Demokrasi Melankolis: Menangisi Prabowo di Medsos, Simpati atau Orkestrasi?

Demokrasi Melankolis: Menangisi Prabowo di Medsos, Simpati atau Orkestrasi?
Capres nomor urut satu Anies Baswedan, capres nomor urut dua Prabowo Subianto dan capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo beradu gagasan dalam debat ketiga Pilpres 2024. / Foto Istimewa

Muncul berita tak biasa pasca Debat Capres 7 Januari 2024. Banyak berita yang hadir dengan tema “Warga menangisi Prabowo Subianto karena dicecar oleh dua lawan debatnya” dengan redaksi cukup beragam. Bahkan beberapa berita tersebut menampilkan capture wajah yang tengah menangisi Prabowo di berbagai platform media sosial semisal tiktok dan short.

Tempo menurunkan judul: “Prabowo Subianto Dicecar Anies dan Ganjar, Warga Tiktok Sedih”. Sementara judul di CNBC Indonesia “Viral Video Menangisi Prabowo Usai Debat Capres…”. Tirto.ID menurunkan judul “Saat Gen Z Menangis Lihat Prabowo Diserang Anies-Ganjar di Debat.” Kumparan menurunkan judul yang tak kalah dramatis “Simpati ke Prabowo, Fenomena Warganet Menangis di Medsos Terus Bertambah.” Hal senada diturunkan pula oleh Viva: “Viral Reaksi Menangis di Medsos Pasca Debat Capres, Makin Hari Terus Bertambah”. Detik.com pun tak ketinggalan: “Reaksi Menangis di Medsos Usai Debat Capres Makin Hari Terus Bertambah.”

Masih banyak lagi. Tentu ini menjadi fenomena baru dalam dinamika demokrasi di Indonesia. Komentar para pembaca berita di kolom yang disediakan juga tak kalah sengit. Sudah tentu mengandung pro dan kontra. Banyak yang ikut simpati, tetapi tak sedikit yang berkomentar miring, bahkan menganggap nangis ramai-ramai di medsos sebagai settingan murahan.

Indonesia memang warna-warni dan kaya rasa. Layaknya makanan kita yang terkenal dengan keragaman cita-rasanya, demokrasi kita juga menyajikan ‘rempah-rempah politik’ yang tak kalah sedap dibandingkan bumbu dapur yang mampu menghadirkan aneka sensasi rasa.

Meski ukuran lezat terkadang subyektif, minimal kita bangga dengan anugerah kekayaan rasa. Bagi penggemar terasi, cabai yang diulek dengan tambahan terasi akan semakin membuat nafsu makan menggeliat liar. Bagi yang tidak suka, terasi tak lebih dari udang busuk yang amit-amit jika harus memakannya. Itu pula yang terjadi dengan bumbu-bumbu politik hari ini. Silakan menikmati bagi yang suka.

Baca juga: Tahun 2024, Tahun Pemilu Terbesar dalam Sejarah Masyarakat Dunia

Debat dan Demokrasi Melankolisme

Di dalam ajang kampanye dan uji kapasitas kepemimpinan bagi calon presiden, debat politik memang semestinya rasional, elegan, artikulatif, serta menyerang secara argumentatif dan berbasis data. Debat publik juga akan menjadi ajang bagi para pemilih untuk melihat kapasitas sang calon presiden. Seberapa siap untuk adu argumen, adu data, dan yang paling penting adalah untuk mengetahui seberapa jauh para Capres tersebut mengerti urusan kenegaraan, serta melihat visi mereka untuk memajukan Indonesia.

Bahkan tak hanya itu. Debat publik juga akan menjadi ajang untuk menilai “kedalaman” pribadi setiap calon presiden. Tentang seberapa tenang, respek terhadap lawan, terkendali, dewasa, sang calon? Atau apakah ia reaktif, asbun, agresif, pemberani, dan apakah gesturnya bagus? Dan seterusnya.

Masyarakat demokrasi yang terdidik akan melihat panggung debat publik sebagai data yang terbuka tentang sosok yang mestinya mereka dukung. Penyikapannya tentu harus rasional dan obyektif. Dari sana diharapkan tumbuh kepercayaan terhadap kapasitas Capres.

Munculnya reaksi atau respon berupa tangisan massal untuk Prabowo Subianto sebagai salah satu peserta debat publik memang agak di luar kelaziman. Mungkin baru terjadi di Indonesia. Debat publik di ajang Pilpres di negara lain umumnya menjadi preferensi bagi pemilih yang bersifat rasional obyektif.

Tentu boleh terjadi dan tidak salah. Sekali lagi, karena Indonesia begitu kaya rasa dan penuh perasaan. Demokrasi di Indonesia memang tak melulu rasional dan logis. Perasaan publik adalah fakta penting yang berpengaruh terhadap praktik demokrasi di Indonesia.

Baca juga: Prof. Dr. Din Syamsuddin: “Dari Debat Pilpres Tampak Perbedaan Watak Pemimpin”

Masyarakat Indonesia umumnya melankolis. KBBI memberi makna melankolis sebagai pembawaan yang lamban, pendiam, murung, sayu, sedih, muram. Lihatlah bagaimana lagu dengan nada melo, sedih, patah hati dan menghiba umumnya populer di Indonesia. Demikian juga dengan karya-karya sinematografi. Telenovela yang melankolis cenderung lebih populer dan berhasil di pasar Indonesia.

Pembawaan yang melankolis itu pula yang membuat masyarakat kita mudah iba dan bersimpati kepada penderitaan orang lain. Publik lebih mudah berpihak kepada orang yang mereka anggap sebagai korban, atau pihak yang menderita dan dizalimi.

Pilpres sebagai ajang demokrasi dan politik yang mestinya rasional ternyata kerap kali tak lepas dari pengaruh sikap melankolisme ini. Menangnya pasangan SBY-JK melawan Megawati-Hasyim Muzadi pada Pilpres 2004 dicatat oleh para analis dan bahkan masyarakat Indonesia sebagai kemenangan yang turut dicampuri perasaan melankolis publik Indonesia saat itu.

SBY yang dipecat oleh Megawati dianggap turut memainkan perasaan publik. SBY dicitrakan sebagai pihak yang disakiti dan korban dari kekuasaan Megawati. Saat Pilpres 2004, SBY dan JK yang muncul sebagai rival Megawati yang notabene berstatus sebagai petahana, ternyata mampu memenangi kontestasi Pilpres itu.  Banyak pengamat menduga, simpati publik menjadi faktor penting kemenangan tersebut.

Saat Jokowi hadir menjadi penantang Prabowo Subianto, citra Jokowi yang ndeso, lugu, berasal dari rakyat jelata, dan terlihat apa adanya, dapat dikapitalisasi untuk meraup simpati dan keberpihakan publik dengan mengontraskannya terhadap Prabowo yang ketika itu dicitrakan sebagai anak pejabat dan mantan menantu Cendana.

Demokrasi kita belum sepenuhnya rasional. Itulah fakta pentingnya. Demokrasi kita masih berbau melankolisme. Itulah kenyataannya. Menang dan menguasai debat bukan jaminan memenangi Pilpres.  Hal ini didukung oleh data tentang tingginya gap jumlah pemilih dengan status pendidikan tinggi dan rendah, mayoritas pemilih kita berpendidikan rendah. Pertimbangan rasional belum dominan. Tergerak oleh perasaan masih menjadi pendorong utama.

Baca juga: Dr. Ujang Komarudin, SH.I, MSi: "Demokrasi Ini Hanya Menguntungkan Pihak Tertentu"

Orkestrasi atau Simpati?

Kembali kepada persoalan nangis ramai-ramai di medsos. Apakah itu murni simpati ataukah orkestrasi? Pertanyaan yang layak diajukan dalam iklim demokrasi. Tidak harus dijawab dengan “ya” atau “tidak”, dan tak harus dijawab sekarang.

Patut kita cermati bersama, dalam debat kemarin Prabowo memang tidak tampil sebagaimana harapan banyak pihak. Ia diharapkan tampil garang, siap dengan data, membeberkan apa yang telah dilakukan dan menantang lawannya dengan berkata, “Anda baru berencana, saya telah berbuat!”

Wajar publik berharap seperti itu. Tema debat adalah pertahanan dan keamanan, sedangkan Prabowo saat ini adalah pejabat Menteri Pertahanan. Ia mantan perwira TNI, mantan Danjen Kopasus, mendapat pendidikan terbaik dalam isu pertahanan dari Amerika Serikat. Tema debat semestinya telah menjadi makanan Prabowo sehari-hari. Di atas kertas, publik memiliki asumsi Prabowo semestinya menguasai dan dominan dalam debat tersebut. Apalagi dua lawan yang dihadapinya bukanlah orang dengan latar belakang militer dan pertahanan.

Namun, fakta tidak seperti harapan publik. Media mainstream dan pengamat bersepakat bahwa Prabowo justru keteteran dalam debat tersebut. Layak dipertanyakan, mengapa Prabowo seperti tak menguasai tema tersebut? Justru kemudian muncul drama-drama di luar debat, termasuk tangisan di medsos itu.

Apakah Prabowo sengaja ingin kalah debat dan mencitrakan diri menjadi bulan-bulanan Anies dan Ganjar demi mengunduh simpati publik dalam drama demokrasi-melankolis itu? Amat disayangkan jika ini adalah orkestrasi.

Baca juga: TikTok Jadi Media Kampanye yang Efektif untuk Memikat Suara Generasi Muda

Pertama, tentu saja ini adalah sebentuk defisit bagi demokrasi yang berkualitas, jika tak ingin dikatakan sebagai pembodohan. Jika terus saja elit politik memanfaatkan awamnya masyarakat untuk memenangi Pilpres, memainkan terus perasaan publik dengan drama “Playing Victim”, maka demokrasi kita tak akan pernah matang dan kekuasaan yang diraih tak pernah mampu menghadirkan kesejahteraan bersama.

Kedua, jika kalah dalam debat dan tangisan di medsos adalah orkestrasi, sesungguhnya pasangan Prabowo-Gibran sedang berjudi dengan risiko kekalahan. Kaum Milenial dan Generasi Z yang sangat akrab dengan media sosial akan mampu mengungkap semua ini sebagai drama murahan ke hadirat publik. Saat itu terjadi, justru muncul arus balik citra yang diharap, kebencian akan viral dan dukungan yang diharapkan akan terbang dari genggaman.

Ketiga, debat publik yang disiarkan langsung oleh media dan diviralkan di media sosial akan berbicara banyak dan akan berpengaruh luas dengan caranya sendiri. Ia akan menjadi fakta. Ia akan menjadi data. Jadi, sebaiknya lupakan gimmick dan drama yang belum tentu efektif di era media sosial hari ini. Masih ada debat yang tersisa, manfaatkanlah secara optimal.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.