jadi ada perpindahan, misalnya ada imigrasi orang-orang Budha di Rohingya, sehingga secara demografis terjadi perubahan yang signifikan, persis seperti Uighur. Uighur itu reproduksi dibatasi tetapi politik imigrasinya diperbesar (untuk) orang-orang china yang non muslim di sana. Jadi lama-lama muslim habis. Itu genosida juga. Nah, genosida Rohingya itu ada Mass killing dan ada juga pengusiran. Karena itu, mereka menjadi pengungsi. Keluar dari negara mereka berombongan dengan alat transportasi yang sangat terbatas ke negara-negara yang memungkinkan, atau menurut keyakinan mereka negara itu aman,” jelasnya.

Baca Juga : Pengungsi Rohingya: Antara Prasangka Buruk, Disinformasi, dan Kabar Bohong

Mengapa Indonesia menjadi pilihan lokasi pengungsian? “Indonesia dikenal sebagai negara yang sudah lama membantu pengungsi. Dulu warga Vietnam juga ditampung di Indonesia, yaitu di Pulau Galang,” katanya.

Sudarnoto melanjutkan, ada banyak persoalan yang dialami warga muslim Rohingya di Myanmar. Ada problem stabilitas, problem politik, otoriterisme militer, serta ekstremisme Budha kanan yang memberikan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah militer dengan cara pengusiran dan lain-lain.

“Karena menurut Budha ekstrim, tanah Rohingya itu adalah tanah yang dihuni secara tidak sah oleh muslim. Jadi ada soal suku, karena Rohingya dari sisi etnis banyak juga diyakini berasal dari Bangladesh. Jadi ada isu campur aduk. Realitasnya begitu. Akhirnya, banyak yang menjadi pengungsi. Pengungsi di Malaysia dibatasi, akhirnya mereka ke Indonesia, yaitu ke Aceh. Rohingya banyak di Aceh, tetapi dari Afganistan dan sebagainya sudah ngumpul juga. Saya pernah datang ke Tanjung Pinang (melihat) tentang pengungsian itu,” tuturnya.

Sekarang pengungsi Rohingya di Aceh berjumlah lebih dari 1000 orang. Menurut Sudarnoto, mereka mengungsi ke Aceh karena ingin selamat. Maka, mereka datang ke negara-negara yang memang diyakini bisa memberikan tempat yang aman bagi mereka.

Menyoroti aksi pengusiran yang sempat dilakukan mahasiswa menjelang akhir tahun lalu, walau kemudian para mahasiswa itu meminta maaf, Sudarnoto mengatakan, “Tidak perlu memandang pengungsi Rohingya itu dengan cara yang kurang baik. Apalagi memperlakukan mereka dengan tidak baik. Dengan kekhawatiran. Saya juga nggak tahu, semula saya tidak ingin percaya mahasiswa melakukan begitu tetapi ternyata betul. Saya menyesalkan juga sikap mahasiswa, rombongan dibawa secara paksa,” katanya.

Menurut dia, aksi pengusiran itu artinya para mahasiswa tersebut telah menjadi reaktif. Reaktif itu bisa positif bisa pula negatif. Tetapi yang muncul di sana menjadi negatif karena hal itu juga jadi sorotan internasional. Maka, hal itu bisa berpengaruh pada citra Indonesia sebagai negeri yang ramah tamah, yang katanya menjunjung tinggi kemanusian, tetapi kepada pengungsi Rohingya mereka tolak.

“Harapan mereka, pergi ke negara-negara yang memang punya hak memberikan suaka politik. Cuma kan tidak semua negara begitu. Indonesia bukan negara yang bisa memberikan suaka politik. Australia, Kanada, itu bisa. Tetapi (di sana) mereka tetap di penampungan, memprihatinkan dan menimbulkan masalah. Jadi mereka sampai di Aceh. Bukan mereka tidak bermasalah. Masalah baru pun muncul, (misalnya) keberlanjutan kehidupan mereka itu bagaimana? Ya, selama ini dibantu oleh penduduk kita. Alhamdulillah, warga kita baik-baik. Ya, hanya kemarin saja ada mahasiswa ngusir begitu. Saya juga agak kaget, kenapa mahasiswa kok ngusir-ngusir gitu?” urainya.

Baca Juga : Rohingya, Saudara yang Terbuang

Sudarnoto mengatakan, saat ini soal pengungsi Rohigya sudah menjadi isu kemanusiaan. Jadi, semua orang harus membantu. Apalagi Indonesia sebagai negara muslim. Ada keterikatan ukhuwah basyariah dan ukhuwah Islamiah.

“Tetapi memang harus ada penyelesaian. Kalau nggak, lama-lama mereka anak-anaknya mau sekolah di mana? Susah, karena Anda tahu sendiri sekolah di sini ada syarat administrasi dan sebagainya. Juga ada RT/RW. Itu belum tentu mereka mengerti dan belum tentu juga mereka punya KTP/KK. Karena memang tempat tinggal mereka kan di penampungan. Belum lagi kehidupan sehari-hari. Dari mana dan bagaimana mereka makan? Selama ini sepenuhnya mengandalkan kebaikan penduduk setempat,” ucapnya.

Soal pengungsi Rohingya sesungguhnya adalah tanggung jawab UNHCR. Sudarnoto sepakat dengan hal itu. Maka, pemerintah perlu berkoordinasi dengan UNHCR.

“Saya mendengar UNHCR sudah kekurangan dana. Itu masalahnya. Yang kedua, pengungsian itu belum tentu Australia atau Kanada mau (menampung). Saya sudah mengusulkan, harus ada pembicaraan dengan berbagai pihak, pemerintah dan UNHCR. Pemerintah itu bisa Kemenlu, bisa Kementerian Dalam Negeri, bisa Kemenko PMK, banyaklah. Bicara dengan pihak UNHCR dan negara yang memungkinkan untuk bisa memberikan suaka politik. Australia, misalnya. Jadi harus ada pembicaraan begitu,” tegasnya.

Sudarnoto menuturkan, ia mendengar Kementerian Luar Negeri pernah menyatakan bahwa mereka akan dipulangkan dengan cara yang aman. Itu salah satu solusi. Tetapi, tentu saja harus perhatikan juga perasaan orang-orang Rohingya yang sudah kadung jadi pengungsi. Jika dikembalikan tentu saja akan was-was. Sebab, di negeri asalnya belum tentu ada jaminan keamanan dan sebagainya. 

“Jadi saya melihat dari sisi keagamaan dan kemanusiaan, mereka harus dibantu. Tetapi MUI juga menyadari bahwa ada tantangan dan ada masalah juga. MUI pernah mengadakan FGD (Focus Group Discussion, red) soal pengungsi-pengungsi itu. MUI, Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas Islam lainya perlu membicarakan secara bersama apa yang bisa dilakukan. Wakil Presiden pernah menyampaikan solusi alternatif agar warga Rohingya itu ditampung di Pulau Galang, karena kita pernah punya kisah sukses pengungsian di Pulau Galang. Tetapi ternyata di kalangan pemerintah sendiri (hal itu) belum selesai. Wakil Presiden dan menterinya tidak satu pandangan,” tuturnya.

Baca Juga : Menohok! Begini Kata Tokoh Aceh Atas Aksi Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya

Sudarnoto menyebut, bisa juga lebih mengedepankan peran ormas-ormas Islam. Paling tidak, bisa dijalin kerja sama lintas agama untuk ikut memberikan bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi tersebut. Menuut dia, dengan kerja sama di kalangan civil society bisa dibuat banyak program. Misalnya, ormas-ormas itu bisa memberi dukungan pelatihan.

“Dan Muhammadiyah setahu saya sudah melakukan program-program yang lebih berkesinambungan sehingga survivality pengungsi bagus dan tidak terlunta-lunta,” ujarnya. 

Selanjutnya, menurut dia, perlu koordinasi pemerintah daerah. Mulai dari aparatnya, wakil-wakil masyarakat, organisasi-organisasi kepemudaan, sampai kalangan kampus.

“Menurut hemat saya, karena Aceh sebagai wilayah yang menerima ‘kedatangan’ pengungsi dalam jumlah yang sangat besar, kalau itu menjadi beban ya seharusnya juga ada pembicaraan yang baik. Tentang bagaimana menanganinya tanpa harus misalnya melakukan tindakan-tindakan yang mestinya tidak perlu dilakukan, seperti pengusiran. Saya sangat menyesalkan (pengusiran itu),” tutupnya.