Indonesia tahun 1980-an bisa dibilang merupakan periode unik dalam sejarah pergerakan Islam. Di satu sisi, cengkeraman rezim otoriter Orde Baru yang mengidap islamophobia akut sehingga nyaris menutup rapat semua celah untuk mengekspresikan Islam. Dihambatnya usaha pendirian Bank Islam, pelarangan jilbab di sekolah atau kampus negeri, terjadinya tragedi Tanjung Priok 12 September 1984, dan hadirnya UU Keormasan yang mewajibkan asas tunggal Pancasila membuat pengap umat Islam. Nyaris tidak ada celah sedikit pun saat itu untuk mengekspresikan nilai dan simbol Islam.
Di sisi lain, kaum Nasrani dan sekuler liberal yang anti Islam nyaris menguasai seluruh sisi kekuasaan waktu itu, utamanya di bidang Polkam dan Ekuin. Dua perwira tinggi non muslim, Leonardus Benny Moerdani dan Soedomo, masing-masing menjabat Panglima ABRI dan Pangkopkamtib. Benny lalu menjadi Menhankam di tahun 1988-1993, sementara Soedomo menjabat Menko Polkam (di masa tuanya Soedomo menjadi muallaf).
Di bidang Ekuin, selain ada Frans Seda, bercokol trio ekonom Kristen yaitu Radius Prawiro, Adrianus Mooy dan JB Sumarlin (RMS), masing-masing menjabat Menko Ekuin, Gubernur Bank Sentral, dan Menteri Keuangan. Tentu jangan diabaikan dominannya kelompok Mafia Berkeley semisal Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, dan lain-lain, dalam mengatur perekonomian negara. Sebelumnya, tahun 1978, Mendikbud Daoed Joesoef, pentolan kaum sekuler lulusan Universitas Sorbonne Perancis, memberlakukan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Tujuannya untuk membonsai organisasi intra kampus maupun ekstra kampus semisal HMI.
Di tengah suasana pengap itu, justu muncul gerakan revivalisme Islam yang dimotori anak-anak muda. Sejak awal tahun 1984, mereka yang umumnya para mahasiswa itu membentuk halaqoh-halaqoh tanpa struktur organisasi yang jelas, namun rajin menggelar kajian keislaman di kampus-kampus dan rumah-rumah secara teratur dan terarah. Berupa OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), mereka bergerak secara mandiri namun punya visi dan nilai yang sama. Salah satunya halaqoh pimpinan M. Zainal Muttaqin. Anggotanya mahasiswa UI dan mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta yang studi di beberapa kampus berbeda, antara lain Arifinto (IKIP Jakarta/UNJ), Ahmad Very Firman (FT UMJ), Refrizal (IAIN Syahid).
Zainal Muttaqin yang pernah menjadi wartawan majalah Kiblat dan membiayai kuliahnya dari honor menulis artikel di berbagai media nasional semisal Merdeka, Sinar Harapan, Pelita, Terbit, dan lain-lain, lalu mengajak Arifinto dan Very untuk menerbitkan buletin/majalah. Di awal tahun ‘80-an, ketiganya memang pernah bersama-sama menggarap buletin El Fajar milik PW PII Jakarta.
Gagasan itu disampaikan ke murobbi mereka, Ust. Hilmi Aminuddin dan Ust. Rahmat Abdullah. Gagasan disetujui. Di rapat pertama di bulan November 1985 di rumah Ust. Rahmat Abdullah di kawasan Pedurenan, Jaksel, disepakati untuk menerbitkan Sabili. Nama Sabili datang dari Ust. Rahmat Abdullah yang mengutip Qur’an Surat Yusuf:108. Ia juga yang membuatkan logo.
Di bawah bendera Kelompok Telaah dan Amaliah Islami (KTAI) sebagai penerbit, Sabili lahir sebagai format baru syiar dan dakwah Islam. KTAI bukan badan hukum. Ia sekadar nama wadah yang menaungi penerbitan Sabili. Di dalam rapat tersebut, M. Zainal Muttaqin mengusulkan Sabili dibuat dalam format majalah kecil agar biaya cetaknya tidak terlalu besar. Biaya cetaknya berasal dari urunan infaq.
Hadirnya Sabili bukan saja membuat spektrum dakwah jadi lebih luas, tetapi ia sekaligus juga menjadi alat perjuangan para aktivis muda Islam. Ia mengisi kekosongan media yang dapat mendidik umat dengan gagasan, ide, dan pemikiran yang benar dan lurus. Apalagi, Sabili lahir di tengah suasana politik represif Orde Baru. Saat kebebasan pers boleh dibilang hampa lantaran media harus sejalan dengan keinginan penguasa yang didukung militer. Ketika itu tak boleh ada kritik terbuka terhadap pemerintah. Di sisi lain, surat kabar maupun majalah tak boleh terbit tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) untuk pers umum maupun Surat Tanda Terdaftar (STT) untuk penerbitan terbatas. Namun, mendapatkan STT apalagi SIUPP bukan perkara mudah. Bahkan bisa dibilang teramat sulit. Lebih parah lagi, STT atau SIUPP pun bisa setiap saat dicabut jika dianggap media tersebut bertentangan dengan kehendak penguasa. Ada beberapa media cetak yang dibereidel sepanjang tahun ’80-an itu. Misalnya Jurnal Ekuin (1983), Sinar Harapan (1986), dan Prioritas (1987).
Edisi perdana Sabili terbit setelah hampir tiga bulan tertunda. Sampulnya berwarna dasar ungu kebiru-biruan seperti buku tulis anak SD tahun ‘70-an dengan gambar ilustrasi lafadz Allah dengan khat kufi Maghribi. Di periode awal itu, Sabili dikelola oleh lima orang, yaitu KH. Rahmat Abdullah (Abu Fida) selaku pemimpin redaksi/pemimpin umum dan penanggungjawab, M. Zainal Muttaqin (Muhamad Ishaq atau Abu Rodli), Erlangga Masdiana (Insan Amir) dan Adi Susilo (Ahmad Suhada) sebagai dewan redaksi, Arifinto (Arifin Toat) sebagai administrasi/distribusi, serta Ahmad Fery Firman (Atwal Arifin) bagian setting dan layout. Modal awal dari penerbitan Sabili bersumber dari hasil patungan pengelola. Rencananya, Sabili terbit dua kali sebulan. Namun, kesibukan masing-masing pengelola – utamanya Ust. Rahmat – yang luar biasa padat, kekurangan dana dan SDM yang tidak fokus, membuat Sabili edisi kedua tak kunjung muncul. Sabili edisi perdana itu pun sekaligus menjadi edisi terakhir di fase pertama.
Sabili Fase Lahir Kembali (1988-1991)
Setelah vakum dua tahun lebih, pada Oktober 1988/Rabiul Awwal 1409 H, Sabili terbit lagi. Kini kendali dipegang oleh Zainal Muttaqin selaku Pemimpin Redaksi/Penanggung jawab, tetap dengan nama samaran Muhammad Ishaq. Di jajaran redaksi ada Nurul Azizah, Ibnu Hasyim, dan Mis Fassah. Sedang layout dan desain digawangi Abdurrahman Tamin. Dan distribusi ditangani oleh Bagus Djatmiko.
Berawal dari tiras 2.000 eksemplar, Sabili yang dibandrol infaq Rp 500 terus rutin menyapa pembaca. Rencananya terbit dua kali sebulan setiap tanggal 5 dan 20 bulan Hijriyah. Namun, praktiknya hanya bisa terbit sebulan sekali, kadang dua bulan tiga kali. Namun begitu, tiras Sabili terus merambat naik.
Pada tahun pertama fase kedua ini, Sabili berhasil terbit 15 edisi dengan tiras rata-rata 8.000 exp/edisi. Alamat redaksi di Jl. Pisangan Lama II/I Jaktim (rumah keluarga besar Abdurrahman Tamin). Tentu saja itu bukan kantor beneran, karena memang tidak ada meja atau kursi kerja. Yang ada hanya ruang depan ala Betawi ukuran 4 X 7 m, dengan satu meja tulis butut yang tengahnya diganti dengan kaca dan di bawahnya diberi lampu untuk layout. Rumah itu berfungsi untuk proses menjilid Sabili secara manual. Sedangkan redaksi bekerja di rumah masing-masing.
Sama seperti di fase awal, modal awal Sabili fase kedua juga berasal dari urunan infaq pengelola plus bantuan dari Ust. Hilmi. Totalnya sekitar 1 juta Rupiah. Pada masa itu, penerbitan Sabili dilakukan secara manual karena belum memiliki alat-alat percetakan yang lengkap. Sabili diketik dengan mesin ketik lalu dibawa ke tempat setting Macintosh. Setelah itu, di-layout secara manual lalu dibawa ke percetakan dengan bekal kertas sendiri. Proses menjilid dilakukan di kediaman Abdurrahman Tamin oleh seluruh kru – termasuk Pemred – dengan pembagian tugas masing-masing. Ada yang memilah halaman, mengkomplet (menggabungkan halaman isi dengan cover), dan menjilid. Semuanya secara manual. Untuk 2.000 eksemplar, perlu waktu satu sampai dua malam. Ketika tiras semakin meningkat, waktu yang diperlukan juga kian bertambah jadi dua-tiga malam. Akhirnya, ketika tiras mencapai 4.000 eksemplar dan seterusnya, proses percetakan dan penjilidan diserahkan kepada ikhwan yang punya usaha percetakan.
Di dalam perkembangannya, Sabili banyak diminati kelompok-kelompok pengajian aktivis muda Islam di Indonesia. Sabili dianggap mampu memberikan pemahaman dakwah yang utuh kepada masyarakat melalui konten yang bertema seputar aqidah, tsaqofah Islamiyah, sejarah nabi, dan info dunia Islam.
Meski pengelolaan Sabili sudah lebih baik dan tiras terus meningkat, honor para redaktur dan distribusi belum lancar dan teratur. Pemberian honor terpaksa digilir tergantung ketersediaan dana dan siapa yang paling membutuhkan di saat itu. Tak heran jika pengelola Sabili dari tahun 1988 hingga tahun 1991 selalu berganti-ganti, kecuali M. Zainal Muttaqin sebagai Pemred, Abdurrahman Tamin dan Bagus Djatmiko. Ketiganya kompak mengawal penerbitan Sabili, meskipun tidak ada pendapatan yang jelas.
Fase Profesionalisme dan Modernisasi
Setelah dua tahun dan terbit hanya sekitar 31 edisi, awal tahun 1991 M. Zainal Muttaqin melakukan pembenahan untuk memperbaiki kinerja Sabili. Ia berusaha meyakinkan kerabat kerja Sabili untuk bekerja lebih serius dan fokus, sehingga bisa jadi lembaga profesional. Bermodal pinjaman 10 juta Rupiah dari Bu Silvi, seorang pengusaha yang juga binaan Al Muzammil (salah seorang redaksi Sabili), pembenahan dilakukan. Dengan dana tersebut, Sabili berusaha dikelola secara profesional. Sabili membeli mobil Kijang Jantan secara kredit untuk operasional dengan DP 2,5 juta Rupiah. Mobil waktu itu menjadi amat penting, terutama untuk distribusi. Sebelumnya, setiap mau beredar, pengelola harus mencari siapa teman yang mobilnya bisa dipinjam. Akibatnya, distribusi kerap molor dan terlambat. Sisa 7,5 juta Rupiah digunakan untuk membeli peralatan dan biaya operasional.
Kerja keras itu membuahkan hasil. Sabili mulai terbit secara teratur dan mendapat sambutan hangat pembaca, dibuktikan dengan larisnya Sabili di pasaran. Tiras melejit menembus oplah 25.000 Eksemplar per edisi. Bandrol Infaq juga naik menjadi Rp 700 per eksemplar tahun 1989, Rp 800/Exp tahun 1990, Rp 1.000/exp tahun 1991, dan pada Agustus 1992 menjadi Rp 1.500/exp. Kenaikan harga tak menyurutkan jumlah penggemar. Bahkan terus bertambah. Boleh jadi, ini lantaran isi yang lebih variatif, halaman lebih tebal, desain lebih cantik, dan jadwal terbit yang teratur.
Hasilnya, Sabili bisa punya kantor tetap, meski dengan cara mengontrak. Dan bisa membayar honor pengelola serta penulis secara teratur. Sebagai Pemred, Zainal Muttaqin mendapat honor Rp 600.000 per bulan. Dengan honor itu, ia bisa mengontrak rumah kecil dengan dua kamar tidur di kawasan Pasar Minggu seharga Rp 350.000/tahun. Begitu juga dengan kru lainnya yang mendapat honor antara Rp 400.000 – Rp 550.000 per bulan, tergantung posisi dan kinerjanya.
Namun, sistem distribusi Sabili tidak dapat dilakukan secara terbuka. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan janji pertemuan di suatu tempat, lalu dibagikan. Ini dilakukan karena Sabili waktu itu adalah pers yang ilegal (tidak memiliki SIUUP) yang rawan bahaya. Pengelola Sabili sengaja tidak meminta SIUPP/STT sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang otoriter. Karenanya, kantor Sabili berpindah-pindah setiap tahunnya. Pertama, tahun 1988 di rumah Abdurrahman Tamin. Kedua, tahun 1990 pindah ke Pengadegan Selatan. Ketiga, tahun 1991 Sabili berkantor di Gading Raya. Terakhir, tahun 1992 Sabili bermarkas di Jl Maskoki Raya, Rawamangun. Masyarakat sekitar tidak tahu rumah kontrakan itu adalah kantor Sabili. Mereka hanya tahu, rumah kontrakan itu tempat tinggal anak-anak muda yang bekerja di percetakan dan berjualan buku.
Sabili berkembang seiring dengan berkembangnya gerakan revivalisme Islam kaum muda yang kerap disebut kelompok tarbiyah. Mereka yang bermula di kampus-kampus itu kemudian menyebar ke berbagai lini. Dari para intelektual, eksekutif muda, usahawan, pekerja kantoran, buruh pabrik, hingga pelajar. Konten Sabili juga menyesuaikan dengan situasi global dunia Islam. Saat itu, yang menjadi hot issue adalah Jihad Afghanistan dan Palestina. Tahun 1992 Perang Bosnia menjadi hot issue.
Sabili unggul salah satunya karena liputan langsung wartawannya di Afganistan dan Bosnia. Terbitlah Sabili edisi Desember 1990 dengan judul Cover “Mujahidiin Zendabat” yang menampilkan foto Hikmatyar dan para tokoh pejuang Afghanistan. Juga edisi Mei 1991 dengan cover foto besar Syeikh Sayyaf, Perdana Menteri Pemerintahan Mujahidin dan barisan Mujahidin berjudul “Afghanistan dalam Sorotan”.
Saat Perang Bosnia berlangsung, Sabili mengirim wartawannya, Irwan Rinaldi (alumnus Sastra Rusia UI) ke sana. Selain dana liputan sebisanya, Irwan dibekali kamera Nikon F7 baru yang dibeli seharga 7 juta Rupiah. Hasilnya, beberapa periode Sabili menjadikan Bosnia sebagai tema utama. Misalnya Sabili Oktober 1992 berjudul “Darah dan Air Mata di Bosnia” dan “Bosnia Afganistan Kedua”.
Berbanding lurus dengan perkembangan isi, oplah Sabili pun mengalami peningkatan. Tahun 1992, oplah Sabili mengalami kenaikan drastis. Oplah paling tinggi diperoleh Sabili tahun 1992 yaitu sebesar Rp 70.000 sekali terbit. Capaian ini menjadikan Sabili bisa dibilang media cetak Islam terbesar saat itu.
Di tengah posisi sedang menanjak, musibah itu tiba. Akhir Januari 1993, ketika Sabili No 11/Februari 1993 dalam proses cetak, Pemimpin Redaksi Muhammad Ishaq (Zainal Muttaqin) mendapat panggilan dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk dimintai keterangan terkait isi Sabili edisi sebelumnya. Ketika itu, di rubrik surat pembaca edisi 10, dimuat surat berisi pengalaman seorang muslimah berjilbab yang diperlakukan tak senonoh oleh sepasang pria dan wanita non muslim. Muslimah itu mengaku digiring pasangan tersebut ke tempat sepi di belakang Golf Rawamangun, dekat IKIP Jakarta. Di sana ia dipaksa dengan ancaman senjata tajam untuk mencopot jilbab dan perhiasannya serta mengucapkan kata-kata kekafiran. Namun, dengan izin Allah, muslimah itu berhasil meloloskan diri. Pemerintah menilai isi surat pembaca itu rasis. Apalagi situasinya menjelang SU MPR yang bakal digelar awal Maret 1993.
Panggilan itu sejatinya menindaklanjuti hasil rapat petinggi Polkam yang dipimpin Menko Polkam Soedomo. Sabili mendapat bocoran notulen rapat Soedomo saat itu dari seorang kawan simpatisan Sabili. Salah satu isinya, Sabili harus diselesaikan karena dianggap mengganggu stabilitas politik.
Sebagai bentuk tanggung jawab, Zainal semula ingin memenuhi panggilan tersebut. Namun, sejumlah kawan yang bekerja di Kejaksaan maupun keamanan menyarankan agar ia tidak memenuhi panggilan tersebut karena pasti akan ditangkap. Apalagi, sebelumnya sejumlah tokoh dan ustadz langsung dikerangkeng usai datang memenuhi panggilan seperti itu. Soal alasan, bisa dicari. Ketika itu bukan hukum yang jadi panglima, tetapi politik dan kekuasaan. Apalagi diduga penangkapan tidak akan berhenti pada sosok Muhammad Ishaq, tetapi juga seluruh awak Sabili. Bahkan juga agen dan pengecer yang jumlahnya ratusan di seluruh Indonesia.
Jika itu terjadi, banyak orang tak berdosa akan menjadi korban. Padahal mereka hanya mencari nafkah lewat jualan Sabili. Setelah bermusyawarah dan mempertimbangkan banyak hal, diputuskan untuk mengabaikan panggilan Kejaksaan tersebut dan menghentikan sementara waktu penerbitan Sabili.
Pemberhentian Sabili menimbulkan kerugian amat besar, terutama pada karyawan dan distributor Sabili. Kerabat kerja Sabili merasa terpukul dengan keputusan tersebut. Beberapa kerugian yang ditimbulkan di antaranya adalah: Pertama, ratusan orang yang sebagian besar di antaranya adalah kepala keluarga yang memiliki istri dan anak, harus kehilangan pekerjaan. Di antara mereka adalah 20 orang kerabat kerja Sabili dan ratusan agen/pengecer yang mengandalkan Sabili untuk menafkahi keluarga. Kedua, penghentian Sabili membunuh peluang tumbuhnya media massa Islam yang kuat dan bisa dibaca masyarakat secara luas demi menambah khazanah pengetahuan keislaman. Ketiga, secara bisnis, posisi Sabili memiliki potensi untuk berkembang besar dan mampu mengurangi pengangguran.
Era Reformasi
Setelah vakum lima tahun, pada akhir Juni 1998 Sabili terbit lagi. Sekitar sebulan setelah runtuhnya rezim Orba Soeharto. M. Zainal Muttaqin kembali memimpin sebagai Pemimpin Redaksi. Di edisi pertama dan kedua, Sabili masih menggunakan KTAI sebagai penerbit karena badan hukum dan SIUPP sedang diproses. Sambutan pembaca luar biasa. Edisi pertama dan kedua yang dicetak masing-masing 7.500 dan 15.000 eksemplar laris kayak kacang goreng. Maklum, saat terpaksa berhenti lima tahun sebelumnya, Sabili sedang ada di puncak kejayaan.
Sementara itu, penguruan SIUPP berjalan lancar. Di era BJ Habibie dengan Letjen Yunus Yosfiah sebagai Menteri Penerangan, kebebasan pers memang dibuka lebar. Kurang dari dua bulan, SIUPP keluar. Agustus 1998, edisi ketiga Sabili terbit dengan tiras 25.000 eksemplar di bawah bendera PT Bina Media Sabili. Lagi-lagi laris manis. Sampai akhir 1998, tiras Sabili meningkat hingga menjadi 50.000 eksemplar.
Sukses penjualan itu belum melibatkan agen-agen besar koran dan majalah. Berduet dengan Sasongko Jati, mantan agen Sabili di masa lalu yang lalu direkrut di bagian pemasaran, M. Zainal Muttaqin berkeliling mengajak mantan distributor Sabili untuk menjadi mitra. Sebagian tidak bersedia, sebagian lagi menyambut dengan tangan terbuka. Di antara mereka adalah Zaki Hasan, Shobron, dan Rusdi di Jakarta; Edy W di Bandung; Parjo di Tegal; Novian di Padang; dan banyak lagi di kota-kota besar di Indonesia. Seperti dulu, mereka menyebarkan melalui jaringan aktivis masjid, baik di kampus, perkantoran, dan perumahan. Paling kentara saat sebelum dan sesudah shalat Jumat, para pengecer bertebaran menawarkan Sabili.
Langkah itu diambil lantaran agen-agen besar koran dan majalah di Lapangan Banteng dan Pasar Senen menolak jadi agen. Boleh jadi lantaran Sabili belum jadi media besar. Baru setelah tiras Sabili mencapai 50.000 eksemplar lebih dan banyak yang mencarinya di lapak-lapak koran karena tak mendapatkannya di masjid, agen-agen besar itu datang ke Sabili menyatakan ingin jadi agen. Rupanya mereka didesak oleh para pengecer di lapak-lapak itu yang ingin juga kecipratan rezeki Sabili. Benar saja, lapak-lapak itu rata-rata bisa menjual Sabili 100 eksemplar per edisi, padahal kebanyakan mereka non muslim.
Meski pun berbadan hukum PT, namun kantor dan peralatan Sabili masih jadul. Ketika masyarakat sudah memakai komputer Pentium, redaksi Sabili menggunakan komputer second 386 XT. Yang agak lumayan adalah komputer desain. Kantor pun masih terbatas, karena menumpang di ruangan kantor salah seorang pemilik saham. Namun, keterbatasan tidak mengurangi gairah kerja. Awak redaksi maupun bagian pemasaran di lapangan yang umumnya aktivis dakwah terus bekerja secara optimal.
Di era Reformasi, konten Sabili pun mulai disesuaikan dengan perkembangan mutakhir. Khususnya dinamika sosial politik lokal. Sabili dengan lantang memuat kasus Ambon, Poso, pemurtadan umat Islam, kasus Pembakaran Kantor Yayasan Doulos, dan lain-lain. Sabili berusaha mengungkap berita apa adanya, sesuai konteks. Namun misi utama Sabili masih tetap sama baik masa Orde Baru maupun masa Reformasi, yaitu menyampaikan dakwah Islam secara utuh agar umat mendapat pemahaman yang benar dan utuh terhadap Islam. Resep ini ternyata manjur. Tiras Sabili terus melejit hingga mencapai 110.000 exp per edisi di tahun 2000. Di tahun 2000 itu, lembaga riset media AC Nielsen menobatkan Sabili sebagai majalah berita politik dengan pembaca terbanyak. Dari puluhan majalah nasional, Sabili berada di urutan ketiga. Dua di atasnya adalah Aneka dan Femina, majalah hiburan gaya hidup.
Namun, masa kejayaan itu tak lama. Setelah keluarnya M. Zainal Muttaqin dari Sabili pada Maret 2001, Sabili seperti mulai kehilangan magnet. Oplah terus menurun, awalnya perlahan hingga anjlok deras, seiring berkali-kali terjadi pergantian Pemred. Akhirnya, tahun 2013 Sabili di bawah naungan PT Bina Media Sabili pun resmi tutup buku, dengan tiras terakhir tak sampai 10.000 eksemplar.
Kini, di era digital Sabili muncul lagi. Berbentuk media online dengan alamat Sabili.id. Tetap dipimpin sang pendiri, M. Zainal Muttaqin. Namun Zainal yang berasal dari generasi jadul kini didukung sejumah anak muda cerdas, melek digital, dan punya komitmen dakwah tinggi. Sabili.id bernaung di bawah Yayasan Sabili Media Kita. Misinya tetap sama, “Menyebarkan fikrah Islam yang utuh dan lurus dalam bingkai ukhuwah Islamiyah untuk meraih ridla Allah”.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!