Sadaqa Talks Forum: Palestina Alami Tujuh Masalah Kemanusiaan yang Tak Ada Duanya di Dunia
Tiga pembicara sebagai narasumber dalam Sadaqa Talks Forum yang dipandu moderator Afwan Riyadi tersebut. Pembicara pertama adalah Ahmad Rofiqi, Lc, MPd.I (Direktur Sadaqa) yang membawakan tema “Memecah Kemustahilan: Badai Perlawanan Yang Menggetarkan Dunia”. Pembicara kedua, Dr. Abdul Muta'ali Lc, MA, MIP, PhD (Pakar Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia) yang membawakan materi bertema “Operasi Badai Al Aqsha dalam Perimbangan Israel dan Sekutunya”. Dan ketiga, Dr. Belal Al Akhras (Peneliti Kajian Politik Al Quds Foundation) yang membawakan materi dengan tema “Bagaimana Operasi Badai Al Aqsha Mengubah Peta Arab dan Dunia”.
Di kesempatan itu, Ahmad Rofiqi mengatakan, operasi militer yang dilakukan saudara-saudara kita di Palestina itu ialah bentuk perlawanan mereka terhadap suatu kejahatan yang mereka alami selama berpuluh-puluh tahun. Operasi ini merupakan puncak yang disebut sebagai Badai Al Aqsha. Operasi Badai Al Aqsha yang dimulai Sabtu pagi waktu Gaza atau Sabtu siang waktu Indonesia itu sangat mengejutkan dunia.
“Belum lama sebelum (berlangsungnya) Badai Al Aqsha ini, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyampaikan satu pidato di hadapan PBB dengan begitu percaya diri, yaitu agar dibuatnya satu peta baru Timur Tengah (New Map of Middle East). Di dalamnya juga ada satu peta baru dari Israel, dimana isinya hanya negara Israel saja. Tidak ada yang namanya Tepi Barat dan tidak ada yang namanya Gaza. Dan peta ini ia presentasikan dengan sangat meyakinkan, karena dia merasa bahwa kondisi dia saat itu sudah seolah-olah berada di atas angin,” ujarnya.
Ahmad Rofiqi melanjutkan, Netanyahu sedang menggalang satu puncak dari hubungan normalisasi Israel yang mereka tunggu-tunggu selama ini, yaitu normalisasi dengan negara Islam yang paling penting di dunia – di dalam konteks hubungan dengan Israel – yaitu negara Saudi Arabia. Hubungan diplomatik dengan Saudi Arabia itu sudah tinggal menunggu hari. Jika hubungan mereka dengan Saudi Arabia sudah mencapai deal, normalisasi hubungan dengan Israel terjadi, maka itu sudah sama dengan legitimasi bahwa apa pun yang dilakukan Israel dianggap sah. Artinya, seolah-olah persoalan itu sudah tuntas.
“Tetapi, apa yang dilakukan oleh Benjamin Netanyahu tentang peta baru itu, seolah-olah menunjukkan bahwa baik Arab, Islam, Israel, Yahudi, maupun PBB, semuanya sudah berada di dalam satu kondisi yang harmonis untuk dibuatnya Israel Raya. Dan seolah-olah tidak ada lagi masalah yang berarti. Tiba-tiba, mereka dikejutkan di pagi hari Sabtu itu dengan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka mengatakan, sejak tahun 1948 pun ini belum pernah terjadi. Satu pasukan kecil yang awalnya sangat sedikit, ya, cuma 300 orang, itu menjebol pagar pembatas dan masuk ke dalam pemukiman Yahudi, menyerang 20 pos militer. Nah, tentu saja awalnya 300, kemudian berkembang menjadi 1000, kemudian ada tambahan lagi 1000, sehingga semua wilayah Israel yang berbatasan dengan Gaza itu tidak ada yang selamat. Semuanya mengalami penyerangan,” katanya.
Baca Juga : HAMAS: Israel Melakukan Genosida, Kami Bertekad Cegah Terjadinya Nakba Kedua!
Menurut Ahmad Rofiqi, ada 20 markas militer atau pos militer yang mendapatkan serangan sangat hebat. Bukan hanya diserang, tetapi semua wilayah itu dapat dikalahkan. Semua pos militer tersebut dapat direbut. Berjatuhanlah korban militer yang sangat banyak, dan banyak juga di antara mereka yang ditawan, dibawa masuk ke dalam kota Gaza, lalu sisanya ada beberapa orang sipil tidak diketahui dengan pasti. Banyak yang mengatakan jumlah yang ditawan itu mencapai ratusan orang. Tawanan itu, kata Rofiqi, merupakan sesuatu yang sangat penting bagi Israel. Sebab, di tahun 2011 Hamas pernah menukar 1 tawanan Israel dengan 1.027 tawanan Palestina. Jadi ada 1027 orang Palestina yang ditawan yang ditukar dengan 1 orang tentara Israel. Nah, sekarang ini diperkirakan ada 200 lebih tawanan dan banyak di antaranya yang berstatus perwira tinggi, bahkan jenderal.
“Nah, ini merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Kejutan tidak hanya sampai di situ, karena sampai hari ini pun telah jatuh korban lebih dari 1300 orang. Setiap hari, ada ratusan korban yang jatuh, karena perang ini kan baru berjalan sekitar 7 hari. Artinya, lebih dari 100 orang yang meninggal setiap harinya dari pihak Israel, dan itu jauh melampaui peperangan yang terjadi pada tahun 1969. (Itu) Perang besar, perang yang disebut dengan ‘Perang 6 hari’, dimana korban pada saat itu dari pihak Israel tidak mencapai 1000, padahal saat itu koalisi negara Arab yang menyerbu Israel itu amat sangat besar sekali jumlahnya. Mereka ada sekitar 50.000 tentara yang menyerang Israel,” tuturnya.
Faktor itulah yang menurut Rofiqi membuat perang kali ini sangat penting dan kita sebut “mengubah dunia”. Sebab, opini dunia sekarang juga sangat berubah terhadap apa yang terjadi di Palestina. Kita melihat di media massa mulai terjadi perimbangan antara yang pro Palestina dan pro Israel. Media massa mainstream yang biasanya dengan leluasa melakukan serangan publik (serangan media untuk membentuk opini publik) kepada Palestina, sekarang sudah tidak leluasa lagi. Sangat banyak orang yang meng-counter pernyataan-pernyataan media mainstream yang dianggap sangat menyudutkan Palestina selama ini.
“Nah, ini semua betul-betul membalikkan keadaan. Ini punya pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal, baik dalam hal politik, media massa, diplomasi Israel, maupun politik luar dan dalam negeri mereka. Sebaliknya juga memberikan tempat yang lebih terbuka bagi para pejuang Palestina, khususnya bagi Hamas yang selama ini hanya dipandang dengan satu label yaitu label teroris,” ucapnya.
Ahmad Rofiqi lanjut menyebut, kondisi Palestina saat ini amat sangat berat. Jadi, sebanyak apa pun korban yang jatuh di pihak Israel, sesungguhnya tidak sebanding dengan apa yang dialami oleh pihak Palestina. Sebab, Palestina masih mengalami 7 masalah kemanusiaan yang tidak ada duanya di dunia. Tidak ada di Israel, bahkan tidak ada di dunia.
“Pertama, Palestina masih menjadi satu-satunya bangsa di dunia yang tidak punya negara. Kedua, Palestina masih satu-satunya bangsa di dunia yang terjajah. Ketiga, Palestina adalah satu-satunya bangsa yang kehilangan tanah milik mereka. Jadi, pendudukan secara ilegal itu terjadi hampir setiap hari. Perebutan wilayah yang terjadi di Palestina terjadi setiap hari. Termasuk apa yang dilakukan oleh Netanyahu (Perdana Menteri Israel, red) belum lama ini, ketika dia mengumumkan wilayah Israel sepenuhnya di seluruh tanah Palestina, tanpa mengakui adanya Tepi Barat dan Gaza. Ini suatu arogansi yang sangat luar biasa dan suatu pernyataan bahwa seluruh tanah Palestina itu tidak ada satu jengkal pun yang berhak dijadikan tempat tinggal oleh orang Palestina,” ulasnya.
Baca Juga : Ketegangan Di Tepi Barat Meningkat: Beberapa Warga Sipil Dibunuh oleh Pasukan Israel
Yang keempat, kata Rofiqi, Palestina masih menjadi satu-satunya bangsa yang paling banyak pengungsinya. Ini disebabkan karena adanya penjajahan. Pengungsi Palestina itu juga merupakan pengungsi yang terbesar di dunia, karena penduduk Palestina total itu tidak banyak, sekitar 14 juta, dan sekitar 8 juta di antaranya ialah para pengungsi.
“Kelima, Palestina juga masih menjadi satu-satunya bangsa di dunia yang hidup di dalam blokade. Tidak ada di dunia ini bangsa yang hidup di dalam tembok tinggi seperti yang dialami oleh rakyat Palestina. Israel membangun tembok di Tepi Barat dan di Gaza, yang panjangnya lebih dari 750 km. Itu tidak terjadi di mana - mana. Itu hanya ada di Palestina. Keenam, Palestina menjadi satu-satunya bangsa yang ⅓ penduduknya pernah mengalami yang namanya ditangkap oleh orang asing dan dipenjarakan oleh orang asing. Sampai hari ini, ada sekitar 5.000 – 6.000 orang Palestina yang masih tertawan di dalam penjara-penjara militer Israel. Banyak di antara mereka yang ditawan itu untuk suatu alasan yang tidak jelas. Misalkan, seseorang mengeskspos suatu gambar di media sosial dan ternyata gambar itu tidak disukai oleh Israel, maka orang tersebut akan langsung ditangkap dan masuk ke dalam penjara,” katanya.
Yang ketujuh, menurut Rofiqi, Palestina adalah satu-satunya bangsa yang menghadapi isu tanah suci. Isu tanah suci ini adalah urusan yang sangat penting, khususnya bagi umat Islam. Sebab, Masjidil Aqsha, Baitul Maqdis dan kota-kota di Palestina itu adalah tempat-tempat yang sama kedudukannya seperti Makkah dan Madinah.
“Jadi bagi kita, penodaan terhadap Masjidil Aqsha, penodaan terhadap Baitul Maqdis atau (mereka menyebutnya) Yerussalem atau Al Quds (dalam bahasa modern), ini bukan hal yang sederhana. Ini punya implikasi yang sangat berat. Itu menyebabkan suatu perasaan tersakiti yang mendalam dan bagi para pejuang Palestina itu sekarang dijadikan sebagai isu utama, sehingga nama bagi operasi militer pun menggunakan simbol Masjidil Aqsha. Makanya (operasi itu) disebut dengan ‘Badai Al Aqsha’, karena Yahudi sangat ngotot untuk merebut Masjidil Aqsha. Mereka tidak hanya ingin merebut kota (untuk dijadikan) sebagai ibu kota Israel, tetapi juga ingin menjadikan Masjidil Aqsha yang berada di dalam Yerussalem (bahasa kita adalah Al Quds) itu juga sebagai tempat ibadah mereka. Mereka bukan sekadar beribadah di dalam Masjidil Aqsha, tetapi juga ingin memiliki Masjidil Aqsha yang (khususnya) bagian kubah kuning itu dalam keyakinan Yahudi adalah tempat penyembelihan Ishaq (itu disembelihnya di situ), dan di situlah turunnya tabut kepada Daud, dan juga menjadi bangunan utama dari Haikal the Solomon Temple atau The Church Mountain, tempat ibadah Yahudi yang diyakini dulu dibangun di masa King David,” katanya.
Baca Juga : Bagaimana Reaksi Negara-negara Arab terhadap Operasi Hamas Melawan Israel?
Rofiqi pun menekankan, ini persoalan menghinakan atau bahkan menghancurkan. Merebut masjid kubah kuning itu tentu saja persoalan yang akan menjadikannya isu utama, dan itu akan lebih menyakitkan. Ibaratnya, bagi orang Palestina itu penting dibandingkan peperangan-peperangan dan diskriminasi yang lainnya, sehingga hal itu diangkat menjadi tema utama.
“Nah, dengan adanya berbagai macam diskriminasi kejahatan, pembunuhan, penangkapan, pengusiran, yang berlangsung (apalagi selama 70 tahun), khususnya bagi anak-anak yang lahir tahun 2000-an, mereka lahir dengan melihat Israel begitu kejamnya, maka sangat wajar jika itu semuanya menimbulkan satu eskalasi yang begitu tinggi, dan terjadilah apa yang kita sebut dengan operasi Badai Al Aqsha,” tutupnya.