Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 10): "Reformasi Birokrasi yang Mati Suri"

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri kesepuluh dari kisah beliau. Selamat menikmati.

Hari itu, 12 Agustus 2005, lima Komisioner KPK bertemu Presiden SBY di istana negara. Mereka membicarakan reformasi birokrasi sebagai salah satu alternatif pencegahan korupsi. Pak Erry Riyana Harjapamengkas (ERH), Wakil Ketua KPK, memintaku menyusun pilar-pilar reformasi birokrasi. Maksud beliau, materi itu bisa digunakan sebagai panduan bagi seluruh kementerian dan Lembaga Negara (K/L).

Konsep tersebut menurut pak ERH, bisa juga digunakan oleh Deputi Pencegahan KPK dalam melakukan sosialisasi ke publik. Berdasarkan hasil pertemuan dengan SBY yang dikisahkan pak ERH, saya pun menyusun konsep Reformasi Birokrasi tersebut.

SDM yang Berintegritas dan Profesional

Menpan waktu itu, Taufiq Effendi mengatakan, 65% PNS adalah pegawai  administratif. Hanya 35% pegawai fungsional. Padahal, “best practices” di dunia, pegawai fungsional harus 70%. Wajar jika pada waktu tertentu, ASN sibuk bekerja. Tandanya, bos ada di kantor. Sebab, pegawai administratif adalah ASN yang bekerja berdasarkan perintah atasan. Namun, jika tidak ada bos, pegawai akan isi teka teki silang, bermain game, baca koran atau “ngerumpi” sesama mereka.

Berbeda dengan pegawai administratif, tenaga fungsional akan tetap bekerja sekalipun tidak ada bos. Sebab, mereka punya kompetensi. Mereka tau apa yang harus dikerjakan tanpa arahan atasan. Itulah sebabnya, sewaktu Ketua KPK (AA) terkena kasus, kusarankan agar tidak perlu ada Plt. Ketua KPK. Sebab, dalam SOP, Peraturan Kepegawaian, dan Kode Etik KPK, pegawai masuk kantor pukul 08.00. Pulang pukul 17.00. Jika pegawai datang pukul 08.05, dia baru bisa pulang pukul 17.05.

Toleransi diberikan sampai pukul 08.30. Jika pegawai tiba di kantor pukul 08.31, maka selain dia baru bisa pulang pukul 17.31, tunjangan transportnya akan dipotong 50%. Simpulannya, pimpinan, deputi, dan direktur masuk kantor atau tidak, pegawai tetap datang. Sebab, tidak ada pegawai “gila” yang mau kehilangan tunjangan transportnya karena terlambat masuk kantor. Pegawai terkait tidak bisa “nego” dengan biro SDM. Sebab, absensi pegawai dilakukan dengan “finger print”.

Berdasarkan informasi Menpan tersebut di atas, kutetapkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai pilar pertama Reformasi Birokrasi. SDM dimaksud adalah individu yang berintegritas dan profesional. Mengapa integritas menjadi prioritas? Alasanku, profesional dapat ditingkatkan melalui Diklat setelah seseorang menjadi ASN. Sedangkan integritas adalah nilai-nilai yang sudah ada dari “sononya”. Dengan demikian, seorang pegawai akan bermasalah ketika integritasnya rendah.

Hal ini dibuktikan dengan kasus Suparman, Penyidik KPK yang diterima dengan nilai integritasnya, 3,9. Hanya kurang 0,1 dari ketentuan yang berlaku di KPK. Sebab, ketentuan di KPK waktu itu (2004), seorang calon pegawai KPK dinyatakan lulus jika nilai integritasnya minimal 4 dari skala 1 – 5. Dampaknya, kekurangan 0,1 nilai integritas tersebut, Suparman ditangkap kawan-kawannya sendiri karena terlibat kasus korupsi.  Kasus ini mendorong Biro SDM super ketat dalam proses seleksi pegawai baru KPK. Tahun 2007 misalnya, KPK perlu 100 pegawai baru. Mereka yang mendaftar sebanyak 27 ribu fresh graduate. Ternyata, yang lulus hanya 45 orang.

SDM harus profesional. Sebab, korupsi adalah kejahatan luar biasa (“extra ordinary crime”). Olehnya, pimpinan dan pegawainya juga harus luar biasa. Ini karena, koruptor sangat canggih operasinya. Apalagi, koruptor punya tiga kekuatan: duit, geng, dan senjata. Kasus money laundry Rp. 349 trilyun di Kemenkeu, ulah jenderal Sambo, pembunuhan Nasaruddin, dan penganiyaan Novel Baswedan adalah contoh corruptor fight back (perlawanan balik koruptor). Logis jika kuusulkan agar seorang PNS, setelah integritas, harus profesional. Kriteria ini ditandai oleh pengetahuan yang mumpuni, keterampilan optimal, unggulnya kemampuan pribadi, dan perilaku terpuji.

Remunerasi yang Menyejahterakan

Pada masa orde baru, ada jargon, PNS yang jujur, setiap bulan akan mati tiga kali. Sebab, gajinya hanya untuk keperluan 10 hari. Olehnya, KPK dalam merekomendasikan konsep Reformasi Birokrasi, menetapkan salah satu pilarnya adalah remunerasi yang menyejahterakan.

Berdasarkan budaya PNS yang ada, kuperkenalkan “Tools 3P”. Dalam kontek ini,  “P” pertama adalah “Pay for person”. Variabel pertama ini merujuk ke jenjang pendidikan seorang PNS: Tamatan SMU, diploma atau sarjana. “P” kedua, “Pay for position”. Variabel ini merujuk ke jabatan seorang PNS. “P” ketiga, “Pay for performance”. Variabel ketiga ini merujuk ke kinerja seorang PNS. Ketiga variabel inilah yang kuusulkan agar digunakan dalam menetapkan besaran gaji PNS.

Kusarankan, penggajian yang digunakan adalah yang menyejahterakan. Katakanlah, berdasarkan “Tools 3P” di atas, gaji seorang PNS, Rp. 10 juta sebulan. Namun, gajinya tidak dibayar 100%. Beliau hanya dibayar separuh atau maksimal 75% gajinya. Sisanya dikonversi ke pendidikan dan kesehatan. Maksudnya, biaya sekolah anak-anaknya, dari SD sampai PT (Perguruan Tinggi), ditanggung negara. Biaya kesehatan dan pengobatan seluruh anggota keluarga ditanggung oleh negara tanpa BPJS.

Fungsionalisasi IT

Tanpa IT (Informasi Teknologi), KPK tidak bisa menangkap Ketua MK dan Ketua DPR. KPK juga tidak bisa menangkap Menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota legislatif, pengusaha, dan APH (Aparat Penegak Hukum). IT juga memperpendek jarak birokrasi. Ia merupakan “tools” pengawasan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

Manfaat IT tersebut kurasakan ketika seorang Sekretaris Deputi yang diduga melanggar kode etik disidangkan. Dia protes. Menurutnya, kasusnya adalah persoalan perdata sehingga tidak bisa disidangkan oleh Majelis Kode Etik.

Memang, kasusnya masalah perdata. Namun, beliau sudah melanggar kode etik. Sebab, dia sering masuk kantor pada waktu istirahat melewati ketentuan. Beliau “ngotot” dengan mengatakan, dia tetap masuk kantor pukul 13.00. Kuminta Bagian IT membuka CCTV di ruangan kerjanya. Ternyata, beliau masuk kantor pada waktu istirahat, melewati pukul 13.00. Bahkan, pernah sampai pukul 14.00.

Berdasarkan fakta IT tersebut, sebagai Ketua Majelis, kujatuhkan hukuman, pemecatan sebagai Sekretaris Deputi. Beliau dikembalikan ke Biro SDM untuk memeroleh “pembinaan” dengan status pegawai biasa. Bukan lagi pejabat struktural. Itulah contoh fungsionalisasi IT di mana terjadi efisiensi, efektivitas, transparan, dan akuntabilitas dalam proses tata kelola pemerintahan.

Pengelolaan SDA Menurut UUD 45

Sewaktu menjabat Ketua Umum PB. HMI, kukunjungi HMI Cabang Kupang, NTT. Sedih dan prihatin. Sebab, sepanjang mata memandang, suasana gersang dan kering. Tiada hutan yang hijau. Namun, sewaktu menjabat Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), kudatangi Kabupaten Manggarai, NTT. Saya mau periksa kekayaan Ketua DPRD Manggarai, 2002.

Dari Maumere, kutumpangi bus antar kota. Dua kali ganti bus untuk sampai ke Ruteng, ibu kota  kabupaten Manggarai. Sepanjang jalan, ratusan kilometer, kusaksikan pemandangan yang sangat kontras dengan Kupang. Sepanjang jalan, kulihat perkebunan jambu mete yang subur. Bahkan, menurut penumpang bus, kualitas jambu mete di daerah itu, jauh lebih baik dari yang  ada di Sulawesi Tenggara. Demikian pula, ribuan pohon kemiri sepanjang lereng gunung. Tinggi, rimbun, dan subur.

Simpulanku, berdasarkan pengalaman mendatangi Aceh sampai Papua Barat, tiada daerah di Indonesia yang tidak punya “sesuatu”. Pelbagai SDA (Sumber Daya Alam) yang ada bisa dieksplorasi untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Mengapa daerah-daerah subur tersebut terjepit kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan?. Sebab, korupsi terjadi di antara eksekutif, legislatif, yudikatif, dan para Pengusaha di daerah terkait.

Mati Suri

Secara teoritis, jika rekomendasi KPK tentang reformasi birokrasi yang disampaikan tahun 2005, dilaksanakan dengan konsekwen, Indonesia hari ini sudah jadi negara maju. Negara tidak terlilit utang sebesar hampir delapan ribu trilyun rupiah. Hutan tidak mencapai stadium empat yang mengakibatkan tanah longsor, banjir, dan hancurnya pelbagai infra struktur. Terumbu karang tidak rusak, 70%. Tidak terjadi “illegal fishing” yang mengakibatkan negara kehilangan 300T rupiah per tahun.

Simpulannya, reformasi birokrasi, mati suri. Belum ada 10% K/L (Kementrian/Lembaga) yang melaksanakannya. Rupanya, jika reformasi birokrasi dilaksanakan, pejabat yang selama ini memeroleh penghasilan tambahan karena salah urus, akan hilang. Itulah yang terjadi di Kemenkeu, Polri dengan Satgasusnya, istana dengan Menteri yang punya 27 jabatan.

Tidak ada pilihan bagi Jokowi kecuali memberhentikan Menteri dan Pimpinan Lembaga Negara (termasuk KPK) yang membuat reformasi birokrasi mati suri. Jika tidak, masyarakat akan menganggap, Jokowi sebagai penyebab semua musibah ini. Akhirnya, rakyat akan minta Jokowi mundur secara terhormat.

Baca Juga:

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 9): “Komite Etik dan Tinta Merah di KPK”
Substansi tugasku adalah bagaimana mendamaikan kelima komisioner KPK tanpa mengganggu pelaksanaan kegiatan rutin organisasi. Risikonya, saya akan dituduh sebagai pembela si A atau si B di antara kelima Komisioner KPK tersebut.
Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 11): Pegawai KPK Mundur karena Terima Bandeng Presto
Seorang instruktur dalam Induksi pegawai baru KPK di Polda Jawa Tengah dilaporkan menerima gratifikasi berupa dua kotak berisi empat ekor ikan bandeng presto. Harganya sekitar dua ratus ribu Rupiah. Beberapa hari kemudian, kuketahui, purnawirawan polisi itu mundur dari KPK.