Sebelum menyongsong pasukan Romawi ke Tabuk, Rasulullah saw telah menyuruh para sahabat untuk bersiap-siap, mengumpulkan bekal dan kendaraan. Di saat itulah, Abdullah bin Ma’qil Al Muzanni dan beberapa orang sahabat – sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas – datang menemui Rasulullah, meskipun mereka tidak memiliki apa-apa.
“Ya Rasulullah, bawalah kami ikut serta dalam perang,” pinta mereka. Sejenak Rasulullah diam. Lalu dengan berat ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak mendapati kendaraan untuk kalian.”
Para sahabat itu termenung, dan sesaat kemudian bergegas pergi. Air mata mereka meleleh, segala perasaan berbaur tidak menentu. Orang-orang itulah yang kemudian dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: 'Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,' lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS At Taubah: 92).
Kesedihan mereka adalah pancaran iman. Bukan pancaran cinta dunia, apalagi tamak dan serakah kepadanya. Keberadaan harta sangatlah netral, tergantung di tangan siapa ia berada. Rasulullah membimbing kita, bahwa harta harus difungsikan sebagai sarana beramal dan beribadah kepada Allah swt. Setiap mukmin tetap dituntut untuk berusaha. Jika akhirnya masih banyak keterbatasan, tidak semestinya hal itu merusak pribadinya sebagai mukmin. Miskin harta tidak jadi soal, asal tidak miskin iman dan kepribadian.
Suatu hari, Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah saw tentang amal yang paling afdhal. “Iman kepada Allah, jihad fisabilillah, dan memerdekakan budak yang paling baik dan yang paling mahal,” jawab Rasulullah.
“Kalau tidak bisa?” tambah Abu Dzar.
“Bantulah orang lain yang melakukannya. Jika tidak, tahanlah dirimu dari menyakiti orang, dan itu adalah shadaqah.”
Medan beramal amatlah luas. Di dalam kondisi yang serba susah, masih banyak sumbangsih yang bisa dipersembahkan seorang mukmin. Sementara itu, mereka yang dikaruniai Allah kelebihan harta, dituntun Allah untuk tetap berhati bersih. Segala kelebihan harta itu bisa sirna hanya karena sikap dan kata-kata yang tidak berguna. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah kamu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al Baqarah: 286).
Ada kalanya kesulitan yang kita hadapi mencapai batas yang tidak bisa ditoleransi. Namun begitu, kita harus tetap bisa menahan diri. Karena iman yang redup akan mematikan kepekaan suara hati.
(Latifi AZ)
Disadur dari majalah Sabili Nomor 05/Th. VI, 16 September 1998/ 25 Jumadil Ula 1419
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!