Seputar Penyelinapan Mohammad Natsir dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)

Seputar Penyelinapan Mohammad Natsir dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
Seputar Penyelinapan Mohammad Natsir dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) / Foto Istimewa

Ketika saya menjadi pembicara dalam seminar Memperingati Mosi Integral Natsir yang diadakan oleh DDII Provinsi Jawa Barat beberapa tahun lalu di Pusdai, terdapat seorang penanya dari ADI Jawa Barat. Ia mempertanyakan keterlibatan Mohammad Natsir dalam peristiwa PRRI. Apakah terlibatnya Pak Natsir dalam peristiwa itu sebagai tindakan inkonstitusional?

Pertanyaan itu ia maksudkan untuk membantah pernyataan saya yang mengatakan bahwa ciri khas pendekatan Natsir dalam memperjuangkan cita-cita politiknya selalu mengedepankan pendekatan konstitusional, di samping ciri lainnya, yakni anti kekerasan, demokratis, dan diplomasi.

Menjawab pertanyaan tersebut, saya katakan bahwa keterlibatan Natsir dalam peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai tindakan konstitusional, bahkan justru ekstra konstitusional, yang harus dilakukan oleh seorang Natsir. Hal itu dilakukan untuk mencegah dari bahaya disintegrasi bangsa terutama kemungkinan terjadinya pemisahan diri Pulau Sumatera dari Jakarta, yang juga merembet pada ketidakpuasan daerah lainnya, terutama lahirnya gerakan Permesta di Sulawesi.

Selain itu, ada beberapa alasan lain. Terutama untuk mencegah kemungkinan keterlibatan pihak asing dalam peristiwa PRRI, atau tepatnya sebagai upaya melokalisasi isu dalam negeri dari isu dunia yang dapat berisiko mengganggu kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Di samping untuk mengingatkan Soekarno yang bergeming dari pengaruh dan kedekatan dengan PKI.

Oleh karena itu, dalam rangka menggali sejarah, saya ulas kembali PRRI yang disarikan dari tulisan Anwar Haryono dalam buku “Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman-Islam”, tahun 1995.

Terdapat beberapa latar belakang peristiwa PRRI yang perlu dipahami agar tidak gagal paham dan salah menduga tentang keterlibatan Pak Natsir dalam PRRI. Bermula dari Dekrit Presiden Soekarno tahun 1957 tentang Pembubaran Konstituante atau DPR hasil pemilu tahun 1955 yang membuat situasi dalam negeri kacau dan memanas. Saat itu, posisi Pak Natsir sudah tidak lagi sebagai Anggota Konstituante yang mewakili Partai Masyumi.

Kiai Hasan Al Bana dan Geliat Media Penyiaran Islam
Sejak dulu, narasi tentang kebebasan berpikir dan berpendapat telah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Aktivitas mengeluarkan pendapat ini juga muncul dari pemikiran para ulama.

Berikutnya, banyak ketidakpuasan daerah terhadap Pemerintah Pusat. Tanggal 7 dan 8 September 1957 sejumlah perwira militer berkumpul di Palembang, salah satu provinsi di Sumatera, dan melahirkan suatu pernyataan politik, antara lain segera dipulihkannya Kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Sebelumnya, Presiden Soekarno berpisah jalan dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta karena sikap Hatta yang menolak kedekatan Soekarno dengan PKI. Di samping tuntutan lain semisal diberlakukannya desentralisasi dan dilarangnya ajaran Komunis.

Saat itu sudah bermunculan ancaman dari pemuda komunis terhadap Natsir dan keluarganya. Sebab, mereka mendalilkan bahwa Natsir telah ikut campur mengecam kebijakan pemerintah atas pengusiran seluruh warga negara Belanda di Indonesia. Natsir pun menjadi bulan-bulanan mereka setiap hari. Banyak terjadi ancaman terhadap keselamatan pribadi dan keluarganya dari PKI, berupa penelepon gelap, surat kaleng, dan pengepungan rumah oleh pemuda komunis dari berbagai penjuru. Sementara aparat kepolisian dan kejaksaan yang dimintai perlindungan sama sekali tidak berbuat apa-apa.

Pulau Sumatera khususnya Palembang dan Sumatera Barat adalah basis yang sangat kuat anti ideologi komunis. Sehingga wajar, Palembang pernah menjadi tuan rumah Muktamar Alim Ulama yang menolak ajaran Komunis tahun 1957.

Terdapat beberapa tokoh partai lain yang selama ini telah menjadi mitra koalisi Partai Masyumi, yakni  Partai Sosialis dan Kristen. Mereka menyelinap bersama-sama Pak Natsir tanpa ada kesepakatan sebelumnya. Sebelumnya juga sudah berdiri sebuah Organisasi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menuntut agar Presiden Soekarno mematuhi UUD 1945.

Banyak tuduhan dan dugaan motif di balik keterlibatan Natsir dalam PRRI. Itu perlu dikaji kembali. Namun, kita tidak bisa buru-buru memberikan penilaian negatif terhadap beliau atau masih mencurigai kesetiaan dia kepada NKRI. Orang tahu bahwa lewat Natsir-lah niat jahat Belanda memecah belah RI menjadi RIS sebagai negara boneka Belanda itu bisa digagalkan. Indonesia disatukan kembali lewat Mosi Integral Natsir tahun 1950.

Bahkan, banyak kesaksian dari para mantan PRRI yang menceritakan saat mereka terdesak dan Pak Natsir dianjurkan untuk mengungsi ke luar negeri guna melanjutkan perjuangan menentang Soekarno, dengan tegas dan keras Pak Natsir menolak. Bagi dia, apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, bagaimana pun risiko yang akan dia dapatkan, perjuangan menegakkan demokrasi di Indonesia harus tetap dilakukan di tanah air sendiri. Bukan di negeri orang.

Tahap Pengharaman Riba di Zaman Nabi
Riba adalah dosa yang sangat besar dalam Islam. Tahukah Anda, bahwa di zaman Nabi dulu riba diharamkan secara bertahap sebagaimana bertahapnya larangan Khamr (miras)? Bagaimana tahapannya?

Seorang Indonesianis, George Mc Kahin, dalam “Panitia Buku peringatan Mohammad Natsir/Roem, 70 tahun” halaman 335 memberikan data bahwa keterlibatan Natsir dalam PRRI adalah dalam rangka mencegah dan menghalang-halangi Pulau Sumatera memerdekakan diri dari Indonesia menjadi negara tersendiri. “Dengan disokong oleh Sjafruddin dan Burhanuddin Harahap, ia telah melakukan suatu perjuangan yang pada akhirnya berhasil di kalangan PRRI untuk menghalang-halangi mereka yang lebih menyukai pemisahan Sumatera dari Indonesia dan menjadi satu negara tersendiri. Ia bersikeras terhadap jalan seperti itu walau dengan demikian berarti mengorbankan dukungan pihak luar yang amat berkuasa dan sangat potensial. Maka, untuk sebagian besar, karena Mohammad Natsir-lah perjuangan PRRI telah dilakukan dalam batas-batas ikatan kesatuan Indonesia”. Demikian tulisnya.

Berdasarkan pendapat Kahin tersebut, dapat kita bayangkan betapa besar pengorbanan Natsir untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau mengikhlaskan dirinya sepanjang hayat dicap sebagai pemberontak, atau setidak-tidaknya bekas pemberontak, asal negara ini tetap utuh dan tidak terpecah-pecah. Dengan rendah hati, Pak Natsir mengatakan, “Sebutlah gerakan itu (PRRI) pemberontakan, karena melepaskan diri dari pemerintah, tetapi itu bukan untuk kepentingan sendiri. Kami ingin kembali ke UUD. Kita tunduk sama-sama. Apa itu pemberontak namanya? Sjafruddin sendiri sudah mengatakan, kalau pemerintah Jakarta mau kembali ke UUD yang dilanggar itu, kami bersama-sama akan menyerahkan kembali semuanya kepada pemerintah. Sebab, kita memerlukan suatu budaya taat kepada UUD. Soekarno sudah melanggar, dan Komunis malah terus memasukkan paham mereka sehingga memperluas kekuasaan”.

Beberapa bukti lain menunjukkan betapa cintanya Pak Natsir terhadap NKRI. Misalnya, andil dia menormalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia, memperlancar hubungan dengan Arab Saudi, meyakinkan pemerintah Jepang tentang perlunya memberi bantuan ekonomi kepada pemerintah Orde Baru, “memprovokasi” Pemerintah Kuwait agar menanamkan modalnya di Indonesia, dan memperbesar dukungan dunia Islam terhadap kebijakan Indonesia di Timor Timur.

Sekilas Sejarah PRRI

Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto dalam buku “Sejarah nasional Indonesia: Jaman Jepang dan zaman Republik Indonesia” (1992), mengatakan bahwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa dikenal  dengan nama PRRI) adalah merupakan gerakan oposisi  pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dengan melahirkan pemerintah tandingan pada 15 Februari 1958. Gerakan ini dimulai dengan dikeluarkannya sebuah ultimatum Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia.

PRRI berawal dari tuntutan tokoh militer dan sipil Sumatera Tengah mengenai otonomi daerah dan desentralisasi. Ahmad Husein mendeklarasikan PRRI pada 15 Februari 1958 setelah merasa pemerintah tidak proaktif menanggapi tuntutan tersebut. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai sebuah gerakan separatisme dan menumpasnya dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. PRRI yang tidak bersiap untuk perang terpaksa menghadapi operasi militer tersebut.

Menurut Freek, Colombijn (2006), “Paco-paco (kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia Abad ke-20” mengatakan, Pasca-PRRI, orang Minang menerima pukulan kejiwaan yang keras; dulu berada di barisan terdepan dalam perjuangan kemerdekaan nasional tetapi kini dicap sebagai pemberontak separatis. PRRI menandai tamatnya riwayat Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Kedua partai tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap terlibat dalam PRRI. Sementara itu, pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin menguat di Sumatera Barat. Banyak pegawai negeri yang mendukung PRRI lantas diganti dengan orang-orang komunis.

Kedudukan Manusia dalam Al Qur’an
Manusia dilengkapi dengan bakat-bakat terbaik dan diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai tingkat tertinggi yang mungkin dicapai oleh suatu makhluk.

Bahkan menurut Abrar Yusra (2011), “Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang”, Penerbit Buku Kompas, operasi militer untuk menumpas PRRI memakan banyak korban di pihak PRRI. Jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat itu jauh lebih besar daripada korban perang dengan Belanda pada zaman Revolusi Nasional Indonesia. Selain itu, banyak yang tak terlibat PRRI dibunuh dan menjadi korban kekerasan semisal penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan.

Tindakan Ekstra Konstitusional

Ahmad Murjoko di dalam buku tentang Mosi Integral Natsir tahun 1950, mengatakan, salah satu ciri khas pendekatan Mohammad Natsir dalam memperjuangkan keyakinannya adalah dengan cara-cara yang konstitusional. Pendekatan Konstitusional berarti suatu cara yang dilakukan oleh seseorang dalam memperjuangkan cita-citanya melalui saluran konstitusi, aturan atau undang-undang yang berlaku, baik secara yuridis formal, sosiologis, maupun politis.

Mengapa harus yuridis formal, sosiologis, dan politis? Mengutip pendapat Herman Heller, Mohammad Kusnardi menjelaskan bahwa pengertian konstitusi tidak semata-mata Undang-Undang Dasar saja tetapi juga merupakan cerminan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan belum merupakan konstitusi dalam arti hukum. Atau dengan perkataan lain bahwa konstitusi itu masih

merupakan pengertian sosiologis atau politis dan bukan merupakan pengertian hukum.

Sedangkan Konstitusi menurut Carl Schmitt dibagi dalam 4 pengertian yaitu:

Pertama, Konstitusi dalam arti Absolut yang berarti: (1) Konstitusi tersebut dianggap sebagai kesatuan organisasi yang nyata yang mencakup semua bangunan hukum dan semua organisasi yang ada di dalam negara. (2) Konstitusi sebagai bentuk negara dalam arti keseluruhannya baik demokrasi maupun monarchi. (3) Konstitusi sebagai faktor integrasi baik yang bersifat abstrak maupun fungsional. Bersifat abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara dengan lagu kebangsaannya, bahasa persatuannya, bendera sebagai lambang kesatuan, dan lain-lain. Sedangkan bersifat fungsional karena konstitusi tersebut berfungsi mempersatukan bangsa melalui pemilihan umum, referendum, pembentukan kabinet, suatu diskusi atau debat dalam politik pada negaranegara federal, mosi yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, baik yang sifatnya menuduh atau tidak percaya dan sebagainya. (4) Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi dalam suatu negara. Artinya, norma tersebut merupakan norma dasar yang merupakan sumber dari norma-norma lainnya yang berlaku dalam negara.

Kedua, Konstitusi dalam arti relatif yang berarti bahwa konstitusi tersebut berhubungan dengan kepentingan suatu golongan tertentu dalam masyarakat. Baik tuntutan dari kalangan borjuis liberal agar hak-haknya dijamin tidak dilanggar oleh penguasa. Atau, konstitusi tersebut adalah merupakan konstitusi tertulis secara formal.

Harmonisasi Elemen Gerakan Zakat Indonesia Menyongsong Indonesia Emas 2045
Selain menetapkan pimpinan FOZ periode ke-10, MUNAS FOZ pada bulan Juli 2024 di Padang, Sumatera Barat juga telah melahirkan banyak rekomendasi penting yang menjadi amanat bagi pengurus baru.

Ketiga, Konstitusi dalam arti positif diartikan sebagai keputusan politik yang tertinggi berhubungan dengan Undang-Undang Dasar. Teori ini diambil oleh Carl Schmitt dari teori ajaran “Dezisionismus” atau teori tentang keputusan.

Keempat, Konstitusi dalam arti idial karena konstitusi tersebut adalah merupakan idaman kaum borjuis liberal yang menginginkan agar penguasa tidak berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat.

Berkaitan dengan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka Mohammad Natsir memang telah melakukannya secara konstitusional. Pertama, Mohammad Natsir telah melakukan suatu “Mosi” di DPR RIS pada 3 April 1950. Mosi tersebut kemudian lebih dikenal dengan Mosi Integral Natsir (MIN). Sebab, Mosi tersebut berarti konstitusional karena hal itu sesuai dengan pengertian konstitusi sebagai faktor integrasi yang bersifat fungsional yang mempunyai fungsi mempersatukan bangsa melalui salah satunya adalah dengan “mosi”.

Kedua, dengan diambilalihnya persoalan penyatuan Negara Indonesia oleh pemerintah sebagai akibat adanya Mosi Integral Natsir, maka diadakanlah perjanjian antara delegasi RI dan RIS pada 19 Mei 1950 untuk membentuk Negara Kesatuan. Di dalam perjanjian tersebut, terdapat kesepakatan di antaranya adalah untuk mengubah konstitusi RIS menjadi Konstitusi Negara Kesatuan. Maka, kesepakatan perubahan konstitusi tersebut adalah merupakan tindakan konstitusional, disebabkan adanya mosi integral yang disampaikan oleh Mohammad Natsir tersebut.

Ketiga, alasan berikutnya disebut konstitusional karena Mosi yang diajukan oleh Mohammad Natsir tersebut sesuai dengan peraturan Tata Tertib Konstituante Indonesia yang berlaku saat itu terutama pada Bab VII pasal 80 ayat 1 s/d 3204 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal (1) Sekurang-kurangnya 5 orang anggota dapat mengusulkan sesuatu pernyataan di Konstituante, baik yang berhubungan dengan persoalan yang sedang dibicarakan maupun yang mempunyai maksud tersendiri.

Pasal (2) Rancangan pernyataan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) harus disampaikan pada Sekretaris Jenderal dengan atau tidak disertai keterangan tertulis; rancangan pernyataan dengan secepat-cepatnya diperbanyak dan dibagikan kepada anggota-anggota.

Menilik Pemikiran Pendidikan Mohammad Natsir, Autokritik untuk Kampus Natsir
Menggalakkan perubahan juga harus dilakukan berikut dengan evaluasinya, jangan dipandang secara spekulatif seolah semuanya sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Pasal (3) Ketua menentukan bagaimana dan bilamana usul semacam itu akan dibicarakan dan keputusan itu diberikan olehnya kepada sidang konstituante, konstituante berhak mengadakan perubahan dalam keputusan ketua.

Langkah konstitusional tersebut adalah dalam rangka menegakkan suatu proses demokrasi yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa. Di dalam hal ini, Mohammad Natsir mengatakan bahwa: “Kita perjuangkan ini dengan melalui jalan yang sah, sebagaimana yang terbuka jalannya dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar kepada kedaulatan rakyat, melalui salurannya yang lazim dalam negara demokrasi.

Bagaimana dengan kasus keterlibatan Mohammad Natsir dalam peristiwa PRRI? Apakah masih dalam kerangka pendekatan konstitusional? Menurut Natsir, munculnya gerakan PRRI tersebut adalah karena pemerintah Soekarno yang sentralistis tanpa adanya otonomi daerah. Sehingga, pemerintahan yang sentralistis tersebut menimbulkan banyak ketidakpuasan daerah-daerah terutama Aceh, Maluku, dan Sumatera Barat, yang merasa dieksploitasi oleh pusat untuk kepentingan politik mercu suar dan kesenangan Presiden Soekarno untuk kepentingan sendiri. “Kami ingin kembali ke UUD. Kita tunduk sama-sama. Apa itu pemberontakan namanya?

Syafruddin sendiri sudah mengatakan, kalau pemerintah Jakarta mau kembali ke UUD yang dilanggar itu, kami bersama-sama akan menyerahkan kembali semuanya kepada pemerintah. Sebab, kita memerlukan suatu budaya taat kepada UUD. Soekarno sudah melanggar, dan komunis malah terus memasukan paham mereka sehingga memperoleh kekuasaan.

Maka, dengan melihat alasan Mohammad Natsir tersebut di atas, saya berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh Mohammad Natsir masih dalam koridor Konstitusional, tepatnya mungkin adalah pendekatan konstitusi yang ekstra konstitusional. Sebab, apa yang dilakukan oleh Mohammad Natsir masih memenuhi dua kriteria tentang konstitusi, yakni: (1) Masih dalam kategori konstitusi sebagai sebuah bentuk negara secara keseluruhannya termasuk bagian dari proses demokratisasi maupun sistim monarchi; (2) Masih termasuk dalam konstitusi dalam arti relatif karena berkaitan dengan kepentingan golongan masyarakat tertentu.

Langkah konstitusional tersebut adalah dalam rangka menegakkan suatu proses demokrasi yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa. Di dalam hal ini, Mohammad Natsir mengatakan, “Kita perjuangkan ini dengan melalui jalan yang sah, sebagaimana yang terbuka jalannya dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar kepada kedaulatan rakyat, melalui salurannya yang lazim dalam Negara demokrasi”.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.