Solidaritas Nasional untuk Rempang adalah tim gabungan dari beberapa lembaga yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Pekanbaru, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), WALHI Riau, Komisi Untuk Orang hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Trend Asia. Setelah melakukan penyelidikan dan penelitian tentang peristiwa di Rempang, tim dari Solidaritas Nasional untuk Rempang bahwa pengerahan aparat ke Pulau Rempang pada 7 September 2023 itu tidak sesuai dengan proporsionalitas dan necessitas. Pemeliti KontraS, Rozy Brilian, menjelaskan tentang hal itu kepada insan pers pada 17 September 2023.
“Kami menyimpulkan bahwa pengerahan (pasukan) di tanggal 7 September 2023 ke Pulau Rempang tidak sesuai dengan proporsionalitas dan necessitas (kebutuhan, red) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Di dalam beberapa video pun, anggota Kepolisian yang bertugas di lapangan terlihat sangat eksesif dan agresif dengan memukul mundur massa dengan segala cara, yakni penembakan water cannon serta gas air mata,” kata Rozy Brilian.
Rozy mengatakan, pengerahan aparat untuk mengawal aktivitas pematokan tanah di sana dilakukan dalam skala yang sangat besar. Berdasarkan keterangan warga Rempang yang berada langsung di lokasi, kata Rozy, tanggal 7 September 2023 diperkirakan setidaknya terdapat 60 kendaraan yang dikerahkan menuju lokasi disertai oleh setidaknya 1.010 orang lebih personel, yang terdiri dari unsur Polisi, TNI, Satpol PP, dan Ditpam BP Batam. Jumlah ini bahkan dipertegas oleh rilis yang dikeluarkan oleh Humas Polresta Balerang.
“Kami pun mendapatkan informasi bahwa turut terlibat pula pasukan dari Polres Bintan dan Tanjungpinang, khusus dikerahkan untuk membantu pengamanan di tanggal 7 September 2023. Adapun dari berbagai sumber video, terlihat beberapa kendaraan taktis yang digunakan, seperti mobil water cannon, mobil pengurai massa, hingga APC Wolf,” tuturnya.
Menurut Rozy, jika dilihat dari jumlah aparat dan ukuran pengamanannya, tampaknya Kepolisian memang telah memperkirakan akan terjadi bentrokan dengan warga Pulau Rempang. Sebab, jika niat awal pengerahan hanya untuk mendampingi pematokan, tidak masuk akal jika kekuatan yang dikerahkan hingga puluhan mobil dan ribuan pasukan.
Pengusiran Masyarakat 16 Kampung.
Rozy melanjutkan, pihaknya menemukan terjadi pengusiran masyarakat dengan dalih relokasi. Hal itu dilakukan terhadap masyarakat dari 16 Kampung. Kampung-kampung yang warganya terusir itu adalah Tanjung Kertang, Tanjung Kelingking, Rempang Cate, Belongkeng, Pantai Melayu, Monggak, Pasir Panjang, Sungai Raya, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sijatung (Sijantung), Dapur Tiga, Air Lingka, Kampung Baru, dan Tanjung Pengapit.
Selain itu, ada sejumlah fakta yang mereka temukan. Pertama, berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada salah satu warga di Sembulang, BP Batam hanya dua kali melakukan sosialisasi kepada warga yang terdampak. Kedua, sosialisasi dilakukan searah. Ketiga, warga diminta mendaftar ke posko dari tanggal 11-20 September di dua tempat, yaitu Kantor Kecamatan Galang di Sembulang dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) yang kini berganti menjadi Kantor Koramil.
Menurut Rozy, kehadiran aparat di sana membangun rasa ketakutan bagi warga Rempang. “Pasca peristiwa kekerasan tanggal 7 September 2023, aparat gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP, dan Ditpam BP Batam, melakukan pengamanan di Pulau Rempang. Berdasarkan informasi yang kami gali langsung di lapangan, setidaknya terdapat 5 Posko Penjagaan di Pulau Rempang, baik di Jalan Trans Barelang hingga daerah Sembulang,” ucapnya.
Rozy menyebut, Posko pertama terlihat di Jembatan IV atau lokasi utama terjadinya bentrokan tanggal 7 September 2023. Lokasinya persis di pinggir jalan Trans Barelang pasca jembatan IV, Pulau Rempang. Pihaknya menduga, Posko itu sebagai tempat screening awal aparat terhadap siapa pun yang masuk ke Pulau Rempang.
Posko lainnya secara berturut-turut ada pada Simpang Cate, Yayasan Yaa Bunaya, di Kedai Simpang Rezeki, di Sungai Buluh Simpang Sembulang, dan di Kantor Camat Galang. Pasca kerusuhan tanggal 7 September 2023, posko yang dibangun oleh aparat gabungan tersebut ramai terisi. “Kami mengidentifikasi bahwa sekitar 20 sampai 30 aparat gabungan ada di masing-masing posko yang terdiri dari aparat gabungan,” kata Rozy.
Khusus posko di Kecamatan Galang, selain pekarangannya penuh dengan aparat beserta perangkatnya, lokasi itu juga dijadikan sebagai tempat pendaftaran utama warga yang ingin direlokasi. Hal ini tentu saja problematis. Di tengah ketakutan masyarakat pasca kejadian tanggal 7 September 2023 yang melibatkan aparat keamanan, warga Pulau Rempang semacam dipaksa mendaftar, akan tetapi seakan-akan dengan sukarela mendaftarkan sendiri untuk direlokasi.
Tidak sampai di situ. Pihaknya juga menemukan bahwa di pekarangan Kantor Kecamatan yang sekaligus lokasi pendaftaran relokasi, terdapat sejumlah aparat yang berasal dari Satuan Brimob dan dipersenjatai secara lengkap dengan senapan laras panjang dan menggunakan sepeda motor. Hal itu menurut dia jelas berlebihan, mengingat situasi sudah diklaim aman. Penempatan aparat gabungan di fasilitas sipil semisal kantor kecamatan tentu juga akan sangat problematik, mengingat kecamatan melingkupi berbagai urusan.
“Sejauh pengamatan kami, aparat gabungan pun lalu-lalang di Pulau Rempang tanpa tujuan yang jelas. Beberapa warga pun mengakui dirundung ketakutan, sehingga mengakibatkan aktivitasnya terganggu karena merasa tidak tenang,” jelasnya.
Timbulkan Korban Anak, Perempuan, dan Lansia.
Rozy melanjutkan, penelitian mereka menunjukkan, dalam peristiwa pengejaran massa aksi, gas air mata yang ditembakkan telah masuk ke dalam sekolah, yaitu SDN 024 dan SMPN 22. Peristiwa tersebut mengakibatkan murid yang sedang menjalankan proses pembelajaran pun berhamburan ke luar kelas untuk menghindari gas air mata. Murid SMPN 22 juga harus mengevakuasi diri dengan berlarian ke arah bukit di belakang sekolah. Dampaknya, aktivitas pendidikan diberhentikan selama 2 hari.
“Dari hasil wawancara dengan salah satu orang tua murid di SMPN 22, anaknya mengalami trauma hingga tidak mau kembali ke sekolah karena merasa masih tegang dan suka merasa sesak. Begitu pun dengan beberapa anak tetangganya yang mogok untuk kembali ke sekolah karena takut akan ada polisi yang kembali menyerang sekolah. Tidak hanya murid. Beberapa orang tua juga mengalami dampak berkelanjutan, seperti melarang anaknya untuk sekolah sampal situasi kembali aman,” urainya.
Rozy melanjutkan, aktivitas rutin masyarakat sempat lumpuh sebagian, setidaknya per 12 September 2023. Mata pencaharian masyarakat yang didominasi oleh nelayan pun harus terhenti. Aktivitas melaut jika pun dilakukan, tidak akan efektif, karena mereka memikirkan nasib anak dan istri yang ditinggal di rumah yang dikhawatirkan akan diamankan petugas. Sejumlah warga memberikan kesaksian bahwa fokus utama mereka ialah untuk mempertahankan kampung dari pematokan.
“Begitupun masyarakat lain yang berprofesi sebagai pedagang atau pemilik toko. Angka penjualannya turun secara signifikan. Penyebab utamanya adalah Jalan Trans Barelang yang sepi pasca kerusuhan. Kerugian materiil pun didapatkan oleh penyedia jasa wisata yang mengaku nihil turis yang berkunjung ke beberapa obyek wisata di Pulau Rempang dan Galang,” ucapnya.
Efek Panjang Bagi Korban.
Di bagian lain pemaparannya, Rozy menekankan, dalam beberapa video yang tersebar di media, aparat gabungan khususnya Anggota Polri di lapangan terlihat menembakkan gas air mata secara langsung kepada masyarakat. Asap gas air mata tersebut pun menyebar ke kediaman warga sekitar. Akibatnya, warga terpaksa menghirup gas berbahaya itu.
“Sampai tanggal 12 September 2023, kami mewawancarai beberapa korban yang mengaku bahwa gas air mata menimbulkan efek berupa sesak dan mata sakit. Pasca kejadian tanggal 7 September 2023, beberapa korban khususnya Murid SMPN 22 beserta seorang guru memang dilarikan ke rumah sakit, salah satunya karena efek gas air mata. Penggunaan gas air mata memang dalam beberapa kasus telah menimbulkan korban jiwa. Sayangnya, Kepolisian selalu menyampaikan bahwa penggunaan gas air mata telah dilakukan secara terukur kendati sudah banyak menimbulkan kerugian bagi Masyarakat,” katanya.
Rozy juga menyoroti posisi Walikota yang saat ini menjabat yaitu Muhammad Rudi yang juga merupakan Kepala BP Batam. Hal itu jelas berbahaya, mengingat jabatan administratif yang diemban akan bias dengan tugasnya sebagai Kepala BP yang bertugas merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Pengusahaan Batam.
“Konsekuensinya, seorang Walikota hanya akan cenderung berpihak kepada kelompok pemodal belaka. Sementara warga yang memiliki masalah seharusnya difasilitasi dan dicarikan solusinya oleh pemangku jabatan seperti halnya Walikota. Dan hal itu akan sulit terwujud. Selain itu, ada bentuk intervensi yang dilakukan dan tentu saja peran BP Batam yang sangat besar dalam sosialisasi pendaftaran relokasi ke kantor Kecamatan. Kantor tersebut bahkan telah dijadikan Posko Pengamanan. Alih-alih menjadi tempat berlindung bagi warga sebagaimana fasilitas sipil pada umumnya, BP Batam bahkan hingga tanggal 13 September 2023 masih aktif melakukan sosialisasi dengan metode door to door agar masyarakat mau melakukan pendaftaran relokasi,” urai Rozy.
Agresifitas Aparat Keamanan.
Sedangkan Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menegaskan, pihaknya menyatakan bahwa apa yang terjadi di Pulau Rempang tanggal 7 September 2023 itu adalah bentuk dari teror psikologis negara. Ada sejumlah hal yang dimaksud dengan teror psikologis negara. Yang pertama adalah adanya bentuk penyangkalan, pembatasan dan penutupan informasi, terutama kepada Masyarakat.
“Kami melihat, semua proyek strategis nasional termasuk daerah empang ada satu siklus terkait dengan penutupan pembatasan akses terhadap informasi, yang kemudian berimplikasi terhadap ketidak tahuan masyarakat dan juga kebingungan masyarakat dalam penalaran terhadap kebijakan. Yang kedua, kami juga melihat ada kekerasan simbolik bahwa terdapat pembentukan 7 Posko yang itu merupakan salah satu bentuk simbolik dari upaya-upaya untuk melakukan penyebaran teror dan juga intimidasi, terutama terhadap keseharian warga masyarakat yang menjalankan aktivitas sosial dan juga ekonomi di Pulau Rempang. Kami juga menemukan bahwa terdapat bentuk-bentuk sweeping atau upaya-upaya untuk memonitor atau melakukan identifikasi terhadap beberapa orang yang ditengarai merupakan pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab di dalam proses kekerasan yang terjadi tanggal 7 September dan juga tanggal 11 September. Sweeping atau upaya-upaya melakukan identifikasi ini biasanya kemudian dilengkapi upaya-upaya mengkambing hitamkan orang-orang yang dianggap melakukan bentuk-bentuk kerusuhan sebelum adanya upaya-upaya proses hukum yang sifatnya juga bisa diambil secara lebih baik dan juga secara konstruktif,” jelasnya.
Dimas pun mengaskan, pihaknya mendesak sejumlah pihak untuk segera melakukan sejumlah hal.
Pertama, Presiden Jokowi untuk segera menghentikan proyek Rempang eco-city dan mencabut status Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Kedua, Kepolisian dan TNI untuk menghentikan penggunaan kekuatan, khususnya gas air mata secara berlebihan untuk menangani konflik di masyarakat. Aparat gabungan juga harus segera menarik pasukan dan membubarkan seluruh posko yang saat ini ada di Pulau Rempang, yang berimplikasi pada terbangunnya iklim ketakutan dan ketidaknyamanan di tengah-tengah masyarakat. Polri dan TNI juga harus berhenti mengerahkan aparat menuju Pulau Rempang, khususnya untuk melakukan sosialisasi.
Ketiga, pemerintah terkait, khususnya BP Batam, untuk mendengarkan aspirasi Masyarakat Pulau Rempang untuk tidak melakukan relokasi. Pemerintah harus mengedepankan jalan-jalan dialogis untuk menyelesaikan persoalan ini.
Keempat, berbagai pejabat terkait seperti Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia; dan Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto; juga harus berhenti memproduksi pernyataan ngawur yang menyesatkan dan hanya melukai perasaan warga Rempang.
Kelima, Komnas HAM RI untuk segera melakukan investigasi independen dan menetapkan bahwa kasus Rempang merupakan peristiwa pelanggaran HAM.
Keenam, Ombudsman RI untuk meneliti dugaan maladministrasi dalam kasus Rempang, khususnya dalam penentuan PSN, proses relokasi warga, dan peran BP Batam.
Ketujuh, pemerintah harus hadir melakukan pemulihan bagi para korban dan umumnya pada situasi yang belakangan terjadi. Harus dipastikan bahwa seluruh korban mendapatkan pemulihan yang layak dan efektif, baik secara fisik maupun psikologis,” urainya.
Selanjutnya, Staf Advokasi YLBHI, Edy Kurniawan, membacakan desakan. “Satu, Kasus Rempang, saatnya mengakhiri impunitas sebagai penyebab utama Pelanggaran HAM. Pelaku secara nyata tidak pernah dihukum. Dua, penegakan akuntabilitas atau pertanggung jawaban secara pidana terhadap Anggota Polri, TNI, dan Satpol PP, yang melakukan pelanggaran HAM. Ini demi mencegah kekerasan di masa mendatang. Tiga, tidak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk pimpinan negara sebagai unsur penting supremasi hukum. Empat, mendesak Komnas HAM berdasarkan kewenangannya dalam UU HAM untuk melakukan penyelidikan serius atas dugaan Pelanggaran HAM Berat dalam kasus Rempang,” demikian desakan Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!