Terkadang kita putus harapan melihat pemuda Islam terlelap mimpi yang membuai, sedang umat ini terluka. Hampir kita tak percaya kalau umat ini kelak dapat bangkit, sedang kalimat jihad hampir-hampir lenyap dari pendengaran. Hampir kita ragu bahwa syariat Islam akan tegak di muka bumi sedang masih banyak potensi umat yang terabaikan.
Makin lama, nyata tergambar tidak ada jalan lain untuk mengembalikan ‘izzah umat ini selain harus kembali kepada manhaj yang pernah dilalui oleh para sahabat dan salafush shalih. Setiap desah nafas dan derap kehidupan generasi sahabat, generasi yang mendapat tarbiyah secara langsung dari Rasulullah SAW, mencerminkan kepahaman yang pasti terhadap kehendak Allah dan Rasul-Nya. Satu hal yang jelas Rasulullah SAW telah menanamkan pada mereka hubbusy syahadah (cinta mati syahid) pada setiap mad’unya, laki-laki, perempuan, tua, muda dan anak-anak.
Amr bin Al Jamuh memeluk Islam menjelang meletusnya perang uhud ketika usianya telah lanjut. Melihat ketiga putranya, Mu’awwadz, Mu’adz, dan Kholad bersiap mengikuti perang uhud, bangkit semangatnya turut serta dalam jihad untuk mendapat syahadah. Tapi cita-cita itu ditentang sejumlah alasan, “Usia ayah sudah lanjut dan kebetulan kaki ayah pincang sebelah. Bukankah Allah Ta’ala telah mengizinkan orang seperti ayah untuk tidak berperang?”
Tak puas mendengar jawaban itu, Amr bin Al Jamuh menemui Rasulullah SAW. Dibayangi oleh rasa rindu syahid di jalan Allah, ia berkata, “Ya Rasulullah, anak-anakku tidak mengizinkan padaku untuk turut dalam kebaikan (jihad) ini. Demi Allah, dengan kaki yang pincang ini aku ingin menginjak surga.” Rasul muliapun tersenyum dan mengangguk merestui.
Di medan perang, Amr selalu berada di barisan terdepan. Sambil meloncat dengan kakinya yang sehat, ia berseru, “Sungguh, aku telah rindu dengan syurga… Sungguh, aku telah rindu dengan surga… “ Tak lama kemudian iapun menemui syahadah mempersembahkan pengabdian terakhir kepada Rabb-Nya.
Handlalah bin Abi ‘Amir, begitu mendengar panggilan jihad Uhud, segera meninggalkan istri yang baru beberapa saat dinikahinya. Bergabung dengan Jundullah yang lain berperang di bawah panji-panji Rasulullah SAW.
Di akhir pertempuran, Rasulullah SAW mendapatkan jenazah Handlalah dalam keadaan segar bugar dengan rambut yang meneteskan air bersih. Sementara jenazah sahabat yang lain tidak.
Kata Rasulullah SAW, “Handlalah menemui syahadah dalam keadaan junub sehingga Jibril AS memandikannya dengan air surga.”
Usamah bin Zaid datang menemui Rasulullah yang tengah bersiap hendak ke Uhud. Bersama beberapa orang temannya ia mengajukan tuntutan agar diikutkan dalam dalam perang Uhud memerangi orang-orang kafir dan mendapatkan syahadah. Rasulullah SAW mengabulkan sebagian dan menolak yang lain karena belum mencapai usia baligh. Di antara yang tertolak adalah Usamah bin Zaid bin Haritsah. Sepanjang perjalanan ia menangis karena tidak mendapat kesempatan berjihad di bawah panji Rasulullah SAW.
Ketika datang perang Khandaq, serombongan pemuda belia menghadap Rasulullah SAW, menyampaikan hasratnya untuk turut dalam peperangan ini. Di antaranya ada Usamah yang berjalan menemui Rasulullah SAW dengan mengangkat tumitnya agar kelihatan lebih tinggi dan memenuhi syarat untuk ikut berperang. Sementara sebagian yang lain langsung mendemonstrasikan kemampuan memanah yang mereka miliki.
Melihat itu hati Rasulullah SAW luluh dan gembira. Diizinkannya Usamah turut serta dalam perang Khandaq ketika itu umurnya menjelang 15 tahun.
Cuplikan peristiwa di atas hanya merupakan tetesan kecil dari samudra keberanian dan kerinduan generasi sahabat terhadap mati syahid. Sulit kita percayai anak-anak kecil pulang sambil menangis ketika tidak diizinkan ikut jihad. Satu bukti bahwa kita telah amat jauh dari corak kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Banyak hal yang bisa kita petik dari kisah di atas. Pertama, kemantapan iman mampu mengkondisikan seluruh anggota keluarga dalam menata pergaulan. Keluarga Amr yang mempersembahkan empat orang Jundullah sekaligus (seorang ayah dan tiga orang putranya) dalam satu pertempuran menunjukan hal tersebut. Betapa agung sang ibu yang telah siap dan mempersiapkan segalanya.
Juga kisah Handlalah dan sang istri yang baru saja menikah. Begitu mendengar seruan jihad, segera ia menyahut dan meninggalkan kesenangan dunia yang semu dan fana.
Zaid bin Haritsah dan istrinya, Ummu Aiman sejak awal, telah mendidik anaknya dengan tarbiyah jihadiyah yang mantap. Begitu pula dengan sahabat yang lain. Mereka semua merupakan contoh sepanjang zaman bagi keluarga yang tegak di atas pilar-pilar iman dan jihad di jalan Allah Ta’ala.
Kedua, mereka radliyallahuanhum menjadikan akhirat sebagai standar. Dunia dan akhirat ibarat dua lantai timbangan yang tidak pernah diam sejajar. Bila dunia dipuji dan diagungkan maka akhirat menjadi rendah dan turun nilainya. Sebaliknya, bila akhirat menjadi standar, maka dunia akan dipandang hina dan tidak menjadi ukuran kehidupan.
Firman Allah Ta’ala:
Dan tidaklah kehidupan dunia itu melainkan permainan dan sendau gurau saja, dan tempat akhirat itulah yang terbaik bagi orang-orang yang bertaqwa. Apakah kalian tidak berakal? – QS. Al-An'am:32
Yang ada di benak Amr, Handlalah, Usamah hanyalah surga yang dijanjikan Allah Ta’ala. Ia tidak ingin menunda pertemuannya dengan-Nya. Baginya surga Allah adalah segalanya.
Ketiga,jalan satu-satunya untuk mendapatkan ‘izzah hanyalah dengan jihad. Ustadz Abdurrabbirrasul Sayyaf pernah berkata, “Laa ‘izzata illa biljihad” (Tidak ada ‘izzah melainkan harus dengan jihad)
Para sahabat Rasulullah SAW sadar kaum kuffar haruslah dihadapi dengan jihad fii sabilillah. Sebab apapun macam agama dan sekte yang mereka anut, mereka adalah satu dalam sikap dan tujuan ketika menghadapi umat islam.
Palestina bisa menjadi contoh terdekat, setiap perundingan damai tidak ada hasil yang didapat selain memberi kesempatan kepada Israel untuk menancapkan cakarnya lebih dalam di tanah waqaf itu. Setiap resolusi PBB, hanyalah merupakan legalisasi bagi eksistensi Yahudi di Palestina. Oleh sebab itu jalan yang harus ditempuh untuk membebaskan bumi tercinta ini adalah jihad dengan kekuatan. Jalan yang mulai dititi oleh HAMAS dengan Intifadlohnya.
Sekarang masalahnya adalah menumbuhkan ruh jihad dan berkorban dalam diri umat. Dalam diri kita dan dalam jiwa anak-anak kita. Sehingga tiba saatnya ketika kita bangkit menjawab panggilan Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam bish shawwab.
Disadur dari majalah Sabili Edisi No. 04/Th. V 6-19 Oktober 1992.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!