The Grand Old Man Haji Agus Salim

Tanggal 22 Februari diperingati dunia sebagai Hari Pramuka Sedunia. Pramuka mulanya berkembang di Inggris, diawali pembinaan remaja (boy scout) oleh Lord Robert Baden Powell, lantas menyebar ke negara lain, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ada dua tanggal penting bagi Gerakan Pramuka. Yaitu 14 Agustus yang diperingati sebagai Hari Pramuka dan 30 Juli yang merupakan Hari Ikrar Pramuka.

Pramuka (singkatan dari Praja Muda Karana) adalah organisasi pendidikan nonformal di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan. Praja Muda Karana berarti jiwa muda yang suka berkarya. Dulunya, Pramuka di Indonesia disebut Gerakan Kepanduan. Di Indonesia, Pandu Nasional telah ada sejak lama, diawali berdirinya Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang lantas berubah menjadi Nederlands Indische Padvinders. JPO dibentuk oleh S.P Mangkunegara VII tahun 1916.

Namun, di masa penjajahan Jepang, aktivitas organisasi kepanduan dan partai di Indonesia dilarang. Maka, pada 27-29 September 1945, setelah Indonesia merdeka, sejumlah tokoh gerakan kepanduan berkumpul dalam kongres di Yogyakarta. Hasilnya, terbentuklah organisasi Pandu Rakyat Indonesia.

Baca Juga : Buya Hamka, Ulama Autodidak dengan Banyak Jejak

Di kemudian hari, tepatnya tanggal 30 Juli 1961, organisasi kepanduan yang ada ketika itu berkumpul di Gelanggang Olah Raga (Gelora) Senayan, Jakarta, dan berikrar untuk meleburkan diri menjadi satu organisasi kepanduan yang dinamakan Gerakan Pramuka. Sejak itu, tanggal 30 Juli diperkenalkan dan diperingati sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.

Sedangkan tanggal 14 Agustus diperingati sebagai Hari Pramuka Nasional, karena pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat melalui Keppres Nomor 448 Tahun 1961. Ketika itu, Presiden Soekarno juga melantik Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas) Kwartir Nasional (Kwarnas) dan Kwartir Nasional Harian (Kwarnari) Gerakan Pramuka. Sedangkan Lambang Pramuka berupa Tunas Kelapa yang ada sampai kini disahkan lewat Keppres Nomor 238 Tahun 1961.

Yang menarik, dalam sejarah Gerakan Pramuka di Indonesia ada dua gelar penting. Bapak Pramuka Indonesia dan Bapak Pandu Indonesia. Dua gelar tersebut disematkan kepada dua orang yang berbeda. Gelar Bapak Pramuka Indonesia diberikan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Lantas siapa Bapak Pandu Indonesia? Dia adalah Haji Agus Salim.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah tokoh yang pertama kali menjabat Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka. Ia menjabat Kwarnas hingga empat periode berturut-turut (1961-1974). Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah penerima Panji Gerakan Pramuka saat pertama kali diserah terimakan oleh Presiden RI, Ir. Soekarno, pada 14 Agustus 1961, saat Gerakan Pramuka secara resmi diperkenalkan kepada masyarakat. Tahun 1973, World Organization of the Scout Movement (WOSM) menganugerahi Bronze Wolf Award kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Itu merupakan anugerah tertinggi yang ada di WOSM. Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga yang mencetuskan dan memilih “Pramuka” sebagai nama gerakan kepanduan di Indonesia.

Sedangkan Haji Agus Salim dinobatkan sebagai Bapak Pandu Indonesia karena merupakan tokoh yang menaruh perhatian besar pada pendidikan kepanduan di Indonesia. Haji Agus Salim adalah orang yang pertama kali mengusulkan dan menggunakan istilah “pandu” dan “kepanduan” sebagai pengganti “padvinder” dan “padvinderij” yang dilarang di masa penjajahan Jepang.

Baca Juga : KH Wahid Hasyim, Kontributor Penting Perumusan Dasar Negara

Tahun 1928 adalah kali pertama tokoh Sarekat Islam (salah satu organisasi pelopor pergerakan nasional) itu memperkenalkan istilah “pandu” dan “kepanduan”. Yaitu ketika berlangsung kongres Sarekat Islam Afdeeling Padvinderij (SIAP) di Banyumas, Jawa Tengah. SIAP adalah organisasi kepanduan milik Sarekat Islam. Atas usul itu, nama organisasi pun berubah menjadi Sarekat Islam Afdeeling Pandoe (SIAP).

Tokoh Perjuangan Kemerdekaan

Haji Agus Salim lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884, dengan nama Masjhoedoelhaq (Masyhudul Haq) yang berarti "pembela kebenaran". Ayahnya adalah seorang jaksa tinggi daerah Riau bernama Sutan Muhammad Salim, dan ibunya bernama Siti Zainab.

Ketika masih kecil, Masyhudul Haq diasuh oleh seorang pembantu wanita dari Jawa. Sang pengasuh selalu memanggil dia dengan sebutan “Den Bagus”. Di tanah Jawa, “Den Bagus” memang biasa disematkan seorang abdi atau pembantu rumah tangga kepada anak majikannya yang menjadi momongannya. Jika diurai, "den" adalah kependekan dari “raden” yang berarti tuan, dan "bagus" bermakna rupawan atau tampan. Panggilan “Den Bagus” untuk Masyhudul Haq kecil kemudian diperpendek menjadi “Gus”. Akhirnya, orang-orang di sekitarnya memanggil Masyhudul Haq dengan sebutan “Agus”.

Haji Agus Salim adalah Bapak Pandu Indonesia. Tetapi bukan hanya itu sumbangsih Haji Agus Salim bagi tanah tumpah darahnya. Beliau adalah salah satu tokoh penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan itu. Terutama dalam perjuangan dengan jalan diplomasi lewat meja perundingan. Haji Agus Salim juga dikenal di seluruh dunia sebagai diplomat ulung Indonesia, karena kemahiran diplomasi beliau dalam upaya meraih pengakuan internasional atas kedaulatan negara Republik Indonesia.

Seperti diketahui, perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka tidak berhenti di titik kulminasi saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia masih harus menghadapi ragam persoalan nasional yang berpotensi besar menciptakan disintegrasi bangsa. Di tambah lagi, ketika itu bangsa Belanda tak ingin mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Selain Belanda, negara-negara lain juga belum mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto maupun de jure. Sehingga, ketika itu para founding fathers memutuskan, Indonesia harus melakukan upaya diplomasi di dunia internasional untuk membuat negara-negara global secara resmi mengakui kemerdekaan Republik Indonesia dan mengurangi pengaruh Belanda terhadap Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu, Indonesia mengirim Haji Agus Salim sebagai ketua delegasi Indonesia untuk misi diplomasi internasional. Dan itu adalah keputusan yang tepat, karena sang diplomat ulung cukup berhasil dalam misi diplomasi tersebut.

The Grand Old Man

Indonesia patut berbangga memiliki tokoh bernama Haji Agus Salim. Sebab, sosok yang tanggal 27 Desember 1961 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 657 tahun 1961, itu dikenal luas di dunia. Diplomat ulung Indonesia itu terkenal dengan julukan “The Grand Old Man”. Julukan bermakna “Orang Tua Besar” itu dialamatkan kepada Haji Agus Salim karena kemahiran diplomasi beliau dalam upaya meraih pengakuan internasional atas kedaulatan RI.

Haji Agus Salim antara lain melakukan perjuangan diplomasi untuk meraih pengakuan internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia itu melalui Inter-Asian Relations Conference 1947 dan Sidang Dewan Liga Arab. Atas perjuangan beliau, kemerdekaan Indonesia diakui negara Asia dan Liga Arab. Pada 22 Maret 1947, Indonesia mendapatkan pengakuan kemerdekaan resmi secara de jure dari Mesir. Selain itu, negara-negara lain juga resmi mengakui kedaulatan Indonesia, semisal Suriah (pada 2 Juli 1947), Arab Saudi (tanggal 21 November 1947), serta Libanon, Yaman, dan Afganistan. Ketika itu, India dan Pakistan juga mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto. Itu semua menunjukkan Kepiawaian Haji Agus Salim dan delegasi Indonesia dalam misi diplomatik untuk membuat status kedaulatan RI diakui oleh dunia.

Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi agresi militer pertama sebagai reaksi atas keberhasilan perjuangan diplomasi Indonesia di dunia internasional. Menyikapi peristiwa itu, Haji Agus Salim dan Sutan Sjahrir memimpin delegasi Republik Indonesia yang hadir di Sidang Dewan Keamanan PBB, 12 Agustus 1947. Di sidang itu, delegasi Indonesia mendapatkan simpati dari dunia. Di akhir sidang, dunia pun menyatakan mendukung penuh kedaulatan Indonesia.

Diplomat Ulung

Haji Agus Salim dikenal sebagai seorang diplomat ulung yang cerdas dalam berbicara atau berdebat. Ada satu peristiwa yang pasti mengingatkan orang Indonesia akan sosok pejuang itu. Pada tahun 1953, atas perintah Presiden Soekarno, Haji Agus Salim hadir sebagai utusan Indonesia dalam acara Penobatan Ratu Elizabeth II menjadi pemimpin Kerajaan Inggris. Di hari penobatan itu, Haji Agus Salim melihat suami Ratu Elizabeth II, Pangeran Philip yang berjuluk Duke of Edinburgh, kurang berbaur dan bercengkerama dengan para tamu asing.

Haji Agus Salim berdiri di sebelah Pangeran Philip. Sambil menghirup dalam-dalam rokok kretek yang beliau pegang, Haji Agus Salim menyapa. Pangeran Philip tidak suka dengan bau asap rokok kretek yang beliau hisap itu, dan berkomentar tentang hal itu. Haji Agus Salim membalas komentar Pangeran Philip dengan cerdas.

Beliau mengatakan, “Tahukah tuan? Justru aroma dari asap rokok inilah yang membuat bangsa Eropa pergi ke Indonesia hingga menjajah Indonesia.”

Pangeran Philip tak tersinggung atas jawaban Agus Salim itu. Sebab, Pangeran Philip sadar isi pesan yang ingin disampaikan oleh The Grand Old Man. Justru karena jawaban Agus Salim itu, suasana menjadi cair dan Pangeran Philip lantas bercengkerama dengan para tamu dari negara lain. Bahkan, Pangeran Philip kemudian memperkenalkan Agus Salim kepada Ratu Elizabeth II sebagai “gentleman from Indonesia”.

Wartawan dan Intelektual

Haji Agus Salim meninggal dunia tanggal 4 November 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sebelumnya, ia adalah tokoh ketiga yang menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia, setelah Ahmad Sebardjo dan Sutan Sjahrir. Dan sejak tahun 1950 sampai akhir hayatnya, Haji Agus Salim dipercaya sebagai Penasihat Menteri Luar Negeri.

Bukan hanya dikenal sebagai politisi dan diplomat ulung, Haji Agus Salim juga seorang wartawan dan penulis handal. Tahun 1952, Haji Agus Salim menjabat sebagai Ketua di Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).

Itulah The Grand Old Man Haji Agus Salim. Selain seorang intelektual yang menguasai aktif tujuh bahasa asing (Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang), beliau juga memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Haji Agus Salim juga dikenal dengan kehidupan pribadinya yang bersahaja. Dan Haji Agus Salim merupakan seorang pemimpin delegasi Indonesia yang memikul tanggung jawab besar dalam memperjuangkan pengakuan kemerdekaan bangsa yang ia cintai.