"Sudah tiba saatnya bagi rakyat Iran untuk bersatu di sekitar bendera dan warisan sejarahnya, dengan memerjuangkan kebebasan Anda dari rezim jahat dan penindas.”
Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, menyampaikan seruan itu yang ditujukan untuk warga Iran setelah Tel Aviv dan Teheran terlibat aksi saling serang. Netanyahu menyerukan warga Iran untuk bersatu melawan apa yang dia gambarkan sebagai "rezim jahat dan penindas". Bagaimana reaksi rakyat Iran atas seruan itu?
Seruan itu senyatanya hanya jadi bahan tertawaan rakyat Iran. Mereka kini justru bersatu padu melawan Israel. Sebelumnya, pernyataan itu disampaikan sang PM Israel setelah militernya menggempur lebih dari 200 titik yang ia sebut target nuklir dan militer di berbagai wilayah Iran pada Jumat (13/6/2025) pagi. Teheran membalas dengan rentetan serangan rudal pada Jumat (13/6/2025) malam dan Sabtu (14/6/2025) pagi yang menargetkan wilayah Israel.
Netanyahu bahkan bersumpah bahwa "Masih ada banyak lagi serangan yang akan dilakukan", setelah sebelumnya menegaskan serangan Israel terhadap Iran akan "Berlanjut selama mungkin yang diperlukan".
Tetapi, koar-koar tersebut tak membuat pemerintah maupun warga Iran ciut nyali. Perlawanan terus dilakukan. Bahkan, dunia bertepuk tangan ketika Iran berhasil mendaratkan rudalnya ke wilayah Israel. Iran dinilai sebagai satu-satunya entitas yang bisa membungkam Israel.
Seruan Netanyahu berkebalikan dengan kenyataan. Fakta yang ada, rakyat Iran bersemangat teriakan slogan-slogan perlawanan terhadap Israel. Seperti digambarkan oleh Tasnim, kantor berita semi-resmi Iran yang terafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Jumat (20/6/2025), yang menyebutkan rakyat Iran ramai-ramai meneriakkan slogan-slogan mengecam serangan Israel. Ini membuktikan fakta bahwa rakyat Iran tidak akan pernah menyerah atau tunduk kepada ancaman militer dari mana pun.

”Saya rela mengorbankan hidup saya demi pemimpin saya,” tulis spanduk warga yang merujuk kepada Khamenei.
Saat warga meneriakkan ”Matilah Israel” dan ”Matilah Amerika”, pesannya jelas: Rakyat Iran akan tetap bersatu dalam perlawanan, teguh mendukung IRGC, dan menuntut keadilan. Hal itu tergambar dari ucapan salah satu warga. ”Saya akan berjuang bersama Iran melawan musuh zionis Israel,” kata Adnan Zaytoun (60) kepada Tehran Times (Seperti dikutip Kompas, 21/6/2025).
Di tengah kecamuk perang, godaan memanfaatkan keadaan tentu terbuka lebar. Godaan untuk mengambil manfaat dari seruan Netanyahu itu. Alias memilih menjadi pengkhianat. Godaan ini tentu saja tak hanya berlaku bagi elite-elite pemerintah juga oposisi, tetapi juga bagi rakyat Iran itu sendiri. Mereka bakal terus digoda oleh kekuatan-kekuatan asing (intelijen) untuk berani menyuarakan penentangan kepada pemerintah yang sah sekarang ini. Mereka bakal terus digoda. Hasil akhirnya, Iran dengan pemerintahan baru, boneka AS akan kembali menjadi “Sahabat” (Bestie). Iran dan Israel kembali bermesraan seperti yang dulu pernah terjadi. Tetapi akankah skenario ini bakal berhasil? Sulit.
Di dalam konteks ini, kita perlu memahami bahwa agresi Israel yang didukung Amerika Serikat, sejatinya berniat mengembalikan Iran ke masa monarki. Hal ini senada dengan pidato PM Israel Benjamin Netanyahu yang mengklaim Operation Rising Lion ini untuk menyatukan rakyat Iran dengan bendera dan sejarahnya. Berdiri untuk kebebasan dari rezim yang mengekang, begitu kata Netanyahu.
Hanya saja, untuk saat ini, sepertinya usaha demikian tak mendapatkan dukungan dari mayoritas warga Iran. Kini, faktanya, rakyat Iran bersatu padu melawan Israel. Memang, seruan untuk menggulingkan pemerintahan Republik Islam Iran kembali menguat. Kelompok-kelompok oposisi, baik yang berada di dalam maupun luar negeri, mendorong masyarakat untuk turun ke jalan. Namun, di tengah ketegangan regional dan serangan Israel ke wilayah Iran, para aktivis dalam negeri justru menyuarakan kehati-hatian.
Putra mendiang Shah Iran, Reza Pahlavi, yang kini bermukim di Amerika Serikat (AS), menyebut bahwa momen transisi politik telah tiba. Di dalam wawancara media, ia menyatakan siap memimpin perubahan politik di Iran. Namun, panggilan untuk menggelar demonstrasi besar-besaran belum sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat sipil di dalam negeri.

Selain Reza Pahlavi, faksi oposisi lain yang cukup berpengaruh adalah Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (MEK/MKO). Kelompok ini pernah menjadi kekuatan revolusioner pada era 1970-an, namun gagal merebut kekuasaan setelah penggulingan Shah Iran. MEK masih menyisakan kontroversi. Kelompok ini dituduh berpihak kepada Irak saat berlangsung Perang Iran-Irak (1980–1988) dan dituding melakukan pelanggaran HAM serta menjalankan praktik mirip sekte di kamp-kamp mereka.
Tuduhan tersebut telah dibantah oleh pihak MEK. Di dalam sebuah forum oposisi di Paris, pemimpin Dewan Perlawanan Nasional Iran, Maryam Rajavi, menegaskan penolakannya terhadap kembalinya sistem monarki. Meski demikian, belum jelas seberapa besar dukungan masyarakat Iran terhadap kelompok-kelompok oposisi luar negeri tersebut. Banyak warga Iran yang terlalu muda untuk mengingat masa sebelum revolusi 1979, meski pun nostalgia terhadap era tersebut masih ada.
Satu hal yang pasti, saat ini, mayoritas rakyat Iran beserta pemerintah sah kompak bersatu melawan Israel, baik lewat senjata maupun lewat “pena” dan media.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!