Menjelang bulan suci Ramadhan, media massa tanah air gencar mewartakan gaya hidup flexing para istri pejabat publik. Flexing adalah sikap pamer. Unjuk kepemilikan, kelebihan, keunggulan diri, yang dilakukan dalam rangka mendapatkan pengakuan dan sikap kagum dari pihak lain. Apa pun bisa dipamerkan, tetapi yang kerap bikin risih dan jengah adalah pamer kekayaan.
Sesungguhnya flexing memiliki beberapa aspek. Pertama, flexing dilakukan dalam rangka membangun citra diri. Pamer mobil mewah, misalnya. Dapat diduga, orang yang pamer mobil mewah tersebut sedang ingin mencitrakan diri sebagai figur dari kalangan atas dalam kelas sosial, dengan menunjukkan kendaraan mewahnya.
Kedua, kebutuhan akan pengakuan dari pihak lain. Biasanya, flexing jenis ini dilakukan orang yang sebelumnya dari kalangan biasa-biasa saja dalam kelas sosial. Namun karena pernikahan, karir, dan beberapa keberuntungan yang lain, status sosialnya berubah. Nah, ia pamer dalam rangka meraih pengakuan dari orang lain, bahwa status dia kini telah berubah. Bisa juga pamer kesibukan. Dulu nganggur, sekarang sudah jadi orang sibuk, dan seterusnya.
Ketiga, kebutuhan untuk dipuji, dikagumi, atau diberikan penghargaan dari pihak lain. Anak-anak umumnya memiliki sikap pamer seperti ini. Hal itu bisa dimengerti sebagai bagian dari fase tumbuh kembang anak. Namun, tidak selayaknya dilakukan oleh orang dewasa.
Keempat, masalah kepribadian. Flexing bisa dilakukan justru karena dorongan masalah mental. Misalnya, pengidap inferiority complex atau sikap rendah diri di pergaulan sosial. Flexing bisa menjadi sarana kompensasi kelemahannya itu. Bisa juga karena penyakit mental yang lain, semisal kedengkian, suka melihat orang lain kepingin, dan sikap obsesif tertentu.
Kelima, flexing cenderung mengandung aspek kesombongan. Sombong karena karirnya melejit, sombong karena kekayaannya melimpah, sombong karena memiliki gelar akademis seabrek, sombong karena bisa jalan-jalan ke tempat-tempat yang orang lain tak mudah menjangkaunya.
Kemunculan media sosial semacam instagram, facebook, twitter, dan tiktok, menjadi lahan subur bagi tumbuhnya budaya flexing. Pamer apa pun di media sosial menjadi hal yang lumrah. Tak risih, tanpa malu-malu, bahkan terlihat amat bangga. Padahal, sebelumnya masyarakat Indonesia meyakini sikap pamer sebagai sesuatu yang tercela, karena bisa melukai pihak lain dan tidak empati terhadap mereka yang kurang beruntung.
Riya', Flexing Spiritual
Sikap pamer ternyata tak hanya terkait masalah-masalah duniawi. Justru, di media sosial sekarang ini orang Indonesia lagi semangat pamer kesalehan, pamer ibadah, pamer kedermawanan, dan lain-lain. Bahkan pamer sudah shalat sunnah dan puasa sunnah.
Hal itu dilakukan dengan aneka teknik, narasi, dukungan gambar, dan audio-visual. Bahasanya bisa berupa ajakan kebaikan, mengingatkan shalat, pamer event dakwah, dan lain sebagainya. Tak terasa, kita semua telah didorong syaitan menuju kesesatan dengan kemasan kebaikan.
Padahal, amal baik bisa hancur dalam kesia-siaan. Bahkan mengundang murka Allah. Maka, penting untuk menjaga diri agar tidak terjebak lebih lanjut dalam flexing spiritual, pamer laku ruhani atau olah batin yang semestinya hanya kita tujukan untuk Allah azza wa jalla.
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil. Sahabat bertanya, 'Apakah syirik kecil itu, Rasulullah?' Rasulullah Saw menjawab, 'Riyā’ " -- HR. Ahmad
Secara bahasa, riyā’ memiliki kesepadanan makna dengan istilah memperlihatkan atau pamer. Apa yang diperlihatkan? Bisa barang, kedudukan, maupun amalan baik. Kepada siapa diperlihatkan? Kepada manusia dalam rangka mendapatkan pujian atau pengakuan. Padahal, Islam amat ketat mengatur bahwa semua kebaikan, amal ibadah, adalah untuk memperoleh ridho Allah semata.
Hujjatul Islam, Imam Al Ghozali, dalam Kitab Ihya Ulumudin memberikan makna riya' sebagai "Mencari kedudukan di dalam hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka tentang beberapa hal yang sifatnya kebaikan" (Ibnu Ibrahim Ba’adilah: 2012). Melalui pendapat Imam Ghozali tersebut, tahulah kita, flexing spiritual memiliki kandungan riya' yang sangat kental.
Wajar jika Rasulullah menyebut riya' sebagai syirik kecil. Karena yang bertahta di hati dan pikiran pada saat beribadah ternyata bukan Allah ﷻ, melainkan kekaguman dari manusia. Maka, bukan pahala Allah yang akan dipanen dari ibadah yang kita jalankan, justru murka Allah.
Manfaatkan Puasa
Puasa Ramadhan adalah ibadah yang melatih kaum muslimin untuk kembali meneguhkan sikap, bahwa segala ibadah hanyalah untuk Allah ﷻ. Sebab, bisa saja kita minum atau makan di siang hari, toh orang lain tidak tahu. Namun, puasa mendidik kita untuk jujur kepada Allah, bahwa puasa kita hanya untuk-Nya, bukan untuk pergaulan.
Karenanya, selain menahan dari rasa lapar dan haus, sebaiknya puasa juga kita manfaatkan untuk berlatih menahan hasrat untuk flexing yang hari ini telah mewabah. Bahkan harus menumbuhkan komitmen untuk menghentikannya secara total. Tidak perlu ekspos tarawih, tak perlu ekspos menu buka puasa, tak perlu juga posting “Alhamdulillah sudah 5 juz, padahal baru hari ke-3”, dan seterusnya.
Flexing harta dan kelebihan duniawi mungkin bisa sembuh dengan mudah. Beberapa pejabat publik yang dicopot dari kedudukannya akibat kebiasaan flexing anak dan istrinya, mungkin dapat menyadarkan pihak lain yang memiliki tingkah laku yang sama.
Tetapi bagaimana dengan flexing spiritual atau riya'? Oknum pelaku flexing spiritual merasa sedang melakukan kebaikan dan beribadah. Padahal, sesungguhnya ia sedang menyiapkan jalan menuju neraka Allah ﷻ.
Tidak ada yang menghukum flexing spiritual. Karenanya, flexing jenis ini sesungguhnya lebih berbahaya bagi kita. Karena begitu dekat dan mudah sekali dilakukan dengan bantuan gadget, maka seakan berdakwah, seakan bertausiah, lalu menggelincirkan kita pada kerugian jangka panjang. Sebab, yang bertahta di hati bukan Allah, namun kekaguman manusia. Waspadalah pada flexing spiritual!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!