Tragedi di Dunia Nyata, Ketika Media Sosial Merenggut Masa Depan Anak

Tragedi di Dunia Nyata, Ketika Media Sosial Merenggut Masa Depan Anak
Tragedi di Dunia Nyata, Ketika Media Sosial Merenggut Masa Depan Anak / Foto Istimewa

Maraknya penggunaan media sosial oleh anak-anak usia dini kini telah menjadi persoalan serius yang tidak bisa diabaikan. Di balik kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, tersembunyi bahaya laten yang mengintai generasi muda. Apa itu? Mulai dari paparan konten negatif, kekerasan digital, hingga perjudian dan pornografi.

Sejumlah kasus nyata dan tragis telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kasus-kasus itu menjadi bukti bahwa media sosial bukan sekadar sarana hiburan, tetapi bisa menjadi ancaman nyata bagi keselamatan mental, fisik, dan moral anak-anak kita.

Tengok saja kasus seorang siswa SMP yang ditemukan meninggal dunia pada 2023, akibat tekanan mental setelah ia mengalami perundungan (cyberbullying) melalui WhatsApp dan Instagram. Ia menjadi sasaran olok-olok teman-temannya setelah fotonya disebar dan dijadikan bahan hinaan. Hal itu berdampak pada gangguan kejiwaan, isolasi sosial, hingga bunuh diri. Ini menunjukkan betapa kejamnya dampak digital jika tanpa kendali.

Challenge semisal “Blackout Challenge” yang menyebar di TikTok telah memakan korban jiwa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Anak-anak mencoba tantangan menahan napas hingga pingsan hanya untuk konten viral. Berdampak pada cedera otak, hilangnya nyawa, dan krisis akhlak. Sebab, anak-anak belum mampu menimbang risiko, tetapi tertarik pada “likes” dan eksistensi.

Ada lagi kasus seorang anak SD diketahui menggunakan ponsel ibunya untuk mengirimkan gift” pada live streamer TikTok, hingga mencapai nilai 10 Juta Rupiah! Si anak menganggap itu adalah "mainan online", padahal ia sedang menguras tabungan orang tuanya. Kerugian finansial pun terjadi karena kecanduan konten dangkal dan kesalahan nilai hidup.

Semangat Idul Adha Menumbuhkan Ketaatan dan Kepedulian Sosial
Ibadah qurban mengajarkan kepada umat Islam untuk tidak terikat pada dunia, melainkan tunduk kepada nilai-nilai ukhrawi dan sosial. Daging hewan qurban pun disalurkan kepada fakir miskin, tetangga, dan kaum dhuafa, sebagai wujud syiar Islam yang rahmatan lil ’alamin.

Laporan Kominfo dan KPAI menunjukkan, 91% anak berusia 10–17 tahun pernah melihat konten yang tidak layak. Mereka tidak mencarinya secara sengaja, namun algoritma media sosial dengan mudah menyuguhkan konten vulgar dan kekerasan. Terjadilah adiksi seksual dini, kerusakan akhlak, dan imitasi perilaku menyimpang.

Anak-anak di Makassar dan Solo dilaporkan ikut serta dalam judi online karena mengeklik link tersembunyi di game online dan TikTok. Beberapa dari mereka bahkan menggunakan uang jajan untuk “bermain” dengan harapan menang.

Apa Kata Islam?

Islam sangat menekankan penjagaan terhadap anak dan akhlaknya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR Bukhari & Muslim).

Anak adalah amanah. Dan media sosial adalah salah satu ujian terbesar di zaman ini dalam menjaga amanah tersebut.

Pemerintah Tetapkan Batas Usia Penggunaan Media Sosial

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Regulasi ini menetapkan batasan usia bagi anak-anak dalam mengakses media sosial dan layanan digital lainnya, dengan tujuan menciptakan ruang digital yang aman dan ramah bagi anak-anak.

Batasan usia tersebut Rinciannya antara lain, usia bawah 13 tahun hanya diperbolehkan memiliki akun pada produk dan layanan digital berisiko rendah yang dirancang khusus untuk anak-anak, dan itu pun harus disertai izin orang tua. Usia 13 hingga 15 tahun: Dapat mengakses layanan digital dengan risiko sedang, namun tetap memerlukan persetujuan dari orang tua. Dan usia 16 hingga 17 tahun diizinkan mengakses layanan digital dengan risiko tinggi, seperti media sosial umum, asalkan telah mendapatkan persetujuan dari orang tua.

Regulasi ini juga mewajibkan penyelenggara sistem elektronik untuk memverifikasi usia pengguna dan memastikan adanya persetujuan orang tua bagi anak-anak yang ingin mengakses layanan digital sesuai dengan kategori usia mereka.

Menimbang Langkah Prabowo Hapus Kredit Macet UMKM
Kebijakan pemutihan utang bagi petani dan nelayan hendaknya tidak menjadi sekadar gimik politik di awal pemerintahan, melainkan perlu dilaksanakan dengan niat dan strategi yang mendalam untuk membantu masyarakat.

Menjaga Akhlak Generasi Muda

Langkah pemerintah ini mendapat dukungan luas dari organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU yang digelar pada Februari 2025 lalu, Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah merekomendasikan agar pemerintah membuat regulasi pembatasan media sosial bagi anak-anak.

“Komisi Qanuniyah memutuskan para pemangku kebijakan harus wajib membuat regulasi yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak-anak,” ujar Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah, Idris Masudi.

MUI juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam mendampingi anak-anak di dunia digital serta perlunya literasi digital yang lebih kuat bagi orang tua dan anak.

Data Penggunaan Internet oleh Anak di Indonesia

Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, penetrasi internet pada Generasi Z (mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012) mencapai 87,02 persen. Bahkan, di daerah tertinggal, usia pertama kali menggunakan internet tercatat berada pada rentang 13 hingga 14 tahun, dengan penggunaan tertinggi untuk media sosial.

Untuk itu, berbagai elemen termasuk Ormas Islam menegaskan pentingnya pendampingan digital oleh orang tua, guru, dan para asatidz. Pembatasan teknis oleh negara tidak akan berhasil jika tidak dibarengi dengan pengawasan langsung dalam keluarga dan pembinaan karakter Islami di sekolah maupun pesantren.

“Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga mendidik manusia agar menjaga pandangan, menjaga lisan, dan menghindari fitnah. Ini semua sangat relevan di dunia maya hari ini,” jelas Ustadz Abdul Somad dalam sebuah kajian daring.

Melalui regulasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS), pemerintah berharap dapat mendorong perusahaan media sosial semisal TikTok, Instagram, dan YouTube, untuk menerapkan sistem verifikasi usia yang lebih ketat dan algoritma yang tidak menjerumuskan anak-anak ke konten destruktif.

Bagi lembaga pendidikan Islam, ini adalah momen penting untuk menguatkan literasi digital Islami, mendorong anak-anak menggunakan teknologi sebagai sarana menuntut ilmu dan berdakwah. Bukan sebaliknya.

Kita tidak bisa menolak teknologi, tetapi kita bisa memastikan anak-anak kita tidak diperbudak olehnya. Media sosial harus menjadi alat dakwah, bukan sumber kerusakan. Orang tua, pendidik, dan umat Islam, harus menyatukan langkah untuk menjaga anak, jaga generasi, jaga akhlak.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.