Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri kesebelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.
Kode etik KPK berlaku 24 jam. Aplikasinya, pegawai KPK terikat dengan Kode Etik walau di mana saja. Di rumah, kantor, kendaraan umum, atau ruang publik. Pegawai KPK juga tidak boleh mengenalkan diri sebagai orang KPK, kecuali dalam menjalankan tugas. Itu pun harus disertai Surat Tugas dan Tanda Pengenal.
KPK memang berbeda dengan Kementerian/Lembaga Negara (K/L) dan Aparat Penegak Hukum (APH) yang lain. Sebab, sewaktu menjalankan tugas, pegawai KPK tidak boleh menerima fasilitas apa pun dari siapa pun. Hal ini karena mereka sudah dibiayai APBN, termasuk ketika bertugas di lapangan.
Manajemen SDM KPK
PP No 63/2005 tentang Manajemen SDM KPK menetapkan, ada tiga jenis pegawai KPK, yaitu Pegawai Tetap; PNS yang dipekerjakan; dan Pegawai Tidak Tetap. Pegawai Tetap adalah individu, warga negara Indonesia, minimal berijazah diploma, dan punya kompetensi tertentu. Dia harus lulus proses rekrutmen dan seleksi pegawai. Dia pensiun pada umur 56 tahun.
PNS yang dipekerjakan adalah pegawai yang aktif di K/L tertentu yang berminat untuk berkhidmat dalam pemberantasan korupsi. Sebelum mengikuti proses rekrutmen dan seleksi KPK, PNS tersebut harus memeroleh rekomendasi terlebih dahulu dari instansinya. Lazimnya, PNS yang diperlukan KPK adalah mereka yang berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Kemenkeu. PNS yang dipekerjakan di KPK, bertugas selama 4 tahun. Jika kinerjanya baik, masa tugas PNS terkait dapat diperpanjang maksimal 4 tahun lagi. PNS yang dipekerjakan dapat menjadi Pegawai Tetap KPK, dengan risiko gugur statusnya sebagai PNS. Sedangkan Pegawai Tidak Tetap adalah individu berkompetensi tertentu, yang berdasarkan perjanjian kontrak, bertugas di KPK untuk jangka waktu tertentu.
Berdasarkan PP No 63/2005, pasal 11 ayat 1, Pegawai KPK diperoleh melalui pengadaan secara terbuka. Tahapan penerimaan pegawai KPK dimulai dengan lelang terbuka untuk dapatkan Lembaga yang punya kepakaran dalam melakukan proses rekrutmen dan seleksi pegawai. Biasanya, Universitas Indonesia atau Angkatan Udara yang memenangkan tender. Kedua institusi ini, selain memiliki tenaga pakar yang berintegritas dan profesional, juga punya teknologi dan instrumen canggih dalam proses rekrutmen dan seleksi pegawai.
Tahapan rekrutmen dan seleksi pegawai yang dilakukan, baik oleh UI maupun Angkatan Udara, dimulai dengan pengumuman secara terbuka di media cetak dan online. Pendaftaran calon pegawai dilakukan secara online. Peserta diminta untuk mengikuti proses tahap pertama, yakni seleksi administrasi, kompetensi, dan psycho test. Selama periode ini, peserta tidak boleh berhubungan dengan pejabat atau pegawai KPK. Jika diketahui, peserta tersebut langsung dinyatakan gugur.
Tahap kedua, peserta yang lulus ketiga jenis seleksi di atas akan bertemu langsung dengan pejabat KPK. Di tahap ini, pejabat KPK terkait akan memastikan, apakah pelamar memenuhi syarat untuk menjabat posisi atau jenis pekerjaan yang dilamar. Pejabat terkait, melalui wawancara mendalam, memastikan pelamar cocok untuk ditempatkan di Biro, Direktorat, atau Kedeputian tertentu di KPK.
Tahap ketiga, pelamar akan mengikuti tes kesehatan. Di K/L atau perusahaan swasta, lazimnya pelamar sudah harus menyertakan hasil tes kesehatan dalam berkas lamaran. Di KPK, tes kesehatan dilakukan di tahap akhir. Sebab, pelamar tidak membayar sepeser pun. Hal ini karena biaya tes kesehatan lumayan besar bagai warga biasa. Sehingga, semua biaya rekrutmen dan seleksi dibiayai KPK.
Jika tes kesehatan dilakukan pada tahap awal, perlu anggaran besar. Padahal, doktrin KPK adalah kegiatan apa pun yang dilakukan, harus efektif dan efisien. Pada waktu yang sama, pelamar cukup banyak. Tahun 2007 misalnya, jumlah pelamar sebanyak 27.000 orang. Mereka adalah individu yang baru lulus perguruan tinggi. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan negara untuk tes kesehatan pelamar? Oleh karenanya, tes kesehatan dilakukan di tahap akhir.
Lazimnya, pelamar yang ikut tes kesehatan hanya satu persen dari jumlah pelamar. Di dalam rekrutmen dan seleksi pegawai tahun 2007 di atas, hanya 45 orang yang dinyatakan lulus. Ada tiga kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil rekrutmen dan seleksi pegawai KPK ini.
Pertama, kualitas SDM Indonesia sangat rendah. Fakta menunjukkan, Human Development Index Indonesia hanya 76, ranking keenam di Asia Tenggara. Pada waktu itu, posisi Indonesia berada di belakang Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Philipina.
Kesimpulan kedua, proses rekrutmen dan seleksi pegawai di KPK sangat ketat. Kesimpulan ketiga, jika sewaktu proses rekrutmen dan seleksi Pimpinan dan Pegawai KPK, baik SOP, Kode Etik, maupun Peraturan Kepegawaian KPK terabaikan, maka musibah yang akan terjadi. Itulah musibah yang melanda KPK dewasa ini.
Tahap keempat, peserta yang lulus proses rekrutmen dan seleksi pegawai, wajib mengikuti induksi selama enam bulan. Tahap ini harus diikuti oleh calon pegawai yang baru lulus universitas. Bagi calon pegawai yang sudah bekerja di K/L atau perusahaan swasta, cukup mengikuti induksi selama tiga bulan.
Tahap terakhir adalah proses magang selama tiga bulan di semua direktorat KPK. Selesai magang dan dinyatakan lulus, baru peserta mengikuti pelantikan secara resmi. Namun, bagi calon pegawai yang sudah bekerja, mereka tidak perlu magang. Selesai induksi, mereka bisa langsung dilantik sebagai pegawai KPK.
Indonesia Memanggil
Di penghujung November 2005, ada 38 calon pegawai KPK yang mengikuti Induksi di Akpol, Semarang, Jawa Tengah. Bulan pertama, peserta ikut program Saptama di lapangan. Peserta diajarkan disiplin, latihan fisik, baris berbaris, dan belajar menembak. Sesudah itu, selama lima bulan mereka ikut pendidikan di dalam kelas. Mereka adalah calon pegawai KPK generasi pertama. Dikenal dengan sebutan “IM-1” (Indonesia Memanggil, angkatan 1). Mengapa harus ada istilah tersebut?
Indonesia pada era orde baru, korupsinya luar biasa. Bahkan, korupsi disebut extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebab, waktu itu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia hanya 19 (0 paling korup, 100 paling bersih). Wajar jika Indonesia terkategori negara terkorup nomor dua di Asia. Oleh karenanya, diperlukan individu-individu yang punya komitmen tinggi untuk memberantas korupsi. Itulah sebabnya, peserta Induksi di Akpol Semarang ini disebut Indonesia Memanggil-1.
Selama di Akpol Semarang, dua peserta mengundurkan diri. Ke-36 peserta yang ada, setelah digodok selama enam bulan, mereka harus magang selama 3 bulan di seluruh direktorat KPK. Maksudnya, calon pegawai ini harus mengenal budaya kerja di KPK. Pada waktu yang sama, mereka harus belajar Bahasa Inggris – Hukum di Sekolah Bahasa Polri, Jakarta. Akhirnya, bulan Agustus 2006, sesuai kualifikasi pegawai KPK yang berintegritas dan profesional, ke-36 peserta Indonesia Memanggil-1 itu dilantik secara resmi sebagai pegawai KPK.
Oleh-Oleh Bandeng Presto
Beberapa waktu pasca induksi pegawai baru KPK di Akpol Jawa Tengah, seorang Pejabat Direktorat Pengawasan Internal (PI) KPK menemuiku. Beliau konsultasi tentang laporan ke PI mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik KPK. Menurut dia, pegawai PI yang menjadi instruktur dalam Induksi pegawai baru KPK di Polda Jawa Tengah dilaporkan menerima gratifikasi. Menurut pejabat PI ini, instruktur tersebut menerima oleh-oleh berupa dua kotak ikan bandeng presto. Isi kotak itu adalah empat ekor bandeng presto. Harganya sekitar dua ratus ribu Rupiah.
Pejabat PI itu minta semacam “fatwa” dariku sebagai Penasihat KPK. Sebelum memberi “fatwa”, kudalami pribadi instruktur tersebut. Beliau purnawirawan polisi. Punya pengalaman dalam kegiatan Diklat. Itu sebabnya, beliau direkrut sebagai Pegawai Tidak Tetap di Direktorat PI. Berdasarkan hal itu pula, beliau ditugaskan sebagai instruktur dalam Induksi pegawai baru KPK di Akpol Jawa Tengah tersebut. Kusimpulkan, beliau cukup dedikatif. “Lalu mengapa beliau terima gratifikasi?”
Pejabat PI ini menerangkan, instruktur tersebut pernah bertugas di Semarang sewaktu masih aktif sebagai polisi. Sehingga, beliau punya banyak kenalan di Semarang, khususnya di kalangan Anggota Polda Jateng. Salah seorang dari kawan lamanya itulah yang memberikan oleh-oleh bandeng presto. “Mengapa beliau tidak lapor ke Direktorat Gratifikasi?” tanyaku, penasaran. Pejabat PI ini menerangkan, saat kembali dari Semarang, beliau kurang sehat. Kelelahan beberapa hari sehingga tidak masuk kantor. Dampaknya, beliau lupa akan hal tersebut. Apalagi, tradisi di Kepolisian atau PNS umumnya, oleh-oleh seperti itu adalah biasa.
“Jadi gimana pak?” desak Pejabat PI ini. Kurenungkan SOP, Kode Etik KPK, dan Peraturan Pegawai KPK. Kuingat prinsip “zero tolerance” di KPK. Apalagi, aku adalah Kordinator Penyusunan SOP KPK. “Fatwa” pun kukeluarkan, “Sampaikan ke beliau, dua pilihan: Mengundurkan diri dari KPK atau diproses sebagai terperiksa dalam Majelis Kode Etik KPK.”
Beberapa hari kemudian, kuketahui, purnawirawan polisi itu mundur dari KPK. Kuhela nafas. “Gara-gara empat ekor ikan bandeng presto, hilang belasan juta rupiah.”
Apakah “fatwa” yang kuberikan terlalu kejam? Saat itu, kusimpulkan, biarlah waktu yang menentukan, apakah “fatwaku” tersebut kejam atau tegas. Namun, sewaktu menulis artikel ini, kusimpulkan, apa yang terjadi di KPK dewasa ini adalah karena budaya kerja KPK ditinggalkan. Pansel KPK dan Anggota Komisi - 3 DPR RI terlalu toleran terhadap kesalahan yang pernah dilakukan calon-calon Pimpinan KPK. Apalagi, Dewas sekarang tidak lagi memerhatikan asas “zero tolerance” KPK. Hasilnya, hari ini lembaga anti rasuah itu semakin terpuruk.
Baca Juga:
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!