Ribuan Ibu Rumah Tangga Terinfeksi HIV

Ribuan Ibu Rumah Tangga Terinfeksi HIV
Ilustrasi stop HIV oleh Ichsan / sabili.id

Beberapa hari yang lalu, Kemenkes merilis data yang cukup mencengangkan. Berdasar riset yang mereka lakukan, setiap tahun terdapat 5.100 kasus baru ibu rumah tangga yang terpapar HIV. Dari data tersebut, diketahui pula bahwa 33 persen di antaranya tertular dari pasangannya sendiri (suami) yang diduga memiliki pola hubungan seksual berrisiko. Yang tak kalah mencengangkan, data tersebut juga menyebutkan secara kumulatif ada 14.100 anak yang telah positif HIV. Sabili sebagai komponen bangsa dan komponen dakwah mengajak umat Islam dan organisasi dakwah untuk serius melihat fakta ini.

Mengagetkan sekaligus membikin miris. Konferensi pers Juru Bicara Pemerintah, Mohammad Syahril secara daring yang bertajuk “Melindungi Anak dari Penularan Penyakit Seksual”, pada tanggal 8 Mei kemarin, mengungkap fakta mengejutkan, berdasarkan temuan riset Kementerian Kesehatan, terjadi penambahan sekitar 5.100 kasus HIV baru yang berasal dari kelompok ibu rumah tangga, pada setiap tahunnya.

Angka yang luar biasa besar. Patut diduga, fakta sesungguhnya bisa lebih besar dari itu. Mengingat tidak banyak ibu rumah tangga yang memiliki inisiatif untuk melakukan tes HIV. Jika ada yang memiliki inisiatif, belum tentu diijinkan oleh pasangannya.

Data tersebut juga mengungkap fakta lain yang tak kalah mencengangkan. Pertama, 33 persen dari 5.100 kasus tersebut, ternyata ibu rumah-tangga tertular dari suami atau pasangannya sendiri yang memiliki perilaku seks berisiko. Kedua, penularan HIV melalui perilaku seks berisiko menjadi penyumbang terbesar kasus penularan, dibandingkan dengan penyebab lain, semacam jarum suntik atau transfusi darah.

Ketiga, penularan HIV dari jalur ibu yang positif HIV ke anak berada pada kisaran 20 – 45 persen. Anak dalam kandungan rentan terpapar HIV dari ibunya yang positif HIV. Keempat, secara kumulatif saat ini didapati 14.000 anak yang ikut terinfeksi HIV. Bahkan ada bayi yang harus menyandang status pasien HIV seumur hidupnya.

Proyeksi atas angka-angka tersebut tentu amat mengerikan. Jika konsisten dalam setiap tahun ada pertambahan 5.100 ibu rumah tangga yang terpapar HIV, maka dalam lima tahun ke depan sudah dapat dihitung berapa ibu rumah tangga kita yang terpapar HIV? Proyeksi selanjutnya adalah, berapa anak Indonesia yang tak memiliki saham dosa akan kecipratan virus HIV?

Jika pada tahun ini telah terkonfirmasi 14.000 anak terinfeksi HIV, bagaimana situasinya pada 5 tahun yang akan datang? Belum lagi jika anak-anak itu dewasa, beberapa di antara mereka mungkin tak sadar risiko penularan yang mereka bawa. Mereka menikah, atau berhubungan seksual tanpa nikah, angka-angka ini bisa melejit lebih tinggi.

Memiliki Spektrum yang Luas

Membicarakan ibu rumah tangga dan anak-anak adalah membicarakan masa depan bangsa, masa depan umat, serta keberlangsungan generasi manusia. HIV yang menginfeksi ibu rumah tangga dan anak-anak sesungguhnya tengah menginfeksi masa depan bangsa dan umat ini.

Bukan saja infeksi dalam konteks kesehatan. Isu ini memiliki spektrum yang amat luas. Angka statistik kesehatan yang muncul sesungguhnya akumulasi dari persoalan yang bersifat multi-dimensional. Persoalannya mungkin membentang dari masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, nilai-moralitas, budaya, bahkan pendidikan.

Melihat data tersebut sekedar dari sudut tanggungjawab kesehatan, sama halnya dengan mengatasi masalah tanpa menyentuh agar masalahnya. Tidak akan pernah tuntas, hingga pada akhirnya daya penanganan tidak akan mampu menampung lompatan persoalan yang terus berkembang.

Naiknya jumlah kasus penularan HIV di Indonesia berkorelasi dengan beberapa persoalan yang lebih elementer. Antara lain yang mudah diamati adalah:

Pertama, masalah nilai-dan moralitas. Harus diakui, akhir-akhir ini masyarakat kita makin permisif dengan pornografi, pornoaksi, hubungan seks di luar nikah, fenomena LGBT yang makin luas menyeruak, perselingkuhan dan sejenisnya.

Orang mulai biasa melihat konten pornografi, dianggap lazim. Bukan lagi masalah besar, bukan dosa besar, wajar untuk standar moral sekarang. Begitulah yang akhir-akhir ini berkembang. Bahkan runtuhnya standar nilai-moral terkait pornografi dan porno-aksi telah menjalar kepada anak-anak usia sekolah dasar.

Dahulu, perkara-perkara ini dianggap tabu. Memalukan dan tidak bermoral. Sekarang hal ini sudah jamak dan dianggap bukan lagi masalah yang serius.

Pacaran sesama jenis juga mulai lazim. Seorang pesohor di media sosial yang mengaku beragama Islam, terang-terangan mengumumkan pernikahan sejenisnya dengan pria dari luar negeri. Kasus LGBT telah mewabah cukup luas di lingkungan terdekat kita. Masyarakat juga bersikap permisif.

Masalah kedua, dukungan teknologi informasi untuk pornografi dan perzinahan yang makin marak. Runtuhnya nilai dan moralitas kita sebagai bangsa yang Berketuhanan di dorong oleh perkembangan dalam dunia teknologi informasi. Akses pada porno-grafi dalam genggaman. Melalui gadget, semua orang sangat mudah untuk melihat dan mengunduh sajian-sajian pronografi.

Aplikasi-aplikasi mesum bahkan telah berkembang amat jauh. Bukan sekedar menyajikan gambar dan video, aplikasi telah merambah peran yang lebih serius lagi, yakni layanan prostitusi online. Munculnya aplikasi-aplikasi semacam ini telah memicu revolusi dalam dunia prostitusi. Peran mucikari bisa disingkirkan.

Dengan aplikasi semacam Michat, perempuan baik-baik yang lagi kehabisan uang bisa menjajakan diri kepada pelanggannya. Tanpa mucikari! Tak ada yang tahu, dia bisa menggunakan nama dan akun palsu. Janjian di hotel, transaksi, dan bisnis selesai. Hanya Tuhan, dirinya, dan klien-nya yang tahu. Bahkan, jejak digital transaksinya pun bisa ia hapus.

Fenomena Open BO, sangat memungkinkan bagi pria beristri atau wanita bersuami, mahasiswa, pelajar, bahkan siapapun juga, untuk melakukan hubungan seksual dengan siapa pun yang ia inginkan.

Masalah ketiga, masalah ekonomi dan kesejahteraan sosial. Mengapa prostitusi online marak? Salah satu pemicu dasarnya adalah meningkatnya kefakiran. Banyak orang menganggur akibat pandemi, pekerjaan yang makin sulit, digitalisasi dalam berbagai layanan kehidupan yang membuat tenaga kerja manusia makin tidak dibutuhkan. Semua itu berujung pada melemahnya daya beli. Sementara tuntutan hidup dan gaya hidup makin tak terbendung.

Prostitusi adalah pilihan usaha yang amat sedikit membutuhkan modal. Hanya menyingkirkan rasa malu dan iman. Uang pun datang, kefakiran sesaat teratasi.

Masalah keempat, melemahnya peran dakwah Islam dalam merespon masalah aktual sosial dan kemanusiaan. Isu pengangguran, kemiskinan, kualitas kesehatan, dan lingkungan hidup kerap luput diagendakan oleh gerakan dakwah. Apalagi isu semacam HIV dan akar masalahnya.

Lihatlah, lembaga-lembaga dakwah yang kerap lantang bicara politik, fiqh dan perbedaan mazhab, namun kerap tak peduli dengan isu kemanusiaan.

Sudah seminggu lebih, data penularan HIV terhadap ibu rumah tangga dan anak-anak dipapar, namun belum ada respon yang serius dari organisasi dakwah. Termasuk dari organisasi-organisasi perempuannya.

Masalah kelima, model penanganan dan perhatian pemerintah. Bukan tanpa penanganan atau perhatian. Amat disayangkan pemerintah lebih banyak memberi prioritas pada penanganan kasus bukan akar masalahnya.

Kita yakin dan percaya, ada alokasi anggaran yang besar untuk penanganan HIV di Indonesia oleh pemerintah. Yang masih kita tuntut adalah sinergisme dalam penanganan akar persoalan. Pemerintah adalah regulator sekaligus conductor yang mestinya mampu membangun orkestra pencegahan HIV dengan melibatkan semua komponen bangsa secara sinergis.

Contoh dalam hal ini, pemerintah prihatin dan khawatir dengan angka-angka HIV yang terus naik. Pada saat yang sama tidak muncul kebijakan yang tegas soal pornografi, pornoaksi, dan pemberantasan perzinahan dalam berbagai bentuknya sebagai akar masalah HIV. Seks bebas yang mulai menggejala luas di kalangan remaja dan pelajar juga tidak tertangani secara intensif. Padahal dari sini lah virus HIV merebak luas.

Sabili.id, sebagai komponen bangsa dan komponen dakwah Islam, memandang penting untuk mengingatkan semua pihak agar memandang serius masalah ini. Ibu rumah tangga adalah tiang negara, madrasah pertama bagi anak-anak, sementara anak adalah penyambung generasi kita di masa yang akan datang. Jika keduanya terpapar HIV, kelangsungan masa depan bangsa dan umat tengah dipertaruhkan.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.