Tragedi Tanjung Priok: Hak Korban yang Terabaikan

Tragedi Tanjung Priok: Hak Korban yang Terabaikan
Pemakaman korban di Masjid Al-Araf, Cakung, Jakarta Utara, September 1984. TEMPO/Bambang Harymurti

Awal tahun 2023 lalu, Pemerintah Indonesia melalui pernyataan Presiden Joko Widodo menyebut, ada 12 kasus Pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo juga menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menepis peluang penyelesaian secara yudisial.

Beni Biki, salah satu keluarga langsung korban tragedi Tanjung Priok, tak habis pikir, mengapa pemerintah Indonesia tidak memasukkan kasus Tanjung Priok 1984 ke dalam daftar kasus Pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh pemerintah. “Kasus Tanjung Priok meski sudah naik ke persidangan, sesungguhnya masih mengambang. Belum ada putusan yang memuaskan rasa keadilan bagi semua keluarga korban tragedi itu,” terang Beni Biki.

Beni juga menyinggung adanya klaim Islah yang pernah dilakukan oleh sebagian keluarga korban dengan Jenderal (Purn) Try Sutrisno. Namun, tidak sepantasnya klaim tersebut dijadikan alasan untuk menghapus tragedi Tanjung Priok dalam daftar Pelanggaran HAM Berat. Menurut dia, Islah adalah konsep hukum Islam, yang memiliki mekanisme yang diatur oleh syariat Islam. Maka, Beni selanjutnya menanyakan, apakah Islah yang diklaim tersebut telah dilakukan sesuai syariat Islam?

Islah memang tidak dikenal dalam konsep hukum pidana nasional. Jadi, jika pun ada Islah, hal itu tidak bisa menghentikan proses hukum bagi para pelaku Pelanggaran HAM Berat.

Bagi Beni Biki, tidak masuknya kasus Tanjung Priok dalam daftar kasus Pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh pemerintah akan semakin menyulitkan bagi keluarga korban untuk mencari keadilan hukum dan hak-hak yang mestinya lekat pada korban. Hak-hak tersebut diakui oleh hukum internasional dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

Baca Juga : Surat Terbuka dari Keluarga Korban Tanjung Priok untuk Presiden Jokowi

Sebagai konsekuensi dari pengakuan terhadap adanya kasus Pelanggaran HAM Berat itu, pemerintah mencanangkan program Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat yang pelaksanaannya telah dimulai pada bulan Juni 2023. Program itu setidaknya berisi 5 agenda utama.

Pertama, rehabilitasi fisik yang antara lain berupa renovasi atau pembangunan rumah korban, pembangunan sarana ibadah, pembangunan prasarana air tanah. Kedua, jaminan kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian Kartu Indonesia Sehat. Harapannya, kartu ini dapat digunakan oleh korban maupun pihak ahli warisnya untuk mengakses layanan kesehatan secara layak.

Ketiga, pendidikan. Kegiatannya berupa pemberian beasiswa pendidikan untuk mengikuti kuliah atau pendidikan di perguruan tingi. Keempat, pemberian bantuan sosial. Bantuan ini diwujudkan dalam bentuk layanan Program Keluarga Harapan, Program sembako khusus, dan bantuan dalam bentuk atensi.

Kelima, pemulihan hak lainnya. Program ini diwujudkan dalam berbagai bentuk; pelatihan kerja, bantuan bahan bakar solar bagi nelayan, bantuan alat pertanian dan benih serta hewan ternak, pengembalian hak kewarganegaraan dan dukungan administrasi kependudukan secara semestinya.

Korban tragedi Tanjung Priok otomatis tidak bisa mendapatkan akses pada program Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat yang dijalankan oleh pemerintah. Sebab, mereka tidak termasuk dalam daftar 12 kasus Pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh pemerintah. Padahal, Komnas HAM dalam penyelidikannya telah merekomendasikan bahwa Tanjung Priok adalah kasus Pelanggaran HAM Berat.

Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Menurut Hukum

Masalah penanganan Pelanggaran HAM Berat sesungguhnya menjadi perhatian dunia internasional. Lahir berbagai konvensi untuk menjamin hukum dan keadilan atas korban Pelanggaran HAM Berat. Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power adalah salah satu deklarasi internasional yang menjadi rujukan dunia internasional dalam menjamin tegaknya hak korban Pelanggaran HAM Berat.

Deklarasi tersebut antara lain menyebut sejumlah hak korban sebagai berikut:

-       Hak akses kepada mekanisme-mekanisme keadilan dan ganti rugi (Access to justice and fair treatment). Korban harus dibantu untuk mendapatkan akses ke prosedur hukum guna menuntut keadilan dan ganti rugi atas pelanggaran HAM yang terjadi atau dialaminya. Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan atau pendampingan kesadaran hukum.

-       Hak Restitusi (Restitution). Adalah hak korban atau keluarganya untuk memperoleh ganti rugi dari pihak pelaku tindak pidana atau dari pihak ketiga.

-       Kompensasi (Compensation). Hak memperoleh ganti rugi dari negara bagi korban Pelanggaran HAM Berat atau keluarganya.

-       Assistance (Hak untuk memperoleh bantuan). Bantuan dimaksud meliputi bantuan medis, sosial, dan psikologis. Korban harus dijamin kesehatan mental dan fisiknya.

Sementara itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pada pasal 34 menyebutkan:

(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana pun.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.

(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 mengatur tentang hak korban, yaitu:

(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.

(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Nah, berbekal sedikit pemahaman tentang hak para korban Pelanggaran HAM Berat ini, para pihak dapat melihat secara jernih kegelisahan para korban sebagaimana dituturkan Beni Biki. Pertanyaannya kan sangat sederhana, apakah hak-hak itu telah ditunaikan oleh negara kepada para korban tragedi Tanjung Priok? Jika belum, dan status kasus Tanjung Priok bukanlah termasuk dalam kasus Pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh pemerintah, lalu bagaimana mereka harus memperoleh hak-hak itu?

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.