Dua kali saya mendukung Prabowo Subianto. Yaitu saat berpasangan dengan Hatta Rajasa dan Sandiaga Uno. Dua kali saya tidak mendukung Prabowo. Yaitu saat dia berpasangan dengan Megawati sebagai Cawapres dan saat dia berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.
Saya memandang Prabowo sebagai petarung andal. Butuh waktu empat kali Pilpres untuk dia sebelum bisa memenangkan pertarungan. Dia nyaris berjuang dengan kekuatan dan dana sendiri lewat partai yang didirikannya, Gerindra.
Itu poin penting Prabowo. Ia berbeda dengan Jokowi yang sejak Walikota, Gubernur, hingga Presiden, diusung sebagai kader PDIP, pada ujungnya meninggalkan PDIP, dan menjadikan putranya sebagai Wapres. Prabowo lebih mandiri ketimbang petugas partai yang mbalelo.
Kelebihan Prabowo adalah mampu merangkul lawan menjadi kawan. Korban penculikan yang selalu dihubungkan dengan dirinya, diajak gabung menjadi kader Gerindra. Ada yang berhasil jadi wakil rakyat semisal Desmod J Mahesa, Haryanto Taslan, dan Pius Lustrilanang.
Jenderal-jenderal semisal SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), Wiranto, Agum Gumelar, Hendro Priyono, yang vokal mempermasalahkan kasus penculikan, ujung-ujungnya bisa membebek kepada Prabowo. Puncaknya, dia bisa gabung dengan rivalnya, Jokowi, sebagai Menhan. Bahkan ia menjadikan Jokowi sebagai kartu truft untuk mememenangkan dirinya sebagai Calon Presiden 2024-2029.
Hal inilah yang membuat sebagian pengikutnya marah. Mereka menganggap, Jokowi bukanlah tokoh yang layak dirangkul. “Raja Jawa” itu menurut mereka track record-nya jelek, tidak layak dijadikan kawan. Itulah sebabnya, dalam Pilpres lalu sebagian pengikut Prabowo pun berpindah ke Anies.
Takdir sudah terjadi. Suka tidak suka, sekarang Prabowo adalah Presiden kita. Harapan saya, Prabowo jangan seperti Jokowi, yang dielu-elukan bagai tanpa cela, dipuja layaknya dewa, bahkan sampai-sampai seorang pengikut Jokowi bilang “Jokowi itu bagi kami seperti berhala yang disembah-sembah” saking takjubnya ia kepada Jokowi.
Sepengetahuan saya, Prabowo tidak punya watak pengkhianat seperti Jokowi kepada PDIP. Dia bisa berdamai dengan siapa pun, termasuk dengan Jokowi yang dulu diusungnya menjadi Gubernur Jakarta tetapi lalu menjadi lawannya di Pilpres 2019.
Kader PDIP merasakan bagaimana sakitnya dikhianati Jokowi. Setelah dielus-elus, dirawat, dibela, ujung-ujungnya meninggalkan PDIP. Sakit sungguh sakit mereka ketika Jokowi berubah menjadi monster yang membuat PDIP luluh lantah, menjadi Presiden paling nepotis di negeri ini, yang menempatkan anak dan mantu sebagai pejabat negara dengan mengabaikan etika.
Kita berharap, Prabowo tidak meniru Jokowi, menjadi penderita nepotisme akut, menempatkan anak dan kerabat sebagai pejabat negara, tanpa disertai kapasitas dan kapabilitas. Kita doakan Prabowo sehat, jangan sampai sakit akut hingga uzur di tengah jalan, yang bisa digantikan oleh rezim Jokowi jilid tiga lagi lewat Gibran. Saya berharap, setelah Prabowo resmi dilantik menjadi Presiden, pengaruh Jokowi harus segera dia amputasi.
Dejokowisasi harus berlangsung cepat, agar presiden baru tidak direcoki atau di-cawe-cawe oleh Mantan Presiden, Jokowi. Bersihkan anasir-anasir Jokowi, terutama para buzzer dan influenzer yang mendominasi di medsos, amputasi relawan-relawan Mulyono yang menjilatnya keterlaluan, matikan aliran dana mereka lewat pergantian para pemujanya yang berkeliaran di BUMN menjadi komisaris.
Prabowo harus menjadi pemimpin tunggal yang punya kebijakan dan konsep sendiri, tanpa dibayangi Jokowi. Tidak boleh ada matahari kembar dalam negara RI.
Kita kasih Prabowo kesempatan. Dia harus menampilkan dirinya beda dari Jokowi. Dia harus lebih demoratis, mau mendengar suara rakyat.
Jadi, Mr. Prabowo Subianto, selamat bertugas. Doaku menyertaimu.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!