Ada kalanya, kita merasa tertinggal jauh dari orang-orang. Di saat teman-teman seusia kita yang lain sudah berhasil mencapai sesuatu, kita masih terjebak di titik yang itu-itu saja. Di saat mereka sudah melangkah jauh, dan kita merasa masih saja berjalan di tempat yang sama. Di saat orang lain sudah menemukan jalan hidupnya, kita justru masih harus bergelut dengan diri sendiri yang penuh luka. Luka yang belum kunjung sembuh. Luka yang membuat kita merasa tak utuh. Luka yang selama ini terasa menghambat tiap langkah, juga memberatkan hati. Luka yang setengah mati ingin kita sembunyikan agar tak ada yang tahu. Dan luka yang selalu membuat kita berjuang keras untuk bisa berdamai dengan semua itu.
Namun, luka itu pada akhirnya membawa kita bisa belajar ... mengikhlaskan. Mengikhlaskan hal-hal yang ternyata memang tak digariskan untuk kita. Juga mengikhlaskan seseorang yang ternyata tak bisa selamanya membersamai langkah kita. Tentu saja, prosesnya tak semudah itu. Sebab, mengikhlaskan adalah seni tertinggi dalam melepaskan. Melepaskan apa-apa yang membelenggu hati. Melepaskan segala hal — termasuk seseorang — yang kita sayangi, namun tanpa sadar justru membuat kita menjadi jauh dari-Nya. Dan semua itu sungguh tak mudah.
Mengikhlaskan juga bisa dibilang merupakan bentuk tertinggi dari ke-tawakkal-an kita kepada Allah. Tak pernah ada kata ringan dan instan dalam setiap proses “mengikhlaskan”. Sebab, ia membutuhkan ruang ke-ridha-an paling dalam. Ke-ridha-an seorang hamba atas segala garis takdir yang Allah tetapkan untuknya. Ke-ridha-an atas segala hal yang Allah beri atau pun Allah ambil darinya. Baik atau pun buruk. Karena sejatinya, yang menurut kita baik, belum tentu baik juga di mata Allah. Begitu juga sebaliknya. Ya, kan?
Namun, ikhlas sering kali disalahpahami seolah-olah artinya “sudah tak bersedih lagi”. Padahal, proses mengikhlaskan itu justru sering berjalan beriringan dengan air mata, dengan rasa perih, dan dengan hati yang masih selalu bertanya, “Mengapa harus begini?”

Yang membuat ikhlas kadang terasa kejam itu adalah karena ia datang setelah kita melakukan yang terbaik, tetapi hasil yang didapatkan bukan yang kita harapkan. Kadang juga, ikhlas itu bukan tentang merelakan orang lain pergi, tetapi tentang menerima bahwa kita tak bisa ikut pergi bersama mereka ke fase hidupnya. Semisal kamu berdiri di satu peron, dan orang itu menaiki kereta lain. Kamu melambaikan tangan sambil menahan dada, tetapi keretanya tetap jalan menjauh. Sesaknya sungguh terasa berkali lipat.
Satu hal yang perlu kau ingat, mengikhlaskan itu merupakan proses bertahap. Proses yang panjang dan berliku. Bukan sesuatu yang bisa langsung kau lakukan dengan kilat dan terburu-buru. Jika hari ini rasanya masih berat, itu bukan berarti kau kurang iman, kurang kuat, atau kurang dewasa. Tetapi itu berarti kamu punya hati yang hidup. Sebab, ikhlas itu bukan soal cepat, melainkan tentang kau tetap memilih hidup dengan baik meski ada bagian hatimu yang masih tertinggal.
Ikhlas juga bukan berarti mengabaikan rasa sakit atau mematikan harapan. Ia justru mengajarkan cara menerima dengan jujur, melepas dengan tulus, dan melanjutkan hidup tanpa membawa beban yang tak perlu. Mengikhlaskan bukan perkara mudah, karena ego, kecewa, dan dendam sering kali menghalangi jalannya. Ikhlas yang luas bukan hanya tentang menerima takdir, melainkan tentang memilih untuk tetap tenang, tetap bertumbuh, dan tetap mendekat kepada-Nya, meski hidup tak selalu berjalan sesuai keinginan.
Terkadang kita perlu ditampar sebuah kenyataan, bahwa segala hal yang terjadi di hidup ini, tak selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan. Seringnya, kita memiliki banyak rencana dan target yang ingin dicapai. Namun sejatinya, rencana Allah selalu berjalan paling tepat, meski tak selalu sesuai dengan yang kita bayangkan. Allah paling tahu mana yang terbaik untuk kita. Mana yang perlu dipercepat, ditunda, atau bahkan diganti dengan yang lebih baik.

Kau hanya perlu pasrahkan saja semuanya. Tuntaskan tawakkalmu kepada Allah. Yakin saja bahwa semua yang Allah takdirkan untukmu itulah yang terbaik. Percaya saja bahwa apa pun yang terjadi di dalam hidupmu, pasti selalu ada pelajaran baik di baliknya. Berusahalah untuk ridho dengan semua itu. Sebab, saat kau ridho, Allah juga akan ridho kepadamu. Seni mengikhlaskan itu ... bukan ketika kita mampu melepas dan merelakan segalanya dalam satu waktu. Tetapi ketika kita mulai bisa belajar mengambil hikmah dari setiap takdir-Nya.
Pada akhirnya, ikhlas bukanlah tentang menyerah, apalagi berpura-pura kuat. Retno Ladyta melalui bukunya yang berjudul “Pastikan Ikhlasmu Itu Luas”, berusaha mengajak kita memahami bahwa ikhlas adalah proses panjang untuk berdamai — dengan keadaan, dengan luka, juga dengan diri sendiri. Ikhlas menuntut kesadaran bahwa dalam hidup, ada banyak hal yang harus dijalani seorang diri: berjuang sendiri, bangkit sendiri, merasakan sakit sendiri, dan menghadapi masalah sendiri. Bukan karena kita benar-benar sendirian, tetapi karena ada fase-fase hidup yang memang hanya bisa dilalui dengan kekuatan dari dalam. Di titik itulah ikhlas bekerja, menjadi penopang agar hati tidak runtuh meski langkah terasa berat. (Retno Ladyta, 2024)
“Memiliki luka dan trauma itu adalah hal yang wajar, kok. Sebab, nggak bisa dimungkiri bahwa kita sebagai manusia pasti hidup berdampingan dengan rasa sakit, yang mungkin berangkat dari kekusutan dalam keluarga, dalam pertemanan, atau dalam mencari pasangan hidup,” ucapnya dalam sebuah Talkshow Bedah Buku di UIN Jakarta pada Juli 2024.
Hal-hal yang kau rasa terlambat sebenarnya hanya sedang menunggu waktunya. Sebab, Allah telah menyiapkan garis waktu terbaik untuk setiap momen dalam hidupmu. Tidak ada yang akan terlambat atau terlalu cepat. Dan hal-hal yang kamu harapkan namun belum terwujud, bukan berarti tak akan datang. Mereka hanya belum menemukan timeline-nya saja. Percayalah, ketika Allah menunda sesuatu, maka pasti ada suatu alasan baik di baliknya. Jika Allah tidak mengizinkannya terjadi, pasti Allah juga punya alasan di balik itu. Dan, semua alasan Allah itu pasti yang terbaik.
Jadi, jangan bersedih. Ingatlah, Allah senantiasa bersama kita. Semua sesak yang selalu kau dekap sendirian itu, semoga akan sembuh pada waktunya. Semua tangis dan air mata yang selalu kau sembunyikan itu, semoga lekas menemukan penawarnya. Semua luka yang selalu kau simpan diam-diam itu, semoga kelak Allah sembuhkan dengan cara yang tak pernah kau duga. Semua sakit yang selalu kau pendam itu, semoga Allah ganti dengan pahala dan ampunan dosa. Allah tahu semua usahamu. Allah lihat setiap prosesmu. Maka, jangan lagi rapuh. Sebab, setiap langkahmu dalam proses mengikhlaskan, adalah jalanmu menuju hati dan pribadi yang kian tangguh dalam ridho-Nya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

