Penulis: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah dan Penulis Biografi Politisi Muslim)
Episode terakhir kekuasaan rezim Nasakom Sukarno ditandai dengan gelombang penangkapan terhadap para politisi Masyumi, PSI, dan tokoh-tokoh yang kritis terhadap kekuasaan.
Di antara yang terseret oleh gelombang penangkapan tanpa dasar hukum itu ialah Sutan Sjahrir (1909-1966). Bung Kecil yang membawa persoalan Indonesia ke forum internasional itu bahkan harus menghembuskan nafas terakhirnya dalam status sebagai tahanan rezim Nasakom Sukarno.
Sjahrir Keliru
Dalam suatu percakapan santai bersama Mr. Mohamad Roem (Masyumi) dan Soebadio Sastrosatomo (PSI) di penjara Jl. Wilis, Madiun, Entah mengapa, percakapan ringan yang berlangsung cukup lama itu mengambil tema perkawinan. Dengan senyum menariknya yang terkenal, Sjahrir berkata: "Saya keliru. Mengira di tanah air yang merdeka saya tidak akan diasingkan lagi".
Dari Wisma Wilis, Madiun, Sjahrir dan para tahanan politik dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer di Jl. Budi Utomo, Jakarta. Di RTM ini Sjahrir sakit. Himbauan Bung Hatta agar Sjahrir dibebaskan, tidak dihiraukan oleh Presiden Sukarno.
Menyaksikan Sjahrir yang sakitnya makin parah, para tahanan politik mendesak pemerintah agar memberi perawatan yang lebih baik kepada Sjahrir. Karena desakan itu, Sjahrir dikeluarkan dari RTM dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Meskipun sudah dirawat di RSPAD, tanda-tanda kesembuhan Sjahrir tidak kunjung terlihat. Karena itu muncul desakan agar Sjahrir diizinkan dirawat di luar negeri.
Menurut Venthe Sinyal, dengan sensor sangat ketat, akhirnya Sjahrir diizinkan dirawat di Zurich, Swiss, sampai akhirnya pada 16 April 1966, Sjahrir wafat.
Pidato Getir Bung Hatta
Pada hari Sjahrir wafat, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres yang merehabilitasi nama baik Sjahrir dan menetapkan Sjahrir sebagai pahlawan nasional. Dengan Keppres itu, Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan ,(TMP) Kalibata.
Pada hari pemakaman Sjahrir, ribuan rakyat berbondong,-bondong datang ke TMP. Disaksikan ribuan pentakziah, sahabat karib Sjahrir, Mohammad Hatta mengucapkan pidato pelepasan dalam nada yang sangat getir.
Hatta antara lain berkata, "Sutan Sjahrir berjuang untuk Indonesia merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang kemerdekaannya turut ia perjuangkan".
Bukankah ini suatu tragedi?
Sutan Sjahrir lebih banyak menderita di masa Republik Indonesia merdeka yang berdasarkan Pancasila dibandingkan dengan masa Hindia Belanda (kolonial) yang ditentang nya.
Di zaman Hindia Belanda, setelah dipenjarakan preventif setahun lamanya, nasibnya diputuskan untuk hidup seterusnya dalam pembuangan. Ada ketentuan musuh yang ganas itu yang sikapnya sudah dapat diperhitungkan dari semulanya. Tetapi di dalam Republik Indonesia yang merdeka, yang berdasarkan Pancasila, yang seharusnya menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Dengan sedikit sekali memperhatikan dasar kemanusiaan, hanya keadaan sakit lah yang memungkinkan ia pergi berobat ke Zurich. Namun, masih tetap dalam statusnya sebagai tahanan.
Ketika Presiden Sukarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin, dan mulai bertindak keras dengan memberangus media massa yang mengeritiknya, membubarkan partai politik dan organisasi yang dianggap tidak setia kepadanya, Bung Hatta mengingatkan bahwa rezim diktator yang tergantung pada kewibawaan seseorang, tidak lah lama umurnya. Demokrasi Terpimpin yang dilahirkan oleh Sukarno, tidak akan lebih panjang umurnya dari umur Sukarno sendiri. Apabila Sukarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan runtuh seperti runtuhnya sebuah rumah karton.
Prediksi Bung Hatta terbukti. Sesudah pemberontakan berdarah G.30.S/PKI, rezim Nasakom Sukarno tumbang. Tahanan politik rezim Nasakom Sukarno dibebaskan oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Respon tokoh-tokoh yang dipenjarakan tanpa proses
Tidak lama sesudah dibebaskan oleh Jenderal Soeharto, kepada wartawan di bandara Schiphol, Mr. Mohamad Roem tegas berkata, "Saya tidak punya waktu untuk membenci Sukarno”.
Sekjen Partai Masyumi, M. Yunan Nasution mengingatkan: "Dalam kehidupan politik, peristiwa yang demikian (dipenjara tanpa proses hukum) harus ditinjau dalam scope yang lebih luas". "Dendam? Tidak ada dendam-dendaman," ujar Mohammad Natsir.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!