Siapa Malin Kundang di Hadapan Ibu Pertiwi?
Kita beruntung, memiliki banyak legenda atau cerita rakyat yang bisa dituturkan kepada anak-anak. Malin Kundang adalah salah satu legenda populer yang digemari anak-anak dan orang tua sekaligus. Anak-anak tentu saja tertarik pada kisahnya. Orang tua gemar menuturkannya kepada anak-anak untuk menyisipkan pesan tentang pentingnya nilai berbakti kepada orang tua dan bahayanya durhaka kepada orang tua. Orang tua mana yang tak ingin anaknya menjadi anak yang berbakti?
Legenda anak durhaka itu kini kembali ramai dibincangkan. Kali ini bukan di kamar tidur anak-anak sebagai dongeng pengantar bobok yang dituturkan oleh ayah atau bunda mereka. Tetapi justru oleh para senior, tepatnya para calon pemimpin bangsa, yang akan menjadi presiden maupun yang akan menjadi anggota legislatif. Ada apa gerangan?
Begitu populernya legenda itu, maka jika ada anak yang dicap oleh orang tua atau masyarakatnya sebagai Malin Kundang, dapat dipastikan anak tersebut adalah anak yang durhaka. Ya, Malin Kundang telah menjadi simbol dari sikap durhaka anak terhadap Ibu.
Nah, jika ada politisi yang memilin-milin nama Malin Kundang hari ini, dan memberi cap pada politisi lain sebagai Malin Kundang, sudah barang tentu maksud yang terkandung di dalamnya adalah tudingan adanya sikap durhaka, sikap tidak bisa balas budi, dan sikap tidak hormat kepada orang yang telah berjasa kepadanya.
Adalah Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, sebagai sosok di balik viralnya kembali nama Malin Kundang di jagat politik Indonesia. Prabowo mengucapkan nama tersebut dalam lanjutan kampanye politiknya beberapa waktu lalu di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Ungkapan tersebut seperti menegaskan kata-kata yang sebelumnya ia ungkap dalam ajang kampanye yang lain. Saat itu, ia menyitir pepatah lama “Air susu dibalas dengan air tuba.” Meski tak menyebut nama, publik lantas mengaitkan kata-kata Prabowo dengan sosok rival politiknya, yakni Anies Rasyid Baswedan, Capres dengan nomor urut 1.
Baca juga: Bisakah Model Kampanye “Desak Anies” Sesukses Mushab bin Umair di Madinah?
Cukup beralasan jika publik mengaitkan pernyataan Prabowo dengan Anies Rasyid Baswedan. Debat panas keduanya pada ajang Debat Calon Presiden putaran ketiga memang mengungkapkan sejumlah “Perasaan dan klaim” Prabowo sebagai sosok yang berjasa besar terhadap Anies, khususnya dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Maka, “serangan” Anies terhadap Prabowo dalam debat itu dimaknai sebagai sebentuk sikap tak etis dan tak tahu balas budi. Prabowo dalam debat tersebut bahkan terang-terangan menyebut Anies tak layak berbicara etika!
Hal ini dikuatkan dengan fakta setelah debat. Prabowo nampak kerap menunjukkan sikap baper dan kekecewaannya terhadap Anies di hadapan para pendukungnya.
Kenyataan inilah yang menguatkan asumsi publik bahwa Malin Kundang yang ia sebut dialamatkan kepada Anies Baswedan. Pro-kontra soal Malin Kundang pun makin meluas, saat media mainstream nasional menjadikannya sebagai tema diskusi yang melibatkan secara langsung timses dari semua Capres. Bukannya semakin jelas, justru bermunculan spekulasi yang kian luas tentang sosok Malin Kundang dalam jagat politik nasional.
Malin Kundang di Hadirat Ibu Pertiwi
Tepatkah menggunakan terminologi “Malin Kundang” dalam dunia politik? Adagium yang berlaku dan dijunjung oleh para politisi di mana pun adalah, “Di dalam politik tidak ada yang abadi, selain kepentingan”.
Rasanya kalimat itu telah dipahami oleh semua insan politik di Indonesia. Teramat sering kita amati dan saksikan, hari ini berantem besok berkoalisi. Di dalam Pilpres berseteru habis-habisan, tetapi bergandengan tangan pada saat Pilkada baik Gubernur maupun Walikota/Bupati. Itulah yang kita saksikan dalam berbagai episode Pemilu dan Pilkada, setidaknya dua dasawarsa terakhir.
Makanya, rada aneh saat ada tudingan tentang sosok Malin Kundang dalam Pilpres kali ini. Pertanyaan yang muncul adalah, “Memang siapa yang tak pernah jadi Malin Kundang dalam realitas politik kita yang serba cair ini?”
Serunya lagi, meski publik berpendapat bahwa tudingan sosok Malin Kundang itu di alamatkan kepada Anies Baswedan, pernyataan Prabowo yang tak menyebut nama itu bisa ditarik ke mana-mana. Masing-masing partai mungkin merasa punya “Anak Durhaka”.
Di dalam situasi politik hari ini, PDIP sesungguhnya yang paling layak menggunakan sebutan Malin Kundang untuk beberapa kadernya yang mbalelo. Betapa tidak. PDIP dikomandani oleh sosok ibu yang kharismatik, Megawati Soekarnoputri. Ia bahkan sering menyebut kader PDIP sebagai “Anak-anakku” dan beliau disebut oleh para kadernya dengan sebutan “Ibu”.
Baca juga: Demokrasi Melankolis: Menangisi Prabowo di Medsos, Simpati atau Orkestrasi?
Mereka yang mbalelo dan tidak nurut pada dawuh sang Ibu, pantas untuk disebut sebagai Malin Kundang. Apalagi jika yang mbalelo itu adalah kader-kader yang sudah menikmati empuknya kursi kekuasaan, sebagai Bupati, Walikota, atau kedudukan politik yang lainnya.
Bukankah kedudukan yang mereka nikmati hari ini adalah efek dari restu sang Ibu untuk maju dalam Pilkada, Pilgub, Pilbup, dan Pilpres? Jika Megawati tak memberi restu, apakah tiket pencalonan dirinya dimungkinkan? Pasti tidak.
Demikian pula dengan partai lain. Mungkin akan memiliki hikayat Malin Kundang-nya sendiri. Bahkan pihak yang mencetuskan istilah Malin Kundang pun tak bisa bersih dari karakter itu di mata pihak lain.
Prabowo Subianto, misalnya. Bisa jadi ia dianggap sebagai Malin Kundang oleh para pendukung garis kerasnya di Pilpres 2019 yang lalu. Pasalnya, banyak pendukungnya yang merasa terkhianati saat ia menerima tawaran menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Presiden Joko Widodo.
Memori pendukungnya akan mengulang betapa kerasnya perseteruan mereka yang digelari sebagai Kadrun dengan para pendukung Jokowi yang mereka sebut sebagai Cebong. Lantas, jika mau jadi menteri, mengapa harus nyapres? Banyak pendukung Prabowo yang sakit hati dan merasa dikhianati karena hal itu. Malin Kundang-kah Prabowo?
Anak durhaka atau Malin Kundang sebagai terminologi dalam keluarga politik nampaknya perlu diberi koridor pemaknaan yang lebih jelas dan etis. Agar tak liar menghantam mereka yang berubah orientasi dan dukungan politiknya.
Kami, rakyat Indonesia, sesungguhnya lebih cemas jika semua politisi malah mabuk kekuasaan dan mengumbar syahwat politiknya untuk sekadar menang dan menduduki jabatan politik. Tak lagi peduli dengan idealisme, tak peduli dengan etika, hanya ngibul dan memperalat rakyat. Jangan-jangan kalian semua adalah Malin Kundang itu di hadapan Ibu Pertiwi?