Kala terbitnya PP pembubaran Ikhwanul Muslimin pada 8 Desember 1948, Para pemuda dari kader ikhwan mendesak Hasan Al-Banna untuk melancarkan aksi pemberontakan terhadap pemerintahan Naqrasyi Basya. Mereka mengatakan bahwa sumber daya ikhwan kala itu sudah cukup kuat untuk menggulingkan Naqrasyi dan anteknya.
Namun, Hasan Al-Banna menolaknya dengan tegas. Ia mengingatkan akan potensi perang saudara yang berujung pada hancurnya Mesir.
Lalu ia melanjutkan dengan kisah Nabi Sulaiman a.s. kala didatangi oleh dua orang perempuan yang berselisih memperebutkan seorang bayi. Keduanya mengklaim bahwa bayi tersebut adalah darah dagingnya. Lantas Nabi Sulaiman a.s. memerintahkan keduanya untuk membelah bayi itu menjadi dua bagian.
Sontak, salah seorang dari keduanya menolak perintah itu, ia tak sanggup membayangkan bagaimana sakitnya sang bayi jika dibelah menjadi dua. Dengan demikian Nabi Sulaiman mengetahui bahwa wanita tersebut adalah ibu kandung si bayi. Ibu kandung tentu tak rela jika darah dagingnya disakiti apalagi dicabik.
"Kita dan Pemerintah memainkan peran yang sama dari kisah di atas, Kita semua memegang tanggung jawab besar atas eksistensi dan masa depan negara ini. Maka, singsingkan lengan baju dan kuatkanlah bahu kalian. Siapkan diri untuk menghadapi badai cobaan di masa yang akan datang, semata-mata demi keutuhan dan kedaulatan tanah air tercinta". Sambung Al-Banna.
Di lain waktu, beberapa tahun sebelumnya datang seorang utusan dari Kedutaan Besar Inggris menemui Hasan Al-Banna. Utusan tersebut menyampaikan pesan, “diantara program Kerajaan Inggris adalah memberikan dukungan dan bantuan kepada ormas keagamaan. Oleh karenanya sebagai bentuk komitmen dan apresiasi atas kiprah dan dedikasi Ikhwanul Muslimin selama ini, Kerajaan Inggris melalui kedubesnya di Kairo akan memberikan hibah berupa cek senilai 10.000 poundsterling."
Al-Banna tersenyum lalu berkata,
“Negara anda sedang berperang dan tentunya lebih membutuhkan dana tersebut.”
Lantas utusan tersebut segera mengambil lebih banyak cek lagi, karena menduga bahwa tawaran 10.000 poundsterling masih kurang. Proses negosiasi berjalan alot dan Al-Banna bersikukuh untuk menolak bantuan tersebut. Beberapa kader ikhwan yang melihat peristiwa tersebut saling berbisik. Mereka heran dengan sikap Al-banna. Padahal jika diterimanya, dana tersebut bisa digunakan untuk menjalankan banyak program dakwah dan sosial.
Salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya, "Kenapa anda menolaknya wahai Imam?" Al-Banna menjawab, “Orang yang menengadahkan tangannya tidak akan pernah berdiri tegak kembali, dan tangan yang menerima bantuan tidak akan bisa digunakan untuk menegakkan kebenaran. Kita berjuang dengan uang kita, bukan dengan uang orang lain, dengan jiwa kita bukan dengan jiwa orang lain."
Tepat 12 Februari 1949, 74 Tahun lalu Al-Banna menghembuskan nafas terakhir, setelah ditembak oleh agen rahasia polisi mesir. Usianya singkat dan nafasnya telah terhenti, tapi kegigihan serta konsistensi sikapnya seakan masih hidup membersamai. Komitmennya akan keutuhan tanah air dari campur tangan asing masih sangat relevan dalam dinamika kehidupan sosial dan politik hari ini. Semoga, tangan kita senantiasa tegak serta keutuhan tanah air menjadi nuansa batin kita terdalam. Wallahu’alambishowab
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!