Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, baru-baru ini menekankan pentingnya memberikan solusi yang tepat saat melarang anak bermain gadget. Menurut dia, menyatakan larangan tanpa memberi alternatif hanya mendorong anak menggunakan gadget secara sembunyi-sembunyi. Pernyataan tersebut disampaikan Arifah dalam Dialog Nasional Penguatan Layanan PPPA, di Jakarta, Kamis, 14 November 2024.
Pernyataan itu tentunya juga disebabkan kekhawatiran akan adanya penurunan kognitif pada anak atau yang populer disebut brain rot. Selain – tak kalah seramnya – pemberitaan tentang cyber crime yang sering kali korbannya adalah anak. Kamus Oxford mengumumkan brain rot sebagai Word of The Year 2024. Penentuan itu didasarkan pada suara publik yang melibatkan lebih dari 37.000 orang. Lantas, apa itu brain rot dan mengapa ia menjadi populer?
Brain rot atau brainrot (pembusukan otak) adalah istilah gaul yang digunakan untuk mendeskripsikan konten internet dengan kualitas atau nilai yang rendah dan berdampak negatif, baik secara psikologis, kognitif, dan lain sebagainya. Sebagai pendeskripsi psikologis, brain rot menggambarkan perihal penggunaan teknologi secara berlebihan, semisal menghabiskan banyak waktu di dunia maya, yang dapat mengakibatkan letargi, pikiran berkabut, kemerosotan fungsi kognitif, dan berkurangnya rentang perhatian pada seseorang.
Istilah ini telah digunakan secara daring pada tahun 2004, meski mulai populer pada tahun 2023 dan telah menjadi sebuah meme internet. Istilah brain rot sering kali digunakan untuk mendeskripsikan budaya internet Generasi Alfa oleh orang dewasa yang menganggap bahwa anak-anak telah kecanduan terhadap teknologi yang merusak kemampuan mereka untuk berinteraksi di dunia nyata. Hal ini mulai massif saat dimulainya pekerjaan rumah daring yang diberikan sekolah saat pandemi mulai tahun 2019. Pada akhirnya, anak-anak terbiasa untuk menggunakan gadget dalam keseharian. Bahkan, seperti ada normalisasi dalam prilaku serupa itu.
Tentu saja tidak semua konten dikategorikan konten yang menyebabkan brain rot. Tetapi konten-konten receh yang sangat kurang bermutu dan menyebabkan kecanduan. Pembusukan yang dimaksud bukan pembusukan otak dalam arti sebenarnya, tetapi sampah konten yang dimasukkan terus ke dalam otak akan membusuk menjadi perilaku yang buruk, baik itu perilaku sosial maupun gangguan kesehatan secara fisik.
Oleh karenanya, hal ini seharusnya tidak hanya menjadi kegelisahan semata. Tetapi harus ada solusi nyata. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri PPPA, Arifah Fauzi, pihaknya mengusulkan adanya pembentukan “Ruang Bersama Merah Putih”.
Ruang Bersama Merah Putih merupakan wadah atau tempat belajar di desa-desa dengan inisiatif lokalnya, semisal menggiatkan permainan tradisional, seni, dan budaya, hingga pemberdayaan perempuan. Akan ada juga bantuan buku dan penayangan film-film tentang pahlawan nasional. Untuk para ibu, akan ada pelatihan-pelatihan keterampilan, juga bantuan usaha.
Penulis tentu saja sangat mengapresiasi itikad dan program baik ini. Tetapi dengan kondisi perekonomian kita yang sedang merosot drastis dan APBN yang kurang sehat dengan menumpuknya hutang dan laku korupsi yang menjamur, penulis belum yakin ide brilian ini akan segera terlaksana, karena tentu akan membutuhkan budget yang lumayan besar jika ruang bersama ini akan didirikan di setiap desa. Maka, ada beberapa rekomendasi yang ingin penulis usulkan agar program “Ruang Bersama Merah Putih” ini dapat terlaksana dengan lebih mudah.
Pertama, program Ruang Bersama Merah Putih (RBMP) yang merupakan ide dari Kementerian PPPA ini bisa berkolaborasi dengan kementerian lain yang masih berkaitan dengan ide ini, misalnya Kementerian Pendidikan, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Komdigi. Masing-masing dapat dibagi gugus tugas sesuai keterkaitan tugas kementerian.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dapat melakukan penyuluhan di sekolah agar orang tua bisa menyemangati anak-anaknya untuk menyemarakkan Ruang Bersama Merah Putih (RBMP) di desanya masing-masing. Sementara Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bisa membantu untuk mengerahkan mahasiswa agar menjadi relawan magang di RBMP dan berbagi ilmu, misalnya dengan menjadi pendongeng, pengajar literasi, dan lain-lain. Kementerian Koperasi dan UMK bisa membantu untuk menberikan pelatihan keterampilan kepada Ibu-ibu serta memberikan bantuan modal usaha. Sementara Kementerian Komdigi bisa memberikan pelatihan literasi digital kepada orang tua yang sering menjadi korban judol (judi online) dan pinjol (pinjaman online), juga berita hoaks. Semua akan mudah jika ada gugus tugasnya.
Kedua, untuk sarana berbasis kearifan lokal sebaiknya dibangun dengan wasilah swadaya masyarakat. Misalnya membuat mainan tradisional, membangun fasum untuk kegiatan bersama, hingga menyediakan cemilan-cemilan sehat ala kadarnya untuk anak-anak dan para fasilitator. Saya yakin bahwa dengan adanya kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat ini, akan dapat membangun narasi dan kesadaran bersama untuk memajukan negeri juga menjalankan kerja-kerja yang lebih mudah dan ringan.
Jika ini dijalankan, maka masyarakat akan menjadi keluarga baru bagi tumbuhnya anak-anak kita. Menjadi extended family dalam lingkup lingkungan yang saling menjaga, merawat, dan menumbuhkan generasi masa depan yang berkualitas.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!