Negara Mafia. Itulah kalimat singkat yang disampaikan Asisten Panglima Angkatan Bersenjata Sudan, Letnan Jenderal Yasser Al-Atta, untuk menggambarkan “cawe-cawe” Uni Emirat Arab (UEA) dalam perang di Sudan. Kalimat itu menyiratkan kemarahan Letnan Jenderal Yasser Al-Atta terhadap sikap negara UEA.
Kemarahan Yasser Al-Atta terhadap Abu Dhabi memang cukup beralasan. Berkedok pengiriman bantuan kemanusiaan, UEA ternyata juga menyuplai senjata ke milisi Janjaweed atau yang belakangan dikenal sebagai RSF (Rapid Support Forces) melalui Uganda, lalu Afrika Tengah, dan kemudian lewat Chad.
Eskalasi antara dua negara Arab tersebut kemudian kembali meningkat setelah UEA pada 9 Desember 2023 mengusir duta besar dan dua diplomat Sudan lainnya dari Abu Dhabi. Sehari setelahnya (10/12/23), Kementerian Luar Negeri Sudan mengultimatum 15 diplomat Emirat untuk segera meninggalkan negara itu dalam jangka waktu 48 jam, karena mereka dianggap sebagai individu-individu yang tidak diinginkan oleh Khartoum.
Senin kemarin (29/4/2024) majalah The Times mengungkapkan bahwa UEA telah membatalkan 4 pertemuan tingkat menteri dengan Inggris, karena ketegangan hubungan antara kedua negara. The Times menerbitkan laporan yang menyatakan bahwa UEA membatalkan pertemuan tersebut karena marah atas “tuduhan” Inggris bahwa Abu Dhabi mendukung RSF di Sudan, hal yang berulang kali dibantah oleh Abu Dhabi. AS sendiri telah memperingatkan negara lain (termasuk Emirat) untuk tidak campur tangan dalam konflik Sudan.
Baca juga: Imarah Islam Afghanistan, Peluang Emas bagi Para Negara Tetangga (Bagian 2)
Seperti diketahui, Abu Dhabi memang punya hubungan baik dengan RSF (Rapid Support Forces) yang ikut membantu koalisi Saudi dan Emirat melawan Houtsi di Yaman. Tentara bayaran Sudan (milisi Janjaweed) memang dikenal punya pengalaman perang lebih baik, terutama dalam konflik Darfour, ketimbang tentara UEA. RSF yang menguasai banyak tambang emas di Sudan juga “memasok” emas ke UEA senilai 16 milyar USD per tahun sebelum kemudian memasuki pasar global.
Seperti halnya di Sudan, cawe-cawe Emirat di Yaman juga memunculkan segudang masalah baru dan memperparah perang saudara di Yaman. Emirat yang awalnya ikut langsung secara militer untuk melawan Houtsi ternyata punya agenda dan ambisi sendiri untuk menguasai wilayah-wilayah strategis semisal Pelabuhan Aden dan Bab Al-Mandab Strait (yang merupakan pintu masuk ke Laut Merah dan Terusan Suez) serta Pulau Socotra di Yaman selatan.
Milisi yang dibentuk oleh UEA di selatan dan selanjutnya dikenal sebagai Southern Transitional Council (STC) kemudian juga berkonflik dengan Pemerintah Resmi Yaman yang didukung Saudi dan diakui oleh internasional. Pemerintah Resmi Yaman yang didukung Saudi adalah koalisi partai politik Yaman, termasuk di dalamnya adalah Partai Ishlah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Alhasil, Yaman kini terpecah dalam tiga wilayah besar. Yaman Utara dengan ibukota Shana’a dikuasai oleh milisi Houtsi yang merupakan proksi Iran. Lalu Aden, Mukalla dan beberapa provinsi lain di Selatan dikuasai STC yang tak lain merupakan proksi UEA. Serta Ma’rib, Hadramaut, dan Ta’iz, dikuasai oleh pemerintah resmi Yaman yang didukung Saudi.
Mei 2020 lalu, Konferensi Muslim World League yang berlangsung di Makkah mengecam keras campur tangan Turki dalam perang Libya membantu Government of National Accord (GNA) yang diakui PBB. Konferensi yang dihadiri oleh Mufti Saudi, Mufti Mesir, dan Mufti Emirat sekaligus Ketua Abu Dhabi Forum for Peace, itu mengecam keras campur tangan Ankara dalam masalah internal negara-negara Arab. Sayangnya, baik MWL dan afpeaceforum yang katanya konsisten menyeru pada perdamaian sama-sama bungkam terkait campur tangan Emirat di Yaman, Libya, dan Sudan. Padahal, di tiga negara tersebut, Emirat menjadi salah satu pihak yang ikut menyiram bensin bahkan terlibat langsung dalam perang sesama muslim. Barangkali, perdamaian yang diserukan oleh Abu Dhabi For Peace (dan memang direstuinya) hanyalah perdamaian atau normalisasi negara-negara Arab – semisal Emirat dan Maroko – dengan Israel.
(Sumber: Aljazeera, Alarabiya, The Times, dll.)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!