Satu Tahun Prabowo–Gibran dan Bayang-Bayang Masa Lalu

Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo–Gibran berjalan, di tengah ketegangan antara semangat baru dan “beban” lama. Di awal masa jabatan, publik sempat optimistis duet itu akan menghadirkan wajah baru pemerintahan yang lebih tegas, cepat, dan berpihak kepada rakyat. Namun kenyataannya, bayang-bayang era Jokowi masih terlalu kuat.

Apalagi, pemerintahan ini pun berdiri di atas fondasi yang sejak awal sudah goyah. Di antaranya karena lahir dari manipulasi hukum dan rekayasa politik di Mahkamah Konstitusi demi memuluskan jalan Gibran, putra Jokowi, ke kursi wakil presiden. Dari situlah benih masalah bermula, tentang arah moral kekuasaan yang dibangun dari pelanggaran prinsip dasar demokrasi.

Keterlibatan Jokowi dalam proses politik itu menjadikan pemerintahan Prabowo–Gibran sebagai kelanjutan dari rezim lama dengan wajah baru. Jejak tangan Jokowi masih tampak jelas di hampir setiap kebijakan dan susunan kabinet. Sejumlah menteri warisan kabinet sebelumnya tetap dipertahankan, meski rekam jejak dan kinerjanya justru menjadi titik lemah yang mencederai kepercayaan publik.

Salah satu yang paling banyak disorot adalah Bahlil Lahadalia, kini menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ia kembali menuai kritik tajam lewat wacana kebijakan etanol sebagai bahan bakar alternatif. Meski diklaim akan memerkuat ketahanan energi nasional, kebijakan itu dinilai tidak realistis karena kapasitas produksi etanol di dalam negeri masih jauh dari cukup. Beberapa kalangan menilai langkah ini hanya mengganti ketergantungan impor BBM dengan ketergantungan impor bahan baku etanol. Lebih dari itu, Bahlil juga dikenal dengan gaya komunikasi publiknya yang sering kontroversial dan terkesan arogan. Tak heran, dalam sejumlah survei kinerja kementerian, Bahlil mendapat skor kepuasan publik terendah dibandingkan menteri lainnya.

Publik juga dibuat geleng-geleng kepala oleh Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, yang viral karena foto dirinya sedang bermain domino bersama seorang tersangka kasus pembalakan liar di Aceh. Aksi santai itu adalah simbol paling telanjang dari lemahnya sensitivitas moral pejabat publik. Di tengah krisis hutan, deforestasi, dan konflik agraria, menteri yang seharusnya menjadi garda depan perlindungan lingkungan hidup itu justru terlihat asyik bermain kartu domino dengan mereka yang merusak alam. Namun hingga kini, tak ada sanksi, apalagi pemecatan.

Tagar #KaburAjaDulu, Sentilan untuk Pemerintah yang Acakadut?
Penggunaan tagar #KaburAjaDulu mulai muncul pada Desember 2024. #KaburAjaDulu bukan sekadar tagar, tetapi juga menggambarkan aspirasi dan keresahan generasi muda Indonesia yang menginginkan perubahan dan perbaikan kondisi hidup di tanah air.

Sorotan berikutnya jatuh pada Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang juga bertahan sebagai menteri dari kabinet Jokowi. Airlangga dikritik karena hubungannya yang terlalu erat dengan pengusaha besar, terutama di sektor sawit, serta kebijakan ekonominya yang dinilai lebih memihak korporasi ketimbang rakyat kecil. Di dalam pemerintahan yang menjanjikan transformasi ekonomi untuk semua, kehadiran figur seperti ini justru memerkuat kesan bahwa politik balas budi masih lebih kuat daripada integritas kinerja.

Laporan dari lembaga riset semisal CELIOS dan survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan hal yang serupa. Meski pun kepuasan publik terhadap Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran tergolong tinggi — sekitar 80% — kepuasan terhadap kinerja menteri-menterinya justru stagnan, bahkan menurun. Banyak masyarakat menilai sejumlah menteri hanya membawa gaya lama, di antaranya pencitraan, kontroversi, dan minim terobosan nyata. Publik bisa saja memuji presidennya, tetapi mereka tetap akan menuntut pertanggungjawaban dari para pembantunya.

Situasi ini harus menjadi alarm keras bagi pemerintahan Prabowo–Gibran. Keberanian tidak hanya diukur dari kemampuan menjaga stabilitas politik, tetapi juga dari ketegasan menegakkan integritas. Menteri-menteri yang terbukti bermasalah, tidak kompeten, atau kehilangan kepercayaan publik, seharusnya tidak dipertahankan dengan alasan loyalitas politik. Mereka harus segera dicopot. Sebab, yang sedang dipertaruhkan bukan hanya citra presiden, tetapi masa depan pemerintahan itu sendiri.

Di dalam Islam, amanah kepemimpinan bukanlah hak istimewa, melainkan ujian yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda. “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selamat Bertugas, Prabowo Subianto
Kelebihan Prabowo adalah mampu merangkul lawan menjadi kawan. Jadi, Mr. Prabowo Subianto, selamat bertugas. Doaku menyertaimu.

Al Qur’an pun menegaskan, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS An-Nisa: 58)

Artinya jelas. Kekuasaan tanpa integritas bukanlah kekuasaan, melainkan penyimpangan atas amanah. Jika seorang pemimpin menutup mata terhadap pembantunya yang zalim atau lalai, maka ia turut memikul dosanya.

Pemecatan bagi pejabat yang mencederai kepercayaan rakyat bukan sekadar tindakan administratif — itu bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dalam ranah kekuasaan.Pemecatan menteri bermasalah bukanlah tindakan ekstrem — itu adalah langkah normal dalam sistem pemerintahan yang sehat.

Sudah saatnya Presiden Prabowo membuktikan bahwa era ini bukan perpanjangan tangan dari pemerintahan sebelumnya, melainkan awal dari kepemimpinan yang berani menata ulang dan membersihkan yang busuk. Sebab, kalau benalu tidak dicabut dari akarnya, maka batang kekuasaan — sekuat apa pun — akan tetap lapuk dari dalam. Sampai tiba waktunya, angin kecil pun cukup untuk merobohkannya — tanpa perlu badai, tanpa peringatan.