Memasuki fase akhir Ramadhan. Di kehangatan buka puasa sederhana bersama anak dan istri, tiba-tiba terbersit dalam ingatan, sebuah kenangan dari masa lalu. Satu kisah kecil di masa anak-anak. Waktu itu, kami sedang berkumpul. Lebih tepatnya, berteduh dari teriknya matahari, sembari menikmati guyuran angin di bawah batang pohon nangka.
Masih segar dalam ingatan, ketika itu kami bermain cangkriman. Mungkin karena hanya itulah permainan yang bisa dilakukan sembari duduk-duduk di bawah pohon. Tanpa alat, tanpa butuh ruang besar untuk bergerak, dan tetap asyik untuk dimainkan bersama-sama. Oya, cangkriman adalah sejenis permainan tebak-tebakan dalam bahasa Jawa. Semua orang di dalam permainan itu bisa bergantian untuk menyampaikan teka-teki atau cangkriman, dan yang lain menjawabnya.
Yang menyelinap kembali di dalam ingatanku kini adalah salah satu teka-teki yang kala itu disampaikan oleh kakakku sendiri. “Apakah yang ketika jauh, kita ingin menghampirinya. Namun jika telah sampai, justru kita hanya melewatinya saja?” Begitulah bunyi teka-teki tersebut.
Ramai kami mengajukan jawaban. Tetapi semua jawaban tidak ada yang tepat. Akhirnya kami menyerah, dan meminta pemberi soal tebak-tebakan untuk membuka jawabannya.
“Jawabannya adalah: Pintu. Saat kita jauh dari rumah, dari mana pun, kita akan pulang untuk mendekati pintu. Tetapi saat sampai, kita hanya melewatinya begitu saja.” Begitulah kakakku membeberkan jawaban dari teka-teki yang ia sampaikan.
Pada waktu itu, kami semua menerima jawaban tersebut sebagai sesuatu yang benar. Minimal, logis dalam logika tebak-tebakan usia anak-anak. Esensi kebenarannya tak terlalu kami pikirkan.
Nah, kalimat “Pintu yang kita hampiri dan lalu kita lewati begitu saja” itu tiba-tiba membenturkan kesadaranku pada kualitas ibadah puasa Ramadhan yang tengah kami lakoni. Aku merenung. Kok, Ramadhan jadi seperti pintu dalam cangkriman di masa anak-anak itu, ya?
Aku, dan mungkin juga Anda semua, sebagai muslim kerap merindu dan berharap kedatangan Ramadhan. Lalu, Ramadhan tiba. Suasana meriah, bahagia membuncah, masjid-masjid penuh sesak, dan anak-anak riang gembira. Di hari pertama umumnya memang ada lonjakan grafik ibadah secara kuantitatif. Lalu turun, dengan semakin bertambahnya usia Ramadhan.
Kini. Memasuki fase 10 hari kedua, pintu ampunan dibuka oleh Allah. Pintu Rahmat telah kita lewati dan kita semua menuju pada 10 akhir Ramadahan yang menjadi pintu pembebasan dari azab neraka.
Seperti pintu yang kita tuju dan hampiri, akankah Ramadhan juga sekadar kita lewati? Jadi, apa sesungguhnya yang kita nantikan dari Ramadhan? Apa yang kita rindukan dari Ramadhan?
Teka-teki itu terus saja mengusik. Apakah pintu rahmat telah membawa para soimin dan soimat, terutama diriku sendiri, sampai pada datangnya rahmat Allah azza wa jalla? Ataukah kita semua telah melewatinya begitu saja?
Mestinya, saat kita menghampiri Ramadhan, bahagia dengan kedatangan Ramadhan, antusias menyambut Ramadhan, tak lain karena adanya harapan untuk bisa mengunduh datangnya rahmat Allah dalam hidup kita. Momentum naungan rahmat Allah itu kini telah berlalu. Amat disayangkan, jika kita sekadar melewatinya hanya untuk menambah panjang masa lalu dan memperpendek sisa umur dalam deretan waktu kehidupan kita masing-masing.
Kini, pintu ampunan luas membentang. Akankah bisa kita optimalkan untuk membasuh daki-daki kesalahan dan noda dosa? Sehingga kualitas batin kita kembali bersih, kembali jernih karena ampunan Allah yang Maha Pengampun. Bukankah telaga ampunan ini yang mestinya kita harap dan rindukan dari Ramadhan?
Kita semua sadar bahwa kualitas ibadah kita tak akan pantas mengantarkan kita pada surga Allah. Ampunan dan kasih sayang Allah-lah yang memantaskan kita untuk masuk dan menapaki surga-Nya. Lalu, momen datangnya ampunan yang luar bisa ini pantaskah sekadar kita lewati?
Semua itu terserah pada kita.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!