Sekolah yang Salah atau Publik Kurang Paham? Bias Kritik atas Pemecatan Novi Vokalis Sukatani Band

Ada satu hal yang selalu menarik dari media sosial. Setiap kali ada isu yang viral, tak sampai hitungan hari, banyak warganet lantas berubah menjadi analis, pakar kebebasan berekspresi, hingga aktivis keadilan sosial yang barangkali sering disebut sebagai social justice warrior.

Kasus pemecatan Novi, vokalis Sukatani Band yang juga seorang guru di Sekolah Islam Terpadu (SIT), adalah salah satu contohnya. Publik dunia maya langsung bereaksi, menuding sekolah bertindak tidak adil, mengaitkan pemecatan ini dengan intervensi dari kepolisian, dan sebagainya. Sebab, pemecatan Novi terjadi setelah lagu Sukatani Band berjudul “Bayar Bayar Bayar” yang mengritik aparat menjadi populer. Sedangkan pihak sekolah mengatakan, alasan pemecatan itu tidak berkaitan dengan lagu tersebut, tetapi karena alasan pelanggaran kode etik. Di dalam sekejap, narasi tentang kebebasan berpendapat dan perlawanan terhadap otoritas menjadi bahan bakar kemarahan kolektif.

Sebagai seseorang yang pernah beberapa tahun berinterakasi dan berada dalam sistem Sekolah Islam Terpadu, saya melihat isu ini dari sudut pandang yang berbeda. SIT bukan sekadar sekolah dengan label Islam. Ia adalah institusi yang memiliki sistem pembinaan ketat terhadap tenaga pendidiknya. Seorang guru dalam SIT tidak hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga menjadi representasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat.

SIT Bukan Sekadar Tempat Kerja, Ia Sebuah Komunitas dengan Identitas

Bekerja di SIT bukan seperti bekerja di perusahaan biasa yang hanya menuntut profesionalisme dalam batas waktu kerja. Budaya keislaman diterapkan tidak hanya dalam kurikulum, tetapi juga dalam gaya hidup para tenaga pendidik. Seorang guru di SIT tidak hanya dinilai dari kemampuannya mengajar, tetapi juga dari bagaimana ia membawa diri di masyarakat. Jadi, SIT bukan sekadar tempat kerja, tetapi sebuah komunitas dengan identitas.

Saya masih ingat, ketika masih bekerja di lingkungan SIT, ada satu hal yang langsung saya sadari. Bahwa setiap karyawan, terutama guru, memegang identitas dan representasi instansi tersebut. Identitas yang tidak bisa dilepas begitu saja setelah jam kerja selesai. Ada standar etika yang mengikat, yang memang harus dipahami sejak awal. Bahkan, untuk karyawan atau guru yang single, tidak boleh memiliki hubungan dengan lawan jenis tanpa adanya ikatan, apalagi sampai didapati berdua-duaan meski di luar lingkungan kerja. Hal itu bukan karena sekolah ingin mencampuri kehidupan pribadi, tetapi karena SIT begitu disiplin memegang nilai-nilai Islam, dan melihat guru sebagai figur publik yang membawa nama baik lembaga di mana pun mereka berada.

Baca Juga :

Pak Kholid dan Jejak Rakyat Banten: Pagar Kedaulatan yang Akan Ditegakkan
Pak Kholid adalah seorang nelayan dari Desa Kronjo, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Sejak penampilannya yang memukau di acara ILC (Indonesia Lawyers Club) beberapa waktu lalu, Pak Kholid saat ini sedang viral karena menunjukkan kepiawaian beretorika.

Oleh karena itu, dalam kasus Novi, sekolah tidak serta-merta memberhentikan dia hanya karena tekanan pihak luar. Bisa jadi, keputusan ini diambil berdasarkan prinsip yang sudah lama berlaku di lembaga-lembaga yang berada di bawah Jaringan Sekolah Islam Terpadu, bahwa seorang guru harus mencerminkan nilai-nilai Islami yang terpatri dalam budaya institusi mereka, baik di dalam maupun di luar sekolah.

Bias Publik Maya: Kritis Tanpa Konteks, Marah Tanpa Dasar

Di sinilah publik maya sering kali terjebak dalam bias mereka sendiri. Mereka melihat isu ini hanya dari satu sisi, kebebasan berekspresi yang dianggap dibungkam. Tanpa riset, tanpa pemahaman yang lebih dalam, mereka langsung menyimpulkan bahwa pemecatan Novi itu adalah bentuk ketidakadilan.

Padahal, apakah mereka sudah mencoba memahami bagaimana sistem di SIT bekerja? Apakah mereka tahu bahwa menjadi guru di SIT berarti menerima tanggung jawab moral yang lebih besar dibandingkan sekolah biasa?

Kritik yang beredar di media sosial lebih sering lahir dari keinginan untuk terlihat vokal dan kritis, bukan karena benar-benar memahami substansi masalah. Ini seperti seseorang yang menonton satu adegan dari film, lalu langsung berkomentar panjang lebar tanpa tahu bagaimana cerita lengkapnya.

Yang lebih ironis, banyak dari mereka yang mengritik itu yang mungkin tidak akan mau bekerja di SIT dengan aturan yang ketat. Namun, mereka juga tidak menerima jika sekolah tersebut menjalankan kebijakan yang sesuai dengan prinsip yang telah sekolah itu pegang selama bertahun-tahun.

Kritis Itu Harus Berbasis Pemahaman, Bukan Sekadar Sensasi

Saya bukan sedang membela pemecatan Novi tanpa catatan. Tetapi, jika kita ingin menjadi kritis, kita harus memahami konteks secara menyeluruh. Kebebasan berekspresi itu penting, tetapi setiap institusi juga berhak memiliki standar dan kode etiknya sendiri. Sama seperti perusahaan yang bisa memecat karyawannya jika melanggar aturan internal, SIT pun memiliki kebijakan yang sudah menjadi bagian dari sistem mereka.

Bac Juga :

Menakar Kesaktian Sakti Wahyu Trenggono: Pagar Laut di Antara Kesetiaan pada Prabowo dan Jokowi
Sakti Wahyu Trenggono dan Jokowi adalah dua politisi yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Jika dahulu sempat ramai isu perbincangan tentang “17 Orang Jokowi di Kabinet Merah Putih Prabowo”, mungkin Sakti Wahyu Trenggono termasuk dalam daftar itu.

Maka, sebelum menghakimi bahwa ini adalah kasus pembungkaman, tanyakan dulu kepada diri sendiri. Apakah saya benar-benar memahami konteksnya, atau saya hanya ikut-ikutan marah karena ingin terlihat kritis?

Jangan sampai kita menjadi bagian dari budaya kritik instan yang lebih peduli kepada sensasi dibandingkan dengan pemahaman yang mendalam. Jika kita hanya kritis untuk mendapatkan momentum dan sorotan publik, apakah benar kita sedang membela kebenaran? Atau barangkali kita hanya sedang membela ego kita sendiri.

 

Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah opini penulisnya dan tidak mewakili sikap redaksi Sabili.id