Pertemuan diskusi politik Sudan, di bawah naungan Uni Afrika, telah berakhir di Addis Ababa, pada Senin (15/7/2024) kemarin. Pertemuan di Addis Ababa itu menyerukan komunitas internasional, Troika, organisasi-organisasi, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, untuk menyatukan upaya mereka dalam menemukan solusi cepat atas masalah Sudan.
Di dalam pertemuan 5 hari itu, Dewan Kedaulatan yang dipimpin oleh Panglima Militer Darat, Abdel Fattah Al-Burhan, menegaskan, tidak akan ada gencatan senjata, bahkan jika pertempuran berlanjut selama 100 tahun.
Anggota Dewan Kedaulatan, Yasser Al-Atta, juga menekankan, tidak menerima gencatan senjata atau negosiasi apa pun, kecuali atas dasar menyerahnya Pasukan Dukungan Cepat (RSF). “Kami tidak akan melakukan gencatan senjata dan bernegosiasi – terkait masalah keamanan serta politik – walau pertempuran terus berlanjut selama 100 tahun,” ujar Yasser.
Sedangkan Menteri Dalam Negeri Sudan, Khalil Pasha Sairin, mengatakan, pasukan keamanan telah menangkap sekitar 100 orang yang tergabung dalam tiga organisasi teroris, sejak sebelum pecahnya perang antara RSF dan Militer Sudan. “Teroris tersebut berasal dari ‘ISIS’, ‘Al-Qaeda’, dan Organisasi ‘Hasm’. Mereka bergabung dengan Pasukan Dukungan Cepat setelah melarikan diri dari penjara. Godaan finansial adalah alasan elemen teroris bergabung dengan Pasukan Dukungan Cepat, yang menunjukkan bahwa tidak ada indikasi para tahanan melakukan operasi teroris di Sudan,” ujar Khalil.
Tujuan mereka adalah perekrutan, penyelundupan senjata, dan transfer keuangan. Kelompok yang ditangkap ini berasal dari 12 negara. Di antaranya dari Tunisia, Mesir, dan Chad. Informasi yang diserahkan Sudan kepada PBB berisi daftar dan data orang-orang yang dicari untuk mengurangi bahaya mereka.
Baca juga: Tragedi Kembali, 25 Pengungsi Sudan Tenggelam
Jaringan Dokter Sudan mengumumkan, di lapangan, Pasukan Dukungan Cepat melakukan serangan. Pembantaian baru terhadap sekelompok warga sipil dari Desa Fangouqa di negara bagian Kordofan Utara. Sekelompok orang ditembak saat mereka sedang berbelanja, menewaskan seketika 23 orang dan melukai lainnya.
Sekutu Pasukan Dukungan Cepat (RSF)
Analis, diplomat, dan beberapa sumber Sudan mengatakan, selama beberapa tahun UEA adalah sekutu terpenting Panglima RSF, Hemendti. UEA berupaya keras untuk mengalahkan pengaruh salah satu kelompok Islam di wilayah tersebut, Ikhwanul Muslimin. Selain itu, mereka telah melakukan intervensi dalam konflik di negara-negara lain, di antaranya Libya dan Yaman.
Hemedti mencitrakan dirinya sebagai benteng untuk menghadapi faksi-faksi yang beraliran Islam. Dan kecenderungan yang telah memantapkan dirinya di tentara dan institusi lain di era Bashir.
Pakar PBB mengatakan melalui laporannya, UEA mengirimkan senjata ke RSF melalui Chad timur adalah “kredibel”.
“UEA mengirimkan senjata ke Pasukan Dukungan Cepat,” demikian laporan dari The Wall Street Journal.
Pada Januari 2024, para ahli PBB mengatakan, RSF telah memperkuat aliansi suku mereka yang tersebar di perbatasan barat Sudan. Mereka membawa senjata dari Libya dan Republik Afrika Tengah, serta bahan bakar dari Sudan Selatan.
Organisasi paramiliter Rusia, Wagner, dilaporkan menggunakan jaringan komersial UEA untuk membiayai kegiatannya di Sudan dan seluruh Afrika. Mereka menjual emas dan berlian di pasar komoditas UEA dan menyedot surplus ke dalam sistem keuangan global melalui bank-bank UAE. Uang tunai yang disalurkan melalui UEA, dilaporkan membantu RSF membeli perangkat keras militer yang memberikan keuntungan taktis dalam perang di negaranya.
Baca juga: Konflik Berdarah, Sudan di Ambang Krisis Pangan Terparah dalam 20 Tahun Terakhir
Selain itu, terdapat indikasi keterlibatan Moskow, karena terlihat adanya rudal anti tank Kornet AT14 dan senjata Rusia lainnya di tangan RSF. Salah satu cabang eksekutif milik Rusia untuk keperluan luar negeri, Kremlin, telah lama ‘menggunakan Wagner’ sebagai kehadiran de facto mereka di Afrika.
Mereka memberikan perlindungan terhadap proyek ekstraksi mineral, mengambil bagian dari keuntungan, dan mengerahkan pasukan pemberantasan di Republik Afrika Tengah, Chad, Mali, dan tempat lainnya. Wagner dan organisasi penggantinya, Korps Afrika, juga terlihat berdampingan dengan RSF. Adanya indikasi pasukan Hemedti telah membentuk aliansi informal dengan Moskow.
Rusia akan memperoleh lebih banyak keuntungan, jika RSF memenangkan perang tersebut. Salah satunya, dapat membangun pangkalan angkatan laut di Port Sudan, yang telah lama mereka cari.
Mengirimkan pasukan Afrika dan internasional tidak akan menjadi solusi, tetapi memperumit masalah. Sama halnya jika turut campur dengan memberikan suplai senjata dan dana. Hal ini akan mempertahankan kendali Pasukan Dukungan Cepat (RFS) di wilayah yang luas.
Solusinya berada di tangan masyarakat Sudan sendiri, melalui negosiasi komprehensif di antara mereka. “Jika seseorang mengharapkan solusi eksternal melalui pasukan PBB, ia harus memikirkan kembali dan mengambil pelajaran dari dampak intervensi militer yang telah terjadi di Irak, Afganistan, Suriah, Libya, dan tempat lain,” ujar Uthman Al-Mirghani, pengamat timur tengah.
(Sumber: Al-Hurra & Washington Institute)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!