Shalat dengan Pakaian Bernajis karena Terpaksa
Tanya:
Assalamualaikum...
Pak ustadz, mau tanya: Kalau kita lagi di luar rumah (kerja/dalam perjalanan/keperluan lainnya) terus pakaian kita kena najis dan tidak ada air serta tak punya pakaian lain, sedangkan sudah masuk waktu untk shalat, apakah sah atau tidak shalat yang kita kerjakan dengan pakaian itu?
Saya bingung dan ragu mengerjakan shalat dalam keadaan seperti itu.
Tapi ada teman saya yang lebih memilih untuk tidak shalat.
Saya tidak mau ninggalin shalat kayak gitu pak, mohon penjelasannya. Terimakasih sebelumnya ustadz.
-- Seorang teman melalui inbox di facebook.
Jawab:
Waalaikum salam warahmatullah,
Bila ada air untuk membasuh najis maka wajib dibasahi dengan air dan shalat meski pakaian basah, tapi kalau tidak ada maka usahakan hilangkan najis itu sebisa mungkin. Misalnya bekas pipis maka dilap degan tisu atau gesekkan ke benda keras, setelah itu boleh shalat dengan pakaian itu insya Allah.
Kemudian nanti dilihat bila pakaian itu masih bisa dilepas tanpa membuka aurat yang harus ditutup dalam shalat maka hendaklah dia dilepas, misalnya bila dia pria maka auratnya hanyalah antara lutut dengan pusar. Lalu misalnya yang terkena najis adalah bajunya sementara celananya tidak berarti dia masih bisa shalat dengan celana dan melepas baju. Karena dengan memakai celana atau sarung atau handuk sampai ke pusar maka aurat wajibnya telah tertutup dan dia tidak boleh memakai bajunya yang kena najis itu.
Tapi kalau dia perempuan di mana aurat perempuan itu seluruh tubuhnya maka tak ada pilihan dia tetap harus memakai pakaian itu.
Bila sudah demikian maka shalatnya telah mencukupi dan tak lagi perlu diulang bila sudah mendapat pakaian bersih.
Dalam hal ini ada fatwa dari Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sebagai berikut:
Beliau ditanya: tentang orang yang mendapati waktu shalat sedangkan dia berada dalam perjalanan, padahal pakaiannya bernajis serta tidak mungkin membersihkannya dan dia khawatir akan habis waktu shalat tersebut (sebelum menemukan pakaian pengganti atau membersihkan najis –penerj).
Baca juga: Hukum Bank Plasenta dan Bekerja Padanya
Beliau menjawab:
Apabila najis yang ditanyakan penanya di atas tidak mungkin dihilangkan, padahal telah tiba waktu shalat sedang ia dalam perjalanan dan ia khawatir akan habisnya waktu shalat, maka kami katakan kepadanya, coba anda minimalisir najis yang ada pada pakaian anda itu sebisa mungkin. Kalau dia punya pakaian dalam di bawah pakaian yang terkena najis maka hendaklah dia buka pakaian yang bernajis dan shalat dengan pakaian dalam tersebut, tapi bila anda memakai dua atau tiga lapis pakaian dan semuanya najis, maka minimalisirlah najis dari pakaian tersebut sebisa mungkin. Yang tidak mungkin dihilangkan atau diringankan dari kenajisan tersebut berarti tidak menjadi masalah, karena Allah telah berfirman “bertakwalah kamu kepada Allah sesuai kemampuanmu.” – QS. At-Taghabun:16
Jadi, Anda bisa shalat dengan pakaian tersebut walaupun najis, dan tidak wajib mengulangi shalat itu berdasarkan pendapat yang lebih kuat, karena yang demikian itu adalah bagian dari takwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupan. Apabila seseorang telah melaksanakan ketakwaan sesuai dengan kemampuannya maka dia telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas dirinya, dan siapa saja yang telah melaksanakan apa yang diwajibkan atas dirinya maka dia telah membebaskan dirinya dari segala kewajiban.
(Dari kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilat Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin jilid 12, hal. 368, terbitan Dar Al-Wathan tahun 1413 H.)
Fatwa ini senada dengan fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa jilid 22, hal. 34-35:
“Bagi siapa saja yang tidak mendapatkan pakaian lain selain yang bernajis maka ada pendapat mengatakan bahwa dia harus shalat dengan telanjang. Ada pula yang mengatakan dia shalat (dengan pakaian najis itu) dan harus mengulang (kalau sudah dapat pakaian bersih –penerj). Pendapat lain mengatakan, dia shalat dengan pakaian itu tanpa harus mengulang dan inilah pendapat yang paling benar dari beberapa pendapat para ulama.
Sebab, Allah tidak memerintahkan seorang hamba untuk shalat wajib sebanyak dua kali, kecuali kalau dia belum sempurna melaksanakan kewajiban pada kali pertama seperti orang yang shalat tanpa tuma’ninah maka dia harus mengulang sebagaimana Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang shalat tanpa tuma’ninah untuk mengulangi shalatnya itu dan beliau berkata, “Ulangi, karena kamu sebenarnya belum shalat”!.
Baca juga: Pernikahan Mantan Istri dengan Pria Lain Apakah Memperbarui Jumlah Talak?
Sama pula orang yang lupa melaksanakan thaharah sehingga dia shalat tanpa wudhu maka dia harus mengulangi shalatnya, sebagaimana Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang di tumitnya ada yang belum terkena air untuk mengulang wudhu dan shalatnya lagi.
Sedangkan orang yang sudah melaksanakan kewajiban sesuai dengan batas kemampuannya maka Allah berfirman, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” – QS. At-Taghabun:16. Selaras pula dengan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, “Jika diperintahkan kepada kalian untuk melaksanakan sesuatu maka lakukanlah semampu kalian.”
Selesai dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah.
Ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Hanbali bahkan dinyatakan sebagai mansush (yang disebut tegas) oleh Imam Ahmad sebagaimana keterangan Al-Khiraqi dalam Mukhtasharnya:
“Pasal: Kalau dia tidak mendapati kecuali pakaian bernajis maka Ahmad berkata, dia harus shalat menggunakan itu dan tidak boleh shalat dengan telanjang (aurat terbuka).”
Ibnu Qudamah menjelaskan,
“Yang mansush (dinyatakan) dari Imam Ahmad bahwa dia tidak lagi perlu mengulang shalatnya, karena suci dari najis menjadi syarat yang telah luput. Imam Ahmad telah menegaskan bahwa orang yang shalat di tempat bernajis dan dia tidak mungkin keluar dari situ maka dia tak perlu mengulang shalat. Demikian pula dalam kasus ini. Ini juga pendapat Malik dan Al-Auza’i dan inilah yang shahih (benar), karena dia adalah syarat shalat yang tak mampu dilakukan sehingga gugur seperti halnya sutrah dan menghadap kiblat (bila tak mampu dilakukan).” – Al-Mughni, jilid 2 hal. 316, cetakan Hajr 1997
Baca juga: Tak Bisa Bayar Hutang Barang Gadai Jadi Milik Kreditur, Bolehkah?
Dalam madzhab Hanafi bila seseorang pakaiannya kena najis dan dia tak punya pakaian lain sementara najis itu mengenai area kurang dari seperempat pakaiannya maka dia hendaknya shalat dengan pakaian bernajis itu dan shalatnya sah serta tidak perlu mengulang bila sudah dapat pakaian bersih baik masih dalam waktu shalat itu maupun waktunya telah selesai.
Al-Quduri dalam Mukhtasharnya berkata,
“Siapa yang tidak mendapatkan apa yang bisa menghilangkan najis maka dia boleh shalat bertempelkan najis itu dan tak perlu mengulang shalat.”
Kemudian bila najis itu lebih dari area seperempat maka menurut pendapat resmi madzhab Hanafi dia boleh memilih antara shalat tanpa pakaian meski terbuka auratnya, dengan shalat tetap dengan pakaian bernajis itu. Dalam kedua hal itu manapun yang dia pilih, dia tidak perlu mengulang shalatnya lagi bila keadaan sudah mendapatkan pakaian.
Tentu saja yang lebih sesuai dengan maksud syariat adalah shalat dengan pakaian meski bernajis daripada shalat tanpa pakaian hingga terbuka aurat, karena kalau auratnya terbuka tentu akan dilihat orang dan itu tentu tak pantas. Sedangkan memakai pakaian bernajis masih pantas dan dimaklumi bila memang tak ada pakaian lagi.
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: redaktursabili@gmail.com