Hujan ekstrem yang dipicu Siklon Senyar di akhir November 2025 lalu menjelma menjadi peristiwa yang membongkar ilusi kemajuan di banyak wilayah Sumatera. Di dalam waktu singkat, ruang hidup warga runtuh: Rumah tak lagi bisa dihuni, akses dasar terputus, lahan penghidupan rusak, dan aktivitas sosial-ekonomi berhenti nyaris total. Apa yang dibangun bertahun-tahun seolah luruh hanya dalam hitungan hari.
Korban jiwa yang menembus angka ribuan hingga akhir Desember 2025 (per 22 Desember 2025 korban meninggal dunia akibat Bencana Sumatera adalah 1.106 jiwa, red) menegaskan bahwa bencana ini tidak serta merta soal cuaca. Di balik angka tersebut, ada generasi yang terputus, keluarga yang kehilangan penopang, dan orang-orang tua yang wafat bersama pengalaman hidup yang tak tergantikan. Bencana tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga memutus kesinambungan sosial yang selama ini menopang kehidupan masyarakat.
Kerusakan material akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, mencapai skala yang mencengangkan. Kerugian ekonomi diperkirakan menyentuh angka puluhan triliun rupiah, jauh melampaui kemampuan normal pemerintah provinsi untuk menanggungnya. Dana pemulihan yang dibutuhkan bahkan hampir menelan seluruh ruang belanja pembangunan tahunan di tiga provinsi tersebut, menyisakan pertanyaan serius tentang keberlanjutan pembangunan daerah ke depan.
Dampak paling nyata justru terlihat pada masyarakat akar rumput. Jutaan warga terdampak langsung, ratusan ribu masih hidup di pengungsian, dan sebagian besar dari mereka menggantungkan hidup pada bantuan darurat. Situasi ini memperlihatkan satu fakta bahwa bencana menghantam masyarakat yang sejak awal berada dalam posisi rapuh secara ekonomi dan sosial. Wilayah-wilayah terdampak bencana adalah wilayah dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi. Jutaan penduduk hidup tanpa cadangan ekonomi memadai, tanpa akses perlindungan sosial yang kuat, dan tanpa jaminan pemulihan yang cepat. Di dalam kondisi seperti ini, satu bencana besar cukup untuk menghancurkan stabilitas hidup yang dibangun bertahun-tahun dengan susah payah.

Bencana juga tidak mengenal kelas sosial. Mereka yang sebelumnya merasa aman secara ekonomi pun dapat tergelincir dalam kemiskinan hanya dalam hitungan minggu. Bencana sungguh bekerja sebagai alat pemiskinan massal yang mengungkap rapuhnya fondasi pembangunan dan ketahanan ekonomi masyarakat secara luas.
Namun, menyebut peristiwa ini sebagai bencana alam semata jelas menyesatkan. Curah hujan ekstrem hanyalah pemicu. Skala kehancuran yang terjadi merupakan hasil akumulasi kebijakan pembangunan yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Pembukaan hutan besar-besaran, ekspansi tambang dan perkebunan, serta alih fungsi lahan tanpa kendali, telah lama melemahkan daya tahan lingkungan, sekaligus meningkatkan risiko bencana bagi masyarakat di sekitarnya.
Hubungan antara kemiskinan dengan bencana kerap dipahami secara dangkal, seolah bencana datang lebih dulu, lalu kemiskinan mengikuti. Padahal, keduanya terikat dalam satu lingkaran yang saling menguatkan. Kemiskinan menciptakan kerentanan, dan bencana memperdalam kemiskinan itu sendiri, membentuk siklus yang terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Banyak rumah tangga miskin di wilayah perdesaan tidak memiliki aset produktif yang cukup untuk bertahan. Ketika akses terhadap pekerjaan formal tertutup, alam menjadi satu-satunya tumpuan hidup. Mereka masuk ke sektor-sektor ekstraktif sebagai tenaga murah atas keterpaksaan yang diproduksi oleh ketimpangan struktural. Paradoksnya, kelompok inilah yang paling dahulu merasakan dampak kerusakan lingkungan. Ketika banjir dan longsor datang, mereka yang tinggal paling dekat dengan sungai, lereng, dan kawasan hutan gundul, menjadi korban pertama. Namun, keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam hampir tidak pernah mereka nikmati. Risiko ditanggung bersama, sementara manfaat terkonsentrasi pada segelintir pihak.
Karena itu, menimpakan kesalahan kepada masyarakat miskin adalah kekeliruan serius. Persoalan utamanya terletak pada arah kebijakan yang memberi karpet merah pada eksploitasi, sementara risiko ekologis dan sosial ditinggalkan untuk ditanggung komunitas lokal. Di sisi lain, sistem ekonomi gagal membuka jalan keluar yang bermartabat dan berkelanjutan bagi masyarakat sekitar hutan. Pilihan hidup mereka pun menjadi sangat sempit. Antara terus bekerja di sektor yang merusak lingkungan, atau kehilangan sumber penghidupan sama sekali. Di dalam situasi ini, kebebasan memilih sesungguhnya adalah ilusi.

Kemiskinan, dalam konteks ini, bukan sekadar kondisi ekonomi, melainkan proses struktural yang perlahan melemahkan daya tahan masyarakat. Ia membuat kelompok tertentu jauh lebih rentan terhadap guncangan alam. Ketika bencana datang, dampaknya menumpuk pada mereka yang telah lama berada di pinggiran pembangunan. Bencana kemudian berfungsi sebagai pengganda penderitaan, mempercepat kehancuran sosial-ekonomi yang sebelumnya telah berlangsung secara senyap. Tanpa intervensi struktural, siklus ini akan terus berulang dengan pola korban yang sama.
Kesadaran akan keterkaitan ini seharusnya mengubah cara kita memandang pemulihan pascabencana. Membangun kembali rumah, jalan, dan jembatan memang penting, tetapi jauh dari cukup. Yang lebih mendesak adalah membangun ulang arah pembangunan itu sendiri agar tidak lagi berdiri di atas kerentanan yang sama.
Pemulihan harus diarahkan pada penguatan ekologi, penciptaan ekonomi lokal yang berkelanjutan, perluasan lapangan kerja yang tidak bergantung pada perusakan alam, serta penguatan perlindungan sosial bagi kelompok rentan. Tata kelola sumber daya alam pun harus transparan dan berpihak pada keberlanjutan. Agenda “membangun dari bawah” tidak boleh dimaknai formalitas saja. Ia harus dipahami sebagai upaya menanam fondasi ekonomi yang kokoh, yang tidak mudah runtuh ketika krisis iklim dan bencana datang silih berganti. Fondasi yang menempatkan keselamatan manusia dan kelestarian alam sebagai prasyarat utama pembangunan.
Negara perlu mendorong model pembangunan yang tidak hanya menghasilkan angka pertumbuhan, tetapi juga menjaga kehidupan. Integrasi antara pengentasan kemiskinan, pengurangan risiko bencana, dan adaptasi iklim harus menjadi satu kesatuan strategi, tidak lagi kebijakan yang berjalan sendiri-sendiri.
Tanpa keberanian untuk menyentuh akar persoalan — ketimpangan struktural, kerusakan ekologis, dan ketiadaan alternatif ekonomi — triliunan rupiah dana pemulihan hanya akan menjadi ritual pascabencana yang berulang. Kita akan terus membangun kembali di atas fondasi yang rapuh, sembari menunggu bencana berikutnya datang dan menimpa kelompok masyarakat yang sama.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

